Part 14

144 25 5
                                    

"Kalau memang nilai saya tidak layak untuk diterima karena tidak memenuhi syarat, itu tidak masalah. Tetapi kalau hanya lantaran sarung ini Pak, saya yakin Bapak tidak akan tega melakukan hal itu kepada saya,"

Sersan kepala itu termenung, mendapat jawaban cerdas, sopan, tetapi tegas. Setelah menerima nilai murni Ranu, ia sangat terkejut. Nilai itu jumlahnya paling tinggi di antara pendaftar yang lain.

"Sudah, tolak saja anak itu. Untuk apa melayani anak muda tidak tahu diri, seperti itu. Sedangkan mereka yang anaknya pembesar saja belum tentu lulus. Apalagi anak begituan. Mana ada calon Taruna Akabri seperti itu!" bisik beberapa kawannya dari belakang.

Sersan kepala itu, hampir menolak lamaran Ranu. Tetapi secara ajaib mata panitia melihat Ranu berubah. Sarung dan kopiahnya berubah menjadi seragam tentara. Gayanya seperti perwira tinggi, persis Panglima ABRI. Semua panitia pendaftaran, secara otomatis mengangkat hormat padanya.

Ranu pun segera membalas dengan ramah. Ini pasti kerjaan Eyang Dewi Masruro, pikir Ranu dalam hati.

"Punya beking di atas, Dik ?" tanga sersan kepala tadi setalah sadar.

"Punya, Pak"

"Jendral ?"

"Setingkat presiden saja masih terlalu kecil, apalagi tingkat jendral ?" jawab Ranu kurang senang dengan pertanyaan seperti itu.

"Siapa sebenarnya bekingmu ?"

"Tuhan, Allah Swt. Bapak menolak lamaran saya ?"

"Amiin!" sahut Ranu cepat.

"Minggu depan silahkan lihat hasil seleksi administrasi. Jika lolos, bisa mengikuti seleksi tingkat selanjutnya!"

"Terimakasih, Pak" kata Ranu kemudian menyalami sersan kepala tersebut sebelum angkat kaki pulang.

Seperginya Ranu Sadewa, panitia penerimaan calon Taruna Akabri itu tidak habis-habisnya membicarakan Ranu Sadewa.

"Seumur-umur aku baru melihat anak seperti itu. Ganteng, cuek, berani, tetapi sopan dan cerdas. Gila benar anak itu. Ketika akan kutolak sekilas kulihat ia seperti panglima kita. Ia bisa menjelma seperti setan saja. Anak itu berubah jadi perwira tinggi,"

"Siapa namanya ?," tanya yang lain.

Orang-orang itu segera memeriksa nama calon-calon taruna yang tertulis dalam daftar.

"Saya kira hanya perasaan saya saja melihat perubahan tadi ?"

"Saya malah melihatnya seperti Jendral Abdul Syukur !"

"Wag, jangan-jangan anaknya!" sambung sersan kepala yang menerima lamaran Ranu.

"Jangan ngawur. Mana ada anak Jendral ndaftar di sini. Paling tidak dia daftar di Jakarta. Masak anak Jendral pakai sarung, jalan kaki, dan bersandal mely lagi?"

"Eeeehh.. Kalian lihat. Namanya Ranu Sadewa. Nama orang tua Abdul Syukur."

"Mungkin kebetulan saja nama orang tuanya sama. Mustahil rasanya anak Jendral Abdul Syukur di pesantren kampung lagi ? Anak pejabat, maunya diperlakukan seperti bapaknya. Anak lurah saja maunya diperlakukan seperti lurah, apalagi anak panglima!"

"Betul juga katamu."

"Sudah, tinggalkan saja lamarannya agar tidak masuk seleksi !" usul kawannya.

Sesan kepala itu pun menuruti permintaan kawan-kawannya. Namanya tidak di tulis, hanya nomor pendaftarannya sudah diberikan, sersan kepala itu melompati saja.

Sekalipun demikian mereka masih membicarakan Ranu panjang lebar. Mereka penasaran dengan Ranu Sadewa. Sampai penutupan pendaftaran pun Ranu Sadewa masih di guncingkan.

Seminggu kemudian Ranu datang diboncengkan vespa Kang Nursalim untuk melihat pengumuman, ia menggenakan celana panjang. Betapa senangnya namanya tertulis di paling atas. Dari seribu lebih pendaftar, hanya seratus orang yang masuk untuk mengikuti seleksi lanjutan. Ranu langsung bersujud syukur di depan pengumuman beralasan koran. Bangun dari sujud, ia melihat sersan kepala itu melintas di depannya. Segera Ranu menghadang dan menyalaminya.

"Terima kasih, Pak?" ucap Ranu tulus sambil menyalami sersan kepala itu.

"Kamu lolos seleksi admimistrasi ?" tanyanya agak terkejut. Sersan itu teringat berkas lamaran Ranu seingatnya dibuang tidak diikutkan dalam seleksi. Bahkan namanya pun tidak jadi di tulis dalam buku pendaftaran. Sersan kepala itu, panik dan merasa bersalah.

Sepeeginya Ranu, ia tergesa-gesa masuk ruang untuk meneliti buku pendaftarannya kembali. Matanya terbelalak melihat nama Ranu Sadewa tertulis dalam buku pendaftaran. Tulisan itu persis tulisannya. Lelaki setengah baya itu semakin belingsatan dengan pikirannya sendiri. Ia benar-benar ketakutan.

Diingatnya kembali ketika dia menyingkirkan berkas lamaran Ranu. Namun, ketika itu Eyang Dewi Masruro selalu menyertai Ranu melihat kecurangan itu. Ketika semua panitia pulang, Eyang Dewi Masruro menuliskan dan memasukkan map lamaran Ranu. Jadi saat diseleksi penilaian administrasi lamaran Ranu ikut masuk, bahkan panitia menempatkan pada urutan tertinggi.

Btw mohon maaf ya sebenarnya ini part tergabung dengan part sebelumnya dan masih panjang lagi. Cuma... Kalau aku jadikan satu part jadi 3.000 kata lebih 😻 ntar kalian bosen bacanya ? Makanya aku bikin pendek gini aja dulu, yang penting khatam iya kan ???

Sabuk Kyai [SEGERA DI FILMKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang