Part 10

170 26 1
                                    

Kini tak ada dendam, tidak ada lagi sakit hati, apalagi kesombongan. Sekembalinya dipondok, Ranu justru lebih tawaduk. Kyai Misbah menyambut Ranu dipondoknya dengan perasaan sangat bersyukur. Anak muda itu wajahnya bercahaya penuh aura. Kalau saja punya cucu perempuan, Kyai sangat berminat menjodohkannya dengan Ranu. Sayang cucunya terlalu kecil, sedangkan yang dewasa semua sudah menikah dengan beberapa santrinya.

Kadang sebersit di benak Kyai Misbah untuk menyerahkan pesantren ini pada Ranu. Seakan ada firasat bahwa Ranu adalah penerusnya. Kyai yakin pesantrennya akan menjadi lebih besar. Namun, setelah dipikir dalam, keinginan itu hanya untuk kepentingan sediri, sedangkan Ranu adalah aset bangsa. Ranu akan menjadi milik rakyat Indonesia, bukan hanya untuk kepentingan kelompok atau pesantrennya saja.

Akhirnya Kyai pasrah pada Yang Kuasa, semoga anak-anaknya bisa menggantikannya. Ia berharap Gus Azka dan Gus Azri insyaf. Setelah ditahan satu minggu di kantor polisi, keduanya sadar dan kini mereka mulai mengaji kembali seperti dulu.

Untuk meningkatkan kemampuan ilmu agama, kedua gus itu sengaja dikirim mengaji di pondok pesantren lain. Kyai Misbah yakin ilmu yang ada di pesantren tersebut juga sangat dalam. Dengan demikian kedua anaknya tidak akan manja, bisa berlatih bermasyarakat tanpa berpayung dengan nama orang tuanya. Gus Azka dikirim ke salah satu pondok di Jawa Timur, sedangkan Gus Azri dikirim ke Jawa Barat.

Di pesantren, Kyai Misbah mulai menanggapi isu tentang dirinya dan sibuk yang slalu dipakai. Kalau selama ini ia tidak mau menanggapi masalah itu dirasa tidak bakal membahayakan para santri lainnya. Di sisi lain, Kyai takut hal itu terlalu riya' terhadap ibadahnya. Sebenarnya selama ini dia memakai sabuk di perutnya itu hanya untuk mengganjal perut yang sering kosong agar tidak mudah sakit karena berpuasa.

Suatu hari, di hadapan semua santri, Kyai Misbah tiba-tiba menanggalkan sabuk yang slalu melingkari perutnya. "Anak-anakku, coba perhatikan, apa yang sedang kupegang ini ?" ujar Kyai Misbah sambil mengangkat sabuk kain hijau agak panjang, dipertunjukkan kepada semua santrinya.

Semua santri ternganga. Mata mereka menatap sabuk yang diperlihatkan oleh Kyainya dengan mata tak berkedip. Selama ini mereka hanya mendengar kabar saja tanpa pernah melihat bentuknya. Seiring dengan lepasnya sabuk itu mereka pun menduga sabuk itu bakal diwariskan kepada Ranu Sadewa. Serta-merta puluhan pasang mata santri itu mencari Ranu yang berada di pojok masjid. Sementara itu, sosok yang dicari tampaknya tidak sadar kalau ia jadi pusat perhatian, ia terlihat mengantuk.

"Inilah sabuk Kyai yang kalian gosipkan memiliki kekuatan dan daya magis luar biasa itu. Apa yang kalian dengar itu tidak salah ? Tapi juga tidak benar ! Kalian semua bisa membuat dan memakainya sendiri!" ujar Kyai sambil tersenyum. Tangannya terus menimang-nimang sabuk kain hijau kehitaman yang baru lepas dari pinggangnya.

"Sekarang biar kalian tahu, perhatikan isi sabuk ini !" kata Kyai. Kemudian ia membuka dan mengeluarkan isi sabuk dari kain hijau itu.

Para santri semakin tercengang dan berdecak kagum melihat Kyainya mengeluarkan tiga batu bulat hitam mengilat sebesar telur ayam. Beberapa santri yang pernah mempelajari perihal ilmu gaib pada batu-batuan langsung menebak, tiga batu yang ditimang-timang Kyainya memiliki tiga daya magis luar biasa. Mereka juga menghubungkan dengan kekuatan seperti yang ada pada legenda Segi Tiga Bermuda di Laut Atlantik yang terkenal gawat. Sebagian lainnya ada yang menghubungkan dengan tiga kekuatan alam, yakni alam Adam, alam malaikat, dan alam langit. Siapa pun yang memiliki ketiganya akan mempunyai kekuatan magis luar biasa.

"Jangan kalian tafsirkan tiga batu ini punya kekuatan magis yang hebat. Sebab tiga batu ini adalah batu biasa, bukan azimat bukan pula pusaka!" jelas Kyai kembali, "Kalau kalian tanya mengapa bukan azimat kok sering dipakai, inilah permasalahan yang sebenarnya ingin kusampaikan kepada kalian. Aku memakai sabuk dengan batu ini, gunanya untuk mengganjal perut. Agar rasa lapar tidak terlalu terasa. Hal ini juga sering dilakukan oleh Nabi, sebagai pengganjal perut ketika beliau manahan lapar. Begitu juga dengan para ulama sufi dan para Waliyullah."

Sabuk Kyai [SEGERA DI FILMKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang