Part 11

156 28 3
                                    

Keberhasilan Ranu Sadewa di pesantren, masih belum mampu melepaskan impitan beban di dadanya. Kerinduan kepada keluarga menyelimuti hati. Ia rindu kepada ibu, bapak, kedua kakak, dan adik perempuannya. Tanpa terasa kepergiannya sudah dua setengah tahun. Ranu yakin kedua kakak perempuannya sudah menikah. Sedangkan adiknya, Tiara pasti sudah duduk di kelas dua SMU.

Ranu ingin pulang bertemu dengan mereka. Namun, sumpah dan janjinya pada orang tuanya belum juga terpenuhi. Paling tidak, jika pulang ia sudah berhasil menggapai bintang dari pesantren ini. Itulah oleh-oleh yang paling pantas dipersembahkan kepada kedua orang tuanya. Tanpa semua itu, berat rasanya untuk muncul di hadapan mereka.

Ranu tertunduk lesu, pikirannya bingung. Selembar ijazah Aliah yang di pegangnya, seperti tidak ada artinya. Sekalipun nilainya tertinggi di tingkat provinsi, tapi tidak bisa menolongnya. Nilai yang diraih tidak banyak membantunya menjadi siswa Taruna Akabri. Kabar burung yang beredar santer konon untuk dapat masuk harus ada macam-macamnya. Apa lagi banyak gosip yang mengabarkan bahwa masuk Taruna Akabri tidak sembarang orang.

Mengetahui itu semua ia semakin kecil hati. Tabungannya sudah sangat menipis. Seandainya selama ini biaya hidupnya tidak dibantu Haji Mujid dan Kyai Misbah pasti tabungannya sudah ludes.

Kali ini Ranu benar-benar takut gagal, melebihi ketakutannya ketika hendak masuk Aliah. Kalau saja disuruh memilih ia jelah memilih tidak usah mendaftar. Akibat dari ketakutan itu, walaupun tinggal beberapa hari pendaftaran dibuka. Ranu belum juga mendaftarkan diri. Padahal Nursalim, Kyai Misbah, dan Haji Mujid mendukungnya secara moril dan material bila Ranu masuk Akabri.

Mengetahui Ranu belum juga mendaftarkan diri, Nursalim gencar mendesaknya dan setengah menyesalkan tindakan Ranu. Nursalim khawatir dan setengah menyesalkan tindakan Ranu. Nursalim khawatir harapan bapaknya dan Kyai Misbah tidak tercapai. Sedang ia mengetahui keduanya terlalu berharap banyak kepada Ranu Sadewa.

"Dik, sudah mendaftar ?" tanyanya halus, khawatir adik angkatnya yang diharapkan menjadi santri yang mampu menjaring bintang itu tersinggung.

"Belum, Kang,"

"Kenapa ?,"

"Sia-sia, Kang ! Paling tidak diterima. Semua pendaftar rata-rata punya beking orang besar," jawab Ranu putus asa.

"Jangan berperasangka begitu, Dik. Itu hanya isu dan suuzan ! Itu dosa besar, menuduh orang lain berbuat tidak jujur. Kita tidak tahu yang sebenarnya. Itu termasuk hasud. Perbuatan hasud itu paling dibenci Allah. Seandainya benar, kamu tidak boleh iri. Sebagai santri napa masih kurang bekingmu ?"

"Siapa Kang, bekingku ?"

"Astagfirullah, kamu ini santri ! Semua santri yakin kamu ini orang laduni. Tetapi mengapa malah begini, gara-gara iri, dengki, dan hasud pada orang lain. Kamu ini, punya beking yang tiada tandingnya. Dia adalah Allah Swt. Ini beking yang tidak tanggung-tanggung. Ambil Allah sebagai beking karena beking yang ini tidak perlu suap dan tidak ada tandingannya !"

"Astagfirullah! Maafkan aku,Kang. Saya lupa semuanya karena kepepet biaya. Terus terang Kang, semula saya pun tidak berperasangka demikian. Tetapi saat saya selesai mengurusi surat-surat, ingat uang tabungan habis, pikiran saya terus macam-macam."

"Subhanallah, Dik. Baru begitu saja kamu melupakan Tuhan. Ingat Dik, kamu ini santri, calon Kyai ! Kenapa tidak berterus terang padaku ?"

"Terus terang saha malu sama sampean, Kang. Tiap hari saya hanya meminta saja. Lalu kapan saya memberi ?"

"Jangan mikir yang bukan-bukan ! Jika kamu berhasil masuk Akabri, itu berarti kamu sudah mengganti semua yang kami berikan padamu. Untuk saat imi baru kamu santri yang dapat dijagokan menggapai bintang. Bapak dan Mbah Kyai Misbah sangat yakin kamu mampu meraihnya. Jangan kecewakan harapan mereka. Kalau engkau berhasil, berarti engkau sudah membayar utangmu kepada mereka. Orang tuamu sendiri akan bangga denganmu. Sudah, sekarang berangkatlah ! Jaring dan gapailah bintang itu untuk kami para santri ! Ini uangnya."

Dengan menunduk akhirnya uang itu diterima. Ranu langsung berangkat tanpa ganti sarung, mendaftar ke Panitia Penerimaan Taruna Akabri.

Panitia pendaftaran penerimaan calon Taruna Akabri, menjadi heboh ketika melihat Ranu memakai kain sarung dan kopyah seperti di pondok pesantren. Hampir saja ia ditolak lantaran sarung tersebut.

"Kamu mau daftar Akabri atau daftar mengaji ?," ejek seorang sersan kepala setengah bergurau.

"Taruna, Pak"

"Kok pakai sarung ?"

"Dalam pengumuman yang saya baca orang yang mendaftar tidak ditentukan memakai sarung atau celana. Jadi, apa saya salah, Pak ?"

"Tidak salah, tetapi kamu mau dengar saranku urungkan saja niatmu. Daripada capek kesan-kemari. Toh, akhirnya gagal,"

"Maaf, Pak. Apakah Bapak yang menentukan, lulus dan tidaknya ?,"

"Tidak, tetapi aku bisa menolak Pendaftaramu saat ini!"

"Kalau memang nilai saya tidak layak untuk diterima karena tidak memenuhi syarat, itu tidak masalah. Tetapi kalau hanya lantaran sarung ini Pak, saya yakin Bapak tidak akan tega melakukan hal itu kepada saya,"


Maklum males ngetik guys ;)

Sabuk Kyai [SEGERA DI FILMKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang