Part 12

147 27 5
                                    

Satu bulan kemudian, Ranu termasuk sepuluh orang yang berhak mengikuti seleksi tingkat pusat dari lima ratus orang pendaftar. Menghadapi seleksi yang lebih berat itu Ranu tidak henti-hentinya melakukan sholat malam. Ia berharap, berdoa, memohon, dan meminta kepada Allah setiap malam saat para santri sedang tertidur lelap.

Kyai Misbah juga tak henti-hentinya ber-munajahadat pada Allah, agar Ranu Sadewa berhasil masuk menjadi Taruna Akabri. Nursalim tidak bosan-bosannya membesarkan hati Ranu. Maka ketika berangkat mengikuti seleksi tingkat pusat, di Magelang, Nursalim mengantarkan Ranu.

"Dik, Kakang pulang. Kamu jangan bosan berdoa kepada Yang Kuasa. Sebab tanpa ridha-Nya semua tiada arti."

"Kang Nur jangan bosan pula membantu Ranu. Doa restu Mbah Yai dan Mbah Haji Mujid juga sangat saya harapkan!"

"Iya, Dik, nanti kusampaikan kepada beliau," ujar Nursalim mendekap Ranu erat-erat kemudian melangkah pulang.

Beberapa ujian yang dilaluinya baik ujian fisik maupun kesehatan, membuat Ranu kader dan khawatir. Apalagi ketika mesuk ruang pemeriksaan kesehatan, dada Ranu seperti tersengat listrik. Ia terkejut karena bertemu dokter yang sangat dikenalnya. Dokter Lukayat adalah dokter sahabat karib bapaknya. Dari kecil sampai SLTP kalau sakit, ia selalu diperiksa oleh Dokter Lukayat. Ranu kembali cemas ketika dugaan dokter itu masih mengenalnya menjadi kenyataan.

"Ranu... ! Kau ikut tes juga, kok Bapak tidak meneleponku ?"

"Maaf, Pak. Apa Bapak tidak salah orang ?"

"Kamu, putra Jendral Abdul Syukur, kan ?"

Pertanyaan itu membuat Ranu serba salah. Akan berkata iya, nanti terbongkar dan ini akan menimbulkan prasangka KKN lagi. Tetapi untuk berkata tidak, ia takut gagal. Maka ia hanya bisa tersenyum tipis.

"Saya memang anak Abdul Syukur, bukan anak Jendral Abdul Syukur!" elak Ranu tidak berbohong, sebab ketika ia dilahirkan bapaknya baru berpangkat letnan kolonel. Jadi menurut hukum ia tidak berbohong.

Dokter Lukayat menatapnya sekali lagi. Wajah anak muda di depannya ini mirip sekali dengan Jendral Abdul Syukur muda. Sekalipun anak muda di depannya menyanggah, dalam hati Dokter Lukayat sangsi.

Ia semakin yakin ketika mendapati tembong di paha kiri Ranu. Ia sudah kenal Ranu, tetapi untuk berlama-lama menanyakannya, situasi tidak mengizinkan. Apalagi Dokter itu sudah mendengar apabila anak Jendral sahabatnya itu sudah lama pergi tanpa kabar.

Keluar dari pemeriksaan kesehatan yang bermacam-macam jenisnya, Ranu agak lega. Masalah lulus tidaknya diserahkan sepenuhnya pada Allah. Hari-hari berikutnya Ranu terus melewati seleksi yang lebih berat dan lebih ketat.

Ranu kembali grogi ketika harus berhadapan dengan Letkol. Mashur. Letkol. itu pernah menjadi ajudan bapaknya ketika menjadi Danrem di Padang, Sumatra Barat. Masih segar benar kenangan manis bersama Om Mashur. Pemuda ganteng perwira muda itu sangat menyayanginya. Bila sedang liburan, ia sering diajak keliling, membuat mainan, dan memancing. Sekarang Ranu tidak berani beradu mata dengannya.

"Nah, Ranu. Semua orang bisa kau kelabuhi. Tapi aku adalah ommu sendiri. Ketika di Padang tidur saja kau bersamaku !" tonjok Letkol. Mashur. Karena beberapa tim penguji lain seperti Dokter Lukayat bercerita padanya.

"Maaf, Pak. Saya tidak mengenal Bapak," elak Ranu tertunduk.

"Haaa...ha.. Kau memang brilian. Semua orang yang mengenalmu kau kecoh. Hingga kau membuat penasaran mereka. Kalau tidak mau jujur padaku kau tidak layak menjadi Taruna Akabri. Sebab tes wawancara ini tidak hanya kepintaran saja yang menentukan, tetapi kejujuran hal yang paling pokok."

Ranu terdiam. Kali ini ia benar-benar mati kutu. Ia merasa terpojok oleh orang yang selalu di panggil Om Hur itu karena tidak menjawab sama sekali.

Sabuk Kyai [SEGERA DI FILMKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang