Tanpa terasa waktu terus berlalu. Tiba-tiba Ranu Sadewa sudah hampir lulus dari Akabri. Ia menjadi siswa kesayangannya semua instrukturnya. Kepandaian, kedisiplinan, dan sopan santunnya yang sangat menonjol mampu memikat hati mereka. Tidak satu pun dosen atau instruktur yang tahu dirinya anak petinggi TNI saat itu. Kasih sayang mereka murni dari lubuk hati. Hanya Kolonel Mashurlah satu-satunya instruktur yang mengenal secara utuh siapa orang tuanya. Ranu sengaja menghindar dari bayang-bayang nama orang tuanya. Sekalipun liburan, ia belum berniat pulang ke rumah. Pulang ke rumah berarti membangun suuzhan dan mengakhiri kebebasan bau nepotisme yang dengan susah payah diperjuangkannya. Oleh karena itu, Ranu lebih senang menikmati masa liburnya di pesantren sekalian menambah ilmu agama dari Kyai Misbah. Kemudian ia mampir ke rumah Haji Mujid.
Sejak menikah, Kang Nursalim, tidak tinggal di pondok lagi. Oleh karena itu, Ranu kerasan tinggal di desa Haji Mujid. Bukan karena sambutan mereka yang mengenakkan hatinya saja, tetapi dengan bertemu Nursalim membuat hati Ranu semakin tenang.
Haji Mujid sendiri selalu menyambutnya dengan gembira. Lelaki tua yang masih lincah dan aktif bekerja di tambak itu setiap Ranu datang langsung diajak ke tambak, memancing bandeng, dan membakarnya sekaligus.
"Lee, apa kamu tidak ingin menjenguk kedua orang tuamu ?"
"Kenapa, Embah tanya seperti itu ?" tanya Ranu sedikit was-was, khawatir kedatangannya sudah tidak diharapkan lagi.
"Jangan berperasangka, aku senang kamu kemari lho, Lee!" sambungnya. "Aku yakin mereka sangat menantimu kembali. Mereka sangat rindu padamu. Jangan terlalu lama kamu menyiksa kedua orang tuamu, Lee. Sebab perbuatanmu itu termasuk dosa"
"Saya juga rindu sama mereka, Embah. Bahkan siang malam saya merindukannya. Hanya saja saya takut karna saya belum bisa menepati janji saya."
"Orang tua itu tidak menginginkan apa-apa. Melihatmu saja mereka pasti bangga, Lee ? Tengoklah mereka sekali waktu. Embah gembira melihatmu kemari. Apalagi mereka adalah orang-orang yang membesarkan dan mencintaimu dari kecil!"
Ranu terdiam. Ia merasa bersalah. Tetapi egonya mengatakan tidak akan bertemu, sebelum diwisuda. Ia ingin memberikan kejutan pada kedua orang tuanya. Ia ingin memenuhi harapan bapaknya. Ia juga ingin menjadi kebanggan saudara-saudara kandungnya.
"Kalau keinginanmu begitu, itu namanya sombong, mau menang sendiri!" celetuk Haji Mujid seperti tahu apa yang dipikirkan Ranu. Hal itu juga pernah dilontarkan Kyai Misbah. Bahkan dengan kalimat yang lebih keras.
"Apa yang Embah katakan itu benar. Tetapi Embah belum tahu, jika Bapak melarang saya menginjak rumahnya sebelum berhasil. Malahan Bapak tega berkata, sampai beliau meninggal sekalipun, jika belum berhasil saya tetap diharamkan pulang, Mbah !"
"Itu hanya gertak sambal. Kata minggat, jangan pulang, dan jangan menginjak rumahku dan berbagai umpatan lainnya, tidak hanya bapakmu saja. Aku pun dulu sering begitu. Kemarahan seperti itu biasanya dilontarkan orang tua agar anaknya menurut. Kalau minggat benar, pasti ditangisi. Jadi sekali-kali jenguklah mereka ! Kalau tidak punya sangu , berapa kebutuhanmu kusediakan, asal kamu mau menjenguk orang tuamu!"
"Terima kasih, Mbah. Ada hal paling pokok yang saya simpan. Inilah yang menjadi sumber utamanya saya kenapa sampai berbuat seperti ini Mbah ?"
"Diusir begitu ?"
"Tidak, Mbah. Saya akan kembali tersudut dan menjadi sorotan. Bila sampai mereka tahu kalau saya anak seorang petinggi TNI. Saya pasti dituduh KKN. Semua prestasi saya pasti mengundang kecemburuan di antara kawan-kawan. Itulah sebabnya saya tidak mau pulang sebelum selesai semuanya."
"Sebenarnya kamu ini anak siapa, Lee ..?"
"Saya anak Jendral Abdul Syukur, Panglima TNI sekarang."
"Astagfirullah," seru Haji Mujid tercenggang mengetahui jabatan bapak Ranu. "Jadi, kalau begitu selama ini kamu bersepakat dengan Nursalim membohingiku ?"
"Maaf, Mbah, ini terpaksa saya lakukan. Kalau saja tidak begitu mungkin Mbah tidak mau mengaku saya sebagai cucu Mbah."
"Lee, kalau benar bapakmu Abdul Syukur itu anak Kyai Haji Imam Sakiman, justru kamu bukan orang lain. Sebab ibu Kyai Imam Sakiman itu adik bapakku. Jadi hubunganku dengan Imam Sakiman itu saudara sepupu. Ibu Kyai Imam Sakiman atau buyutmu itu orang desa sini, kemudian dapat suami anak Kyai dari Cirebon. Maka bukan orang lain, kalau benar Bapakmu Abdul Syukur anak dari Imam Sakiman!"
"Betul, Mbah. Kakek saya adalah Imam Sakiman. Iya, Mbah Jailani yang pernah saya ceritakan kepada Kyai Misbah?"
"Wah-wa, nakal benar kamu ini. Semua orang kau kelabuhi. Untung sejak pertama kali melihatmu, firasatku mengatakan kamu bukan orang jauh. Walaupun antara aku dengan Embahmu selama hidup hanya bertemu tidak lebih dari lima kali. Namun hati kami sama-sama dekat. Mulai sekarang kamu panggil Nursalim bukan Kang. Tetapi Pakde. Sebab bapakmu masih kalah tua dari urutan persaudaraan."
"Berarti saya masih punya darah orang desa sini, Mbah ?"
"Betul. Tetapi bukan berarti kedatanganmu ke mari sama hukumnya melihat orang tuamu, Lee... Kembali pada pembicaraan tadi. Kalau kamu hanya takut di tuduh KKN, sekarang tinggal sikap dan tingkah lakumu sendiri. Jika itu yang kau hindari, sampai keduanya mati pun, kamu tidak akan terlepas dari mereka. Pulanglah...!! Besok aku akan mengajak Kyai Misbah ke Jakarta, kalau kamu tidak mau pulang. Bila hal ini kubiarkan, berarti aku telah mendukung kedurhakaan seorang anak pada dua orang tuanya. Ini dosa !"
Ranu kembali termenung, dilemparkan mata pancingnya ke tengah tambak. Matanya menerawang teringat bapaknya. Ketika kecil, setiap pulang dari tugas luar ia selalu berteriak mencarinya. Begitu muncul langsung pelukan dan ciuman mendarat di pipinya. Sekalipun begitu kadang-kadang bapaknya berubah galak dan penuh ancaman bila sudah marah.
"Semua terserah kamu, Lee. Sebagai Embahmu, aku hanya menyarankan. Apabila saranku menyakitkanmu, aku minta maaf!"
"Apa yang Embah katakan benar. Embah Kyai Misbah juga selalu berkata begitu. Saya juga ingin segera bertemu mereka, Mbah ?"
"Kapan ?"
"Itu yang belum bisa saya jawab !"
Haji Mujid ternganga melihat kekerasan hati anak muda itu. Ditariknya pancing, ketika seekor bandeng besar memakan umpan. Sementara Ranu masih termenung mengingat ibunya yang bijaksana.
Sampai keduanya pulang setelah hari sore, Haji Mujid belum mendapat kepastian. Apakah Ranu bersedia atau menolak menjenguk orang tuanya ?.
Dahlah ga mood lagi ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabuk Kyai [SEGERA DI FILMKAN]
SpiritualAkibat slalu di tuduh KKN, untuk menepis bayang bayang kebesaran nama bapaknya dan membuktikan jati dirinya, Ranu sadewa lari dari rumahnya. Tujuannya hanya satu ! Yaitu ke pesantren. Sebuah tempat yang di kira aman dan nyaman untuk pelariannya just...