"Jimin di mana?"
Seorang pria paruh baya keluar dari kamar mandi, menyapa istrinya di kamarnya dengan sebuah pertanyaan.
"Di kamar mungkin? Ada apa?"
Sang istri menjawab tanpa ragu. Pasalnya anak mereka memang bukan anak yang suka keluar tidak jelas. Park Jimin. Anak mereka itu lebih suka menghabiskan harinya di dalam kamar. Baginya ada banyak hal yang bisa dia lakukan di dalam kamarnya. Menggambar, melukis, mendengarkan lagu sekaligus menari, mengatur ulang kamarnya, dan lain sebagainya.
"Masalah kemarin yang kita bahas dengan keluarga Jeon."
"Oh.. apa tidak terlalu cepat?"
"Dia kan sudah lulus sekolah. Setahun yang lalu memang dia masih pelajar, jadi kita minta mereka untuk menunggu. Tapi Jimin sudah lulus sekarang. Dan bulan depan adalah hari pernikahannya. Kenapa kita harus menunda untuk memberitahunya tentang ini?"
"Aku tau.. tapi dia baru saja lulus. Apa tidak sebaiknya kita beri waktu agar dia bisa menikmati kelulusannya dulu? Aku rasa jika kita memberitahunya soal itu sekarang, itu bisa menghancurkan harinya."
"Lalu maksudmu kita harus memberitahunya saat mendekati hari pernikahannya? Satu bulan itu waktu yang sangat singkat. Apa dia bisa menyiapkan dirinya untuk pernikahannya sesingkat itu?"
"Benar juga.. tapi- ah entahlah. Aku pusing."
"Sayang, aku adalah ayah Jimin. Aku tidak ingin dia terkejut dan tersiksa karena pernikahan yang begitu mendadak. Itulah kenapa aku ingin segera memberitahunya soal pernikahannya."
"Baiklah. Kurasa kita memang harus memberitahunya secepatnya. Tapi bagaimana dengan Taehyung?"
"Dia? Kenapa?"
Pria paruh baya yang diketahui adalah ayah Jimin itu kini tengah duduk di Kasurnya, bersanding dengan sang istri. Tatapannya tenang namun penuh tanya karena istrinya baru saja menyebut nama kekasih anak mereka.
"Bagaimana kita menghadapi Taehyung nanti? Aku tidak tega memberitahukan hal ini pada anak malang itu."
"Aku tidak yakin dia serius dengan anak kita."
"Tetap saja, hatinya pasti hancur saat dia dengar kabar ini."
"Dia akan sembuh seiring berjalannya waktu. Kita doakan yang terbaik saja untuknya dan tentu untuk anak kita."
"Aku takut kita salah mengambil keputusan.."
Sepasang lengan merengkuh tubuh perempuan itu, dan setelahnya sebuah kecupan ringan mendarat di dahinya. Sang suami baru saja menenangkan dirinya dengan cara paling sederhana. Namun tampaknya cara itu selalu berhasil menenangkannya. Jelas saja, karena saat ini dia tersenyum hangat mendongak menatap sang suami.
"Jangan takut, putra sahabatku adalah laki-laki baik. Tentu dia akan menjaga Jimin dengan baik pula."
"Kuharap begitu."
"Baiklah, sepertinya aku harus ke kamar Jimin sekarang. Mau ikut?"
Sang istri hanya mengangguk kemudian bangkit dari duduknya. Menunggu suaminya berdiri untuk menuju ke kamar anak mereka bersama-sama.
***
Pintu kamarnya terbuka, menampilkan sepasang suami istri setelahnya. Dia yang sedang sibuk melukiskan beberapa warna lembut ke atas kanvas akhirnya menoleh.
"Ayah? Ibu? Ada apa?"
"Jimin.. apa anak ibu sedang sibuk?" ibunya menjawab dan berjalan ke arahnya.
"Tidak juga. Aku hanya sedang melukis karena sedang bosan. Ada apa? Tidak biasanya ibu dan ayah ke kamarku bersamaan."
"Jimin. Ada yang ingin ayah sampaikan padamu." Kali ini ayahnya ikut bersuara.
"Oh ya? Tentang apa?"
"Pernikahanmu, Jimin." Suara ayahnya terdengar lirih, namun Jimin jelas mendengarnya.
"Apa? Pernikahan? Tapi Taehyung tidak pernah membahas apapun denganku, apalagi tentang pernikahan." Bingung bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Jimin terlampau bingung hingga jantungnya mulai berdebar dengan irama yang kacau.
"Bukan Taehyung, Jimin. Teman baik ayahmu, Tuan Jeon sudah lama membuat perjanjian dengan kami agar putra mereka bisa menikahimu saat kamu lulus sekolah. Dan sekarang kamu sudah lulus sekolah." Ibunya menjelaskan dengan hati-hati, berusaha agar tidak melukai perasaan anak kesayangannya.
"Tapi.. aku baru saja lulus sekolah."
"Tidak secepat yang ada di pikiranmu. Pernikahanmu dilangsungkan bulan depan." Ayahnya menatap netra Jimin dengan tatapan penuh harap. Berharap anaknya dapat mengerti dan menerima kabar yang entah baik atau buruk baginya.
"Tapi aku sudah punya Taehyung.. apa yang harus kukatakan padanya? Aku juga belum mengenal anak teman ayah itu. Bagaimana bisa aku menikah dengan seseorang yang belum pernah aku temui sebelumnya?"
"Itulah kenapa ayah meminta mereka untuk memberimu waktu sebulan penuh, Jimin. Agar kalian berdua bisa mengenal satu sama lain terlebih dahulu."
"Tapi tidak bisa semudah itu, ibu."
"Ibu tau, sayang. Tapi tolong beri kesempatan dulu, cobalah untuk mengenal dia dulu."
"Lalu jika aku sudah mengenalnya dan aku tidak setuju dengan pernikahan ini, apa aku bisa menolaknya?"
"Jimin, ayah tau ini sangat sulit untukmu. Tapi perjanjian itu sangat penting. Dan jika kamu menikahi anak teman ayah, kita bisa menyelamatkan bisnis ayah. Ayah mohon, pertimbangkan dulu. Kita tidak bisa semudah itu membatalkan perjodohan ini."
Jimin terdiam sejenak. Mengingat hari-harinya sebagai seorang murid. Betapa indahnya, hanya perlu memikirkan tugas, belajar dan ujian. Kini dia sudah harus menghadapi persoalan hidup terberat di hari pertamanya sebagai bagian dari masyarakat. Pernikahan bukanlah hal sederhana, ini tentang bertahan hidup dengan seseorang sebagai belahan jiwanya seumur hidupnya. Tapi bagaimana pun, Jimin tidak dapat membiarkan orangtuanya bersedih atau terpuruk karena dirinya.
"Baiklah, akan kucoba untuk mengenalnya lebih dulu. Tapi beri aku waktu untuk meluruskan semua ini dengan Taehyung."
"Tentu. Gunakan waktumu, kami tidak akan melarangmu untuk bertemu dengan Taehyung."
"Oh ya, kalau Taehyung ada waktu, ajaklah kemari. Ibu akan memasak makanan yang enak untuknya. Ibu rasa ibu dan ayah juga harus membahas ini dengannya dan meminta maaf padanya secara langsung."
"Baiklah. Akan kubicarakan dengan Taehyung nanti."
"Ya sudah, lanjutkan lukisanmu. Maaf mengganggumu, ibu dan ayah akan kembali ke kamar. Selamat malam, sayang."
"Selamat malam, ibu."
"Jangan tidur terlalu larut, Jimin. Selamat malam."
"Selamat malam, ayah."
Dengan ucapan selamat malam itu, orangtuanya meninggalkannya sendiri di kamarnya. Setelah memikulkan beban berat di pundaknya, kini dia ditinggalkan seorang diri, hanya ditemani banyak hal di pikirannya.
____________________________________________
Short part untuk menemani malam minggu kalian...
Sampai jumpa di part selanjutnya!!
A feedback from you guys would be nice! Jangan lupa tinggalkan jejak setelah kalian baca yaa!

KAMU SEDANG MEMBACA
Tumble Like A Stone ㅡ Jikook/Kookmin
Fanfic[On-Going] Menceritakan bagaimana sebuah batu di ujung tebing yang goyah karena guncangan dunia berusaha untuk tetap bertahan di tempat dan tidak terjatuh ke dasar tebing. Tentang bagaimana sebuah rasa tetap berusaha untuk tetap merasa ketika hambar...