25. Ilusi

30 12 3
                                    

Selamat Membaca ❤️

***

Mobil sport putih berhenti tepat di depan gerbang dengan papan yang berada di besi bertuliskan 'Panti Asuhan Bunda Asih.' Bangunannya sudah tua, tetapi masih terlihat kokoh. Pintu pagar terbuka lebar-lebar dengan pohon yang berjajaran. Halaman yang luas dengan rumput yang rapi. Bisa dikatakan panti asuhannya sangat terlihat bersih.

"Ini alamat rumahnya?" tanya Raja secara tiba-tiba sambil melihat bangunan tua yang berada di depannya.

Rinjai mengambil kertas yang berisikan alamat rumah orang tua Kirana. "Iya, ini alamat rumahnya," jawab Rinjai dengan anggukan kepala.

"Tapi, kok gue ngerasa sedikit merinding," ucap Dewa yan memang memiliki firasat buruk.

"Ada perlu apa kalian ke sini?"

Ucapan seseorang dari belakang membuat mereka tersontak kaget. Saat menoleh ke belakang, mereka melihat sosok pria paruh baya yang mengenakan pakaian kaos kusam dengan celana pendek selutut. Ketiganya menelan ludah melihat pria tua yang cacat. Pipi kiri lebih besar, sehingga pria itu tidak bisa mengangkat kepalanya dengan normal.

"Ka–kami ke sini, ingin bertemu dengan orang tua Kirana," ucap Rinjai sedikit gugup.

Seketika bapak itu menatap ketiga remaja yang berada di hadapannya dengan curiga. "Ada perlu apa kalian mencarinya?"

"Ada hal yang penting ingin dibicarakan, Pak."

Di sisi lain Rinjai terus saja menoleh ke kanan kiri, lalu mengusap tengkuknya. Entah kenapa dia merasakan hawa dingin di sekitarnya.

"Di sini hanya ada ibunya. Ayah Mbak Kirana sudah meninggal sekitar 5 tahun yang lalu," jelas bapak itu yang membuat mereka bertiga terkejut.

"Lalu, apakah ibunya masih ada di sini?" Raja kali ini bertanya.

Bapak itu mengangguk. "Tunggu sebentar."

Kemudian berjalan masuk ke dalam panti asuhan dengan jalan terpincang-pincang. Setelah beberapa menit menunggu, datang seorang wanita yang masih terlihat mudah. Baju kameja dan rok hitam panjang. Rambutnya dibiarkan terurai dengan wajah kaku nan dingin.

"Ayo, ikut saya," perintah wanita itu saat sampai di depan mereka bertiga.

Dewa dan Raja mengangguk berbarengan. Berbeda dengan Rinjai yang masih saja memperhatikan sekelilingnya. Merasa bingung dengan panti asuhan ini yang sepi, biasanya panti asuhan itu ramai akan anak-anak dan juga tidak ada satupun kendaraan yang lewat sejak dari tadi.

"Sst! Rinjai," bisik Dewa yang langsung menyadarkan Rinjai dari lamunannya.

"Hah? Kenapa?"

"Ayo."

Tanpa ada yang menyahut lagi mereka bertiga mengikuti wanita yang berada di depan. Sekali lagi Rinjai mengusap tengkuknya. Dia merasa sedikit merinding. Suara tawa mulai terdengar di kedua telinga Rinjai. Rinjai menoleh ke kana dan kiri, tetapi tidak menemukan siapa-siapa hanya ada rumput-rumput yang bergoyang tertiup angin.

Ketiganya kaget saat melihat sosok anak kecil tanpa ekspresi dengan muka dingin dan mata melebar. Anak kecil itu sempat terhenti di depan Rinjai, lalu berlalu begitu saja. Rinjai bisa merasakan hawa negatif dari anak itu.

"Mari duduk."

Wanita itu mempersilakan Rinjai, Dewa, dan Raja duduk di sofa yang tersedia. Tanpa mengucapkan kata sepatah, Wanita itu berlalu pergi meninggalkan sebuah pertanyaan dari mereka bertiga.

"Wanita itu mau ke mana?" Raja bertanya dengan begitu heran.

"Mungkin sedang memanggil ibu Kirana atau menyediakan minum," sahut Dewa yang mendapat anggukan kepala dari Raja.

Sejak dari tadi mata Rinjai tak henti-hentinya menatap seluruh ruangan. Banyak sekali foto anak-anak yang terpajang yang mungkin merupakan anak penghuni panti di sini.

Berbagai pose gaya mereka lakukan, hingga mata Rinjai tanpa sengaja terarah kepada sebuah foto dua gadis kecil yang bergandengan tangan dengan tertawa. Merasa mengenal foto itu, cepat-cepat Rinjai membuka tasnya dan mengambil selembar foto, lalu berjalan ke arah bingkai yang berisikan sebuah foto.

Melihat itu, Dewa dan Raja mengikuti Rinjai. Secara bergantian Rinjai melihat foto yang berada di tangannya, lalu berpindah ke arah foto yang terpajang. Rinjai tersentak saat mengetahui sebuah fakta. Dari kemarin saat menemukan foto yang berada di tangannya dia sudah mulai curiga.

"Ada apa, Rinjai?" tanya Raja memperhatikan gerak-gerik Rinjai.

Rinjai menoleh menatap Dewa dan Raja secara bergantian. "Ini, foto Tania dan Kirana waktu kecil."

Dewa mengernyit. "Kenapa lo yakin? Bukannya foto yang berada di tangan lo itu mereka sudah besar."

"Meski begitu, aku tahu gimana postur wajah Tania dan Kirana."

Raja memperhatikan foto yang terpajang jelas. "Jadi, ini wajah Kirana. Dia kelihatan manis."

"Kadang mengerikan," lanjut Rinjai.

Raja tercekat mendengar itu. "Selama ini lo ...." Belum sempat melanjutkan Dewa sudah telebih dahulu mengambil alih.

"Berarti, Tania dan Kirana adalah saudara dan juga Tania ada kaitannya akan hal ini."

Rinjai berusaha mencerna semuanya dengan melihat ke arah jendela yang menyambungkan ke taman. Tatapannya melihat sosok gadis remaja yang berjalan tanpa meninggalkan jejak. Dia menoleh menatap lukisan yang sudah mulai meleleh.

Perasaannya tidak enak. Dia berteriak, sehingga membuat Dewa dan Raja tersentak. "Kita harus pergi!"

Dengan pertanyaan yang bersarang di pikirannya, Dewa dan Raja berlari mengikuti Rinjai dari belakang. Tiba-tiba angin kencang datang. Bangunan mulai roboh. Rinjai, Dewa, dan Raja terus berlari. Suara tawa anak kecil kembali terdengar di kedua telinga Rinjai.

"Rinjai, Dewa!"

Teriakan itu membuat Rinjai dan Dewa berhenti berlari, lalu menoleh menatap Raja yang terkena robohan bangunan. Baru saja ingin menolong, tiba-tiba sosok Kirana muncul dengan menarik kedua kaki Raja. Rinjai yang melihat itu sontak berlari untuk menolong Raja, begitupun Dewa. Dengan cepat Dewa mengangkat bangunan roboh itu, untung bangunannya ringan.

"Raja, pegang tangan aku," pinta Rinjai mengulurkan tangannya.

Raja menerima uluran tangan Rinjai. Sekuat tenaga Rinjai menarik Raja dari cengkraman Kirana. Sosok Kirana semakin gesit menarik tangan Raja.

Rinjai menatap Kirana. "Kirana, lepaskan!"

Tidak ada sahutan dari Kirana, sehingga membuat Rinjai berdoa kepada Tuhan agar makhluk seperti Kirana menghilang. Akhirnya Rinjai bisa bernapas lega ketika Kirana menghilang. Dengan bantuan Dewa, Raja mulai kembali berlari kecil. Ketiganya sudah sampai di depan gerbang. Mereka bernapas lega. Ringisan dari Raja membuat Rinjai menoleh.

"Raja, kamu nggak apa-apa?"

"Gue nggak apa-apa. Cuma ada sedikit bekas cakaran."

Rinjai dan Dewa bisa melihat ada bekas cakaran di kaki kiri Raja. Pasti semua itu karena Kirana. Bekas itu sangat panjang dengan darah segar terus mengalir.

"Raja, tapi itu sangat parah."

"Lihat itu!"

Dewa menunjukkan panti asuhan yang sudah roboh. Halaman yang tadi bersih kini kotor dengan rumput-rumput panjang. Pagar yang berkarat dan papan dengan tulisan panti asuhan mengabur.

"Kalian ngapain?" Suara dari samping membuat mereka bertiga kaget, lalu menoleh melihat wanita paruh baya.

"Kami ke sini mau bertemu dengan orang tua Kirana, tapi malah panti asuhan ini ...." Belum melanjutkan, wanita di depan Dewa sudah memotong.

"Tiga tahun yang lalu panti ini roboh gara-gara terjadi gempa," jelas wanita itu tanpa ekspresi. Mereka bertiga tercekat. Rinjai merasa aneh dengan wanita paruh baya itu.

"Ibu, tahu di mana tempat tinggal ibunya Kirana sekarang?" Meski merasa aneh, tetapi Rinjai tetap bertanya.

"Ibu Kirana sekarang berada di rumah sakit Hasan Sadikin."
Rinjai, Dewa, dan Raja menatap satu sama lain, lalu menoleh dan tidak menemukan wanita paruh baya yang berada di depan mereka.

"Ibu yang tadi ke mana?" Dewa menoleh ke kana dan kiri yang tidak menemukan wanita itu.

Rinjai terdiam sejenak sebelum paham akan semua yang terjadi hari ini. "Semua ini ilusi."

***
TBC.

Bisikan Tak Terlihat✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang