"Ra, Ra, move on, Ra." Ucap Mira sambil meletakkan berkas di atas meja kerja Ara.
Ara tidak menghiraukan ucapan Mira, ia terus memandangi foto dirinya dan Fiony sewaktu SMA. Sudah bertahun lamanya ia tidak berhubungan dengan Fiony, ia sudah tidak punya kontaknya Fiony jadi ia tidak tahu bagaimana berhubungan dengan Fiony.
"Noh, liat Badrun, dia aja bisa move on." Ucap Mira sambil menunjuk Vivi yang baru saja masuk ke ruangannya Ara.
Vivi menganggukkan kepalanya pelan, ia meletakkan map di atas meja Ara, "Orang jakarta itu sama, sukanya ninggalin."
Ara menghela napas panjang, ia menarik laci meja kerjanya dan memasukkan foto itu ke dalam laci. "Kalo udah tahu, kenapa lo masih deketin Chika?"
"Waktu itu gue belum tahu." Gumam Vivi.
Ara mengambil bolpen, ia mengambil berkas yang tadi Mira berikan ke sisi kanan lalu ia membuka map dari Vivi dan menandatangai kertas yang ada di map itu. Ara menutup map itu dan ia berikan kepada Vivi.
"Harusnya lo juga udah tau, kan, Ra? Kakak lo juga sama, kan?" Tanya Vivi sambil menerima map dari tangan Ara.
Fiony memang dari Jakarta, Chika juga dari jakarta, dan mereka berdua sama-sama pergi selepas lulus SMA dan tidak ada yang mengirim kabar kepada Ara atau Vivi. Hal itu membuat Vivi berpikir kalau orang Jakarta memang tipe orang yang suka ninggalin orang lain.
Ara sendiri juga sudah berusaha untuk tidak terlalu terlibat dengan Fiony, mengingat perjalanan kisah cinta kakaknya juga tidak mulus. Malah mantan kakaknya sudah memiliki suami yang jauh lebih mapan daripada kakaknya.
"Saat cinta datang, gak ada pilihan selain membuka pintu lebar-lebar." Ucap Ara sambil menatap ke arah Vivi.
Mira menghela napas panjang, ia mengibaskan tangannya ke udara. "Mulai bucinnya."
Vivi tertawa kecil sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, "Gue juga setuju, Ra."
"Kalian berdua itu sama." Ucap Mira sambil berjalan pergi. "Sama-sama ngenes."
"Lo gak pernah jatuh cinta, sih, Mir." Ucap Vivi.
Mira menghentikan langkahnya, ia terdiam sebentar. Apa benar ia belum pernah jatuh cinta? Lantas perasaannya selama ini kepada Vivi disebut apa? Rasa peduli? Rasa kasihan atau yang lainnya?
"Ya, emang." Gumam Mira kemudian keluar dari ruangan itu.
Ara memicingkan matanya, ia benar-benar heran kepada Vivi yang tidak peka kepada siapapun semenjak ditinggal pergi Chika. Bahkan dirinya yang tidak terlalu dekat dengan Mira saja tahu dan merasakan kalau Mira memiliki perasaan lain kepada Vivi.
Mira bukan hanya terjatuh dalam hal percintaan, tapi juga terjerembab dalam lubang yang sangat dalam dan tidak bisa keluar. Walaupun Mira tidak secara terang-terangan memperlihatkan perasaan kepada Vivi, tapi dari perlakuan kecil Mira yang selama ini Ara lihat untuk Vivi, itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan kalau Mira memang menyukai Vivi.
"Drun, lo belum di aqiqahin, ya." Ucap Ara.
Vivi menoleh ke arah Ara, ia menggeleng pelan, "Katanya sekalian pas gue nikah."
"Pantesan." Gumam Ara.
"Pantesan apanya?"
Ara mendorong kursinya kebelakang lalu berjalan pergi sambil berbicara. "Otak sama hati lo masih digadai in."
"Lo mau kemana?" Tanya Vivi sebelum Ara pergi keluar dari ruangan ini.
"Makan siang."
Ara masuk ke dalam lift dan menekan tombol paling bawah sendiri. Sudah 5 tahun lebih ia memulai bisnis ini sendirian dan dua tahun terakhir ia dibantu oleh Vivi dan Mira yang sudah lulus kuliah dan melamar di perusahaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Utuh
Teen Fiction"Ra, aku bukan orang yang baik. Kamu harusnya cari orang selain aku, Ra." -Fiony "Aku juga bukan orang baik, kok. Tapi yang aku mau cuma kamu, karena kamu yang bisa buat hatiku utuh." -Ara