"Rapat selesai sampai di sini saja." Ucap Ara yang sedari tadi terdiam dan mendengarkan laporan dari masing-masing bagian terkait permasalahan yang baru terjadi.
Raut wajah Ara yang tertekuk dengan tatapan mata yang tajam dan siap menerkam siapa saja yang dianggap salah. Sebenarnya rapat belum selesai karena sesi debat kecil baru saja dimulai, hanya saja Ara sudah tidak tahan dengan hal ini, dengan perdebatan yang menyalahkan satu sama lain.
"Pak Narto, dateng ke ruangan saya 2 jam lagi." Ucap Ara sambil menatap ke arah pak Narto yang hendak beranjak dari kursi.
"Baik, bu." Pak Narto mengangguk kecil, ia sadar kalau ini bagian dari tanggung jawabnya jadi ia akan menemui Ara dengan membawa beban yang sangat berat di pundaknya.
Fiony menoleh ke arah Ara, walaupun rencananya untuk mensabotase sawah sudah berhasil, tapi ia sedikit merasa kasihan kepada Ara yang terlihat sangat bingung kali ini. Tidak biasanya Ara hanya terdiam, bahkan saat ada yang bertanya pun Ara juga tetap terdiam, padahal biasanya Ara yang paling tidak sabar menunggu perkembangan dari setiap bagian, meskipun ada masalah kecil, tapi Ara tetap sangat antusias saat rapat.
"Ra, kamu gapapa?" Tanya Fiony sambil menyentuh tangan Ara.
Ara menatap Fiony lalu tersenyum kecil, ia menganggukkan kepalanya pelan. "Aku gapapa."
"Ada yang bisa aku bantu?"
"Em," Ara tampak berfikir sebentar, kira-kira apa yang bisa Fiony lakukan saat ini untuk dirinya. "tolong buatin kopi aja, tanpa gula."
"Itu aja?"
Ara mengangguk kecil dan mengulang ucapannya Fiony tadi, "Itu aja."
"Yaudah, aku bikinin sekarang." Fiony mendorong kursinya ke belakang, ia mengambil beberapa kertas dan berkas di atas meja.
Ara menahan tangan Fiony, "Bawa ke ruanganku, ya."
"Iya." Ucap Fiony kemudian berjalan meninggalkan Ara sambil membawa kertas dan berkas itu.
Ara masih mempertahankan senyumnya sampai Fiony keluar dari ruang rapat ini dan semua orang juga sudah keluar karena tidak mau melihat wajahnya Ara terlalu lama. Mereka takut saat Ara sudah seperti ini, muram, murung, tidak banyak bicara tapi banyak berpikir, ini seperti beberapa tahun lalu saat Ara masih merintis bisnis ini.
Kepala Ara diletakkan di atas permukaan meja, kedua kelopak matanya terpejam, ia tahu kalau ia harus bergerak saat ini, ia harus memikirkan cara supaya keluar dari permasalahan ini. Ia sudah melewati hal semacam ini dan ia bisa, sekarang ia hanya perlu bangkit dan mencari jalan keluar yang terbaik bagi semuanya.
"Ah sial." Gumam Ara.
Ara menegakkan tubuhnya, ia mendorong kursinya ke belakang lalu beranjak dari kursinya itu. Ia merapikan pakaiannya sambil berjalan keluar dari ruang rapat. Beberapa orang langsung menundukkan kepala dan terdiam begitu melihat Ara keluar dari ruang rapat dan melewati mereka begitu saja tanpa menyapa mereka seperti yang dilakukan Ara sebelumnya.
Mereka merasakan hawa dingin yang dipancarkan dari tubuh Ara, berbeda dari kemarin. Yah, ini kegagalan yang terbesar yang pernah dialami oleh perusahaan ini, jadi wajar saja kalau Ara sampai seperti ini. Masing-masing dari mereka saling menebak-nebak apa yang tengah dipikirkan pemimpin mereka saat ini, mereka tidak akan pernah tahu karena Ara juga tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
Ara menghentikan langkahnya saat melihat Fiony berdiri di dapur sedang membuatkan kopi untuk dirinya. Ia membelokkan kakinya, menghampiri Fiony, rasanya hanya Fiony saja yang bisa membuat harinya sedikit cerah.
"Udah selesai?" Tanya Ara yang berdiri di samping Fiony.
Fiony menoleh ke arah Ara sebentar lalu ia menuangkan kopi ke dalam cangkir, setelah cangkir itu sudah terisi dengan kopi, Fiony memberikan cangkir itu kepada Ara. "Selesai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Utuh
Teen Fiction"Ra, aku bukan orang yang baik. Kamu harusnya cari orang selain aku, Ra." -Fiony "Aku juga bukan orang baik, kok. Tapi yang aku mau cuma kamu, karena kamu yang bisa buat hatiku utuh." -Ara