“Setelah ini saya akan mengirim laporan hari ini kepada bapak.” Ucap Fiony dengan suara yang cukup pelan dan mungkin terkesan berbisik.
“Jangan lupa hasilnya juga.”
Fiony menganggukkan kepalanya pelan, “Baik, pak.”
“Fio.” Fiony sedikit terkejut karena Ara tiba-tiba muncul di depan wajahnya sambil tersenyum lebar. Ara menunjuk ponsel yang masih menempel di telinga Fiony, “Lagi sibuk?”
Fiony mengerjapkan matanya, ia menggeleng pelan, tangannya terangkat ke atas sebagai tanda untuk mengakhiri pembicaraannya dengan seseorang yang ia telfon barusan. Ara hanya menganggukkan kepalanya, ia melihat ke sekeliling dan mengawasi karyawannya bekerja dengan baik sambil menunggu Fiony selesai menelfon.
Jantung Fiony sempat berdegup kencang, ia benar-benar tidak menyadari kedatangan Ara, tiba-tiba saja wajah Ara langsung muncur di depan mejanya. Ia hanya berharap semoga Ara tidak mendengar apa yang ia bicarakan tadi di telfon, bisa habis hidupnya di sini kalau Ara tahu semuanya.
“Ada apa, Ra?” tanya Fiony setelah selesai menelfon dan juga menenangkan jantungnya.
Ara menoleh ke arah Fiony, kali ini wajahnya terlihat bahagia, “Mau ikut gak?”
“Kemana?”
“Sawah, sekarang lagi pada tandur. Aku mau liat bentar sebelum lusa ke Thailand.” Ara tersenyum ke arah Fiony, “Kita dulu sering liat orang tandur padi, kan?”
Sejenak Fiony tertegun dengan ucapan Ara dan juga senyumnya Ara yang selalu diperlihatkan kepada dirinya saat mengajaknya main ke sawah sepulang sekolah atau saat sore hari dulu. Seperti ucapannya dulu saat berpesta di rumahnya Ara, tidak ada yang berubah dari Ara sejak terakhir ia pergi, Ara masih sama seperti Ara dulu.
“Gimana?” tanya Ara lagi karena tidak kunjung mendapat jawaban dari Fiony.
Fiony menganggukkan kepalanya pelan, “Boleh. Lagipula semuanya juga udah beres.”
“Yes.” Pekik Ara, kini senyumnya semakin melebar. “Ayo kita pergi.”
Memang Ara sering mengajak Fiony pergi ke sawah saat musim tandur padi, menurut Ara itu terlihat sangat menyenangkan. Pernah Ara mencoba menandur padi di sawah, tapi malah kakinya tersangkut dan berakhir dengan tubuhnya ke jengkang ke belakang, setelah itu ia tidak mencoba untuk tandur padi lagi.
Jarak antara perusahaan Ara dengan sawah tidak cukup jauh, hanya perlu ditempuh dengan waktu 5 menit saja dan mereka sudah sampai di sawah. Ara meminjam salah satu motor milik karyawannya supaya lebih cepat sampai daripada ia memakai mobilnya.
Ara memarkirkan motor itu di tepi sawah, ia langsung turun dari motor dan berdiri di tepi sawah dengan senyum yang merekah indah. Fiony menoleh ke arah Ara, sejak dulu sampai sekarang senyumnya Ara lebih indah daripada langit senja dan itu menjadi favoritnya Fiony.
“Yuk.” Ucap Ara, ia meraih tangan Fiony lalu berjalan menyisir sawah dengan hati-hati supaya mereka tidak tergelincir ke dalam petak sawah.
Fiony merasa seperti de javu, ia melihat Ara yang berjalan di depannya sambil tetap menggenggam tangannya supaya ia tidak jatuh. Rasanya ia seperti melihat Ara masih mengenakan seragam SMA dan mereka berdua membolos sekolah untuk bermain di sawah. Ah, ia merindukan hari itu.
“Wonten punapa dumugi rawuh mriki, bu?” tanya seorang laki-laki paruh baya yang berjalan menghampiri Ara. (Ada apa datang kesini, bu?)
Ara melepas genggaman tangan Fiony, ia menjabat tangan laki-laki itu, “Pak Narto, saya cuma mau liat-liat aja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Utuh
Teen Fiction"Ra, aku bukan orang yang baik. Kamu harusnya cari orang selain aku, Ra." -Fiony "Aku juga bukan orang baik, kok. Tapi yang aku mau cuma kamu, karena kamu yang bisa buat hatiku utuh." -Ara