Prolog

82 8 0
                                    


"Tentang sepasang temu yang kelak menyatu"


Apa yang kita tahu tentang sebuah perkenalan? Apakah makna perkenalan hanya sampai pada transaksi pertukaran nama belaka? Ataukah, hanya sekedar bualan semesta yang sering kali kita anggap biasa? Jika kalian berpikir demikian, kalian salah. Bagiku, perkenalan adalah sesuatu yang luar biasa. Tak hanya soal menambah teman baru seperti kata mereka, manusia-manusia pada umumnya. Lebih dari pada itu, sebuah perkenalan memungkinkan kita menapaki petualangan baru dalam hidup. Baik itu petualangan raga atau rasa. Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Entah secara lantang atau dengan sikap malu-malu, kita memberanikan hati mengenalkan jati diri melalui sebuah nama. Ya, hanya sebuah nama. Kita mencoba untuk saling mengenal dengan hal semudah itu. Walau sejujurnya, hal itu tak mudah untuk dilakukan.

Kali ini, izinkan aku meperkenalkan diri pada kalian. Barangkali, dari pertemuan kita yang singkat ini akan terjalin hubungan emosional yang mampu menggerakkan nurani.

Namaku Nara, Nara Mahendra. Sebuah nama yang notabennya identik dengan nama perempuan. Ibuku memberikan nama itu bukan tanpa alasan. Ibuku menginginkan anak bungsunya seorang perempuan namun Tuhan tak mengizinkan. Namun, bukan Sartika Wiraswati namanya bila ia tidak keras kepala. Dia masih saja memaksa takdir untuk tunduk pada keinginannya. Yah, entah itu baik atau tidak kedepannya, itu tak jadi soal.

Mungkin, kalian tidak sependapat akan kisah dibalik pemberian nama ini. Bagiku, ini lumrah terjadi. Walau bagaimanapun, mau tidak mau, aku harus mensyukurinya. Toh, ibuku juga merawatku dengan baik. Aku tak pernah diperlakukan laiknya anak perempuan. Aku tumbuh sebagai lelaki pada umumnya. Ya... Meski kerap kali di kala waktu tertentu, aku dibuat kesusahan karena nama ini. Baik itu guru atau murid lainnya, ketika aku duduk di bangku sekolah dasar, tiada henti-hentinya mereka menanyakan makna dibalik namaku yang dirasanya aneh. Tak jarang pula mereka mencemoohku karena aku tak memiliki seorang ayah. Ketika itu, aku mulai menjaga jarak dari mereka. Perkenalan menyeretku pada jurang keresahan.

Masa-masa sekolah dasar adalah masa dimana aku tidak memiliki seorang teman. Selama enam tahun lamanya aku tak pernah bergaul. Masa kecilku getir. Hingga pada saat menginjak umur empat belas tahun, aku mulai mengerti pentingnya arti dari sebuah perkenalan. Ketika itu, aku bertemu dengan seseorang. Dengan penuh percaya diri dia mengenalkan namanya padaku, Ubay Muhammad. Lelaki jenius dengan rambut klimis belah tengahnya mampu menarikku dari lubang kesepian. Tak hanya itu, seiring waktu berjalan, semesta mengutus seseorang bernama Zulfikar, akrab disapa Zul untuk menemaniku menapaki petualangan-petualangan baru. Pada titik inilah keyakinanku mulai tumbuh, bahwa perkenalan mampu merubah jalannya kehidupan. Kini, aku lebih terbuka dari sebelumnya.

Pertemanan kami terawat hingga masa kuliah. Kami masuk di Universitas yang sama walau jurusan yang kami pilih berbeda. Aku lebih berani memperkenalkan diri. Aku lebih berani menerima pertemanan dari seseorang yang tak pernah kukenal sebelumnya.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai kehilangan arah. Dari perkenalan ke perkenalan lainnya, aku mengenal seorang perempuan yang kuanggap istimewa kala itu. Kami berteman tak cukup lama namun entah setan apa yang merasukiku ketika aku menyatakan kata cinta pada Shafira? Sosok perempuan itu. Aku tak mengerti. Hubungan kami bertahan selama lima tahun. Selama lima tahun itu pula perasaanku jatuh bangun. Sampai pada suatu ketika, aku memilih menyerah karena tidak tahan menerima luka yang tak kuasa kupendam. Aku terjerambab dan lebih tertutup seperti masa kanak dulu.

Rasa sepi mulai bersarang dalam benak. Tak ada gairah, hanya kata-kata sedih yang lalu lalang melintang di atas kehidupanku. Lambat laun aku mulai mengutuk diri. Menyesali segala perbuatan yang terjadi. Hari-hariku semakin tak menentu.

Tiba di penghujung tahun kuliah. Lagi-lagi dengan usilnya semesta merencakan sesuatu, aku dipertemukan dengan mahasiswi baru. Ada sekelebat ragu yang memaksa hinggap. Keyakinanku kembali dipertaruhkan, apakah dia akan membawaku pada jurang yang sama? Ataukah dia akan membawa petualangan yang berbeda? Sejenak, perempuan berbando merah dengan landang di ujung hidungnya itu, sekilas menarikku pada perhentian kata "suka". Jika kalian menanyakan alasanku menyukainya? Aku tak pernah tahu. Yang kutahu, dia menarik. Seiring berjalannya waktu pun aku dapat beranjak dari rasa sakit yang lalu. Aku suka ketika bertegur sapa dengannya. Aku suka ketika dia memanggilku. Aku suka ketika memanggil namanya.

Kupanggil dia... Yasmin.

Kupanggil Dia... YasminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang