LVL ✧ 01

2K 177 24
                                    

Yoongi berkedip pelan, kelopak matanya berat oleh kantuk dan suatu hal asing yang tak dapat ia namakan—mungkin kelopak matanya terasa sangat berat karena seharusnya, matanya itu tetap tertutup selamanya.

Selusin telur, kepalanya berbisik. Merek sereal kesukaan Yoonji. Ramyun pedas rasa udang. Odol. Kopi instan. Buah-buahan, supaya Ibu tidak lagi memarahi pola hidupmu yang tidak sehat.

Matanya seketika melebar, membulat. Buru-buru ia mencoba untuk duduk tegak, satu tangannya secara otomatis menopang kepalanya berdenyut hebat.

Ini dimana?

Seprai sutra. Langit-langit kamar yang tinggi. Lukisan-lukisan yang digantung di tembok yang dicat putih bersih. Permadani beludru dengan sulaman emas. Jendela lengkung yang terbuka lebar, membiarkan sinar matahari memandikan ruangan dengan cahaya. Tidak sulit untuk mengetahui bahwa ia tidak sedang di rumah—apartemen dua-ruangan yang ia tinggali bersama Yoonji tidak semewah ini.

Apa yang terjadi padanya? Kenapa ia berada disini?

Kepala Yoongi berdenyut lagi, sebuah pengingat bahwa ia jelas tidak baik-baik saja. Ia mengambil nafas kasar, dan dalam sekejap, ia mulai mengingat kejadian yang menimpanya: suara nyaring klakson mobil yang menusuk heningnya malam, decitan panjang yang menjadi soundtrack dari melambatnya waktu dan berputarnya filem hidupnya di depan matanya, cahaya yang membutakan...

Merahnya darah dibawah lengannya yang putih.

Yoongi dapat mendengar detak jantungnya, nafasnya makin memburu, apa mungkin ia..?

Tidak, tidak, tidak.

Ia mengambil nafas, mengelus dadanya. Tidak. Tidak apa-apa, ia selamat, bukan? Buktinya, ia (sepertinya) sekarang berada di suatu ruang inap suatu rumah sakit, dan lagi, ruang inap ini terlihat sangat mewah. Siapa orang kaya dermawan yang dengan murah hatinya membawanya kesini? Ia harus segera berterima kasih dan membayarnya kembali jika ia menemuinya.

Pikirannya terhenti saat ia mendengar suara langkah kaki yang terbenam beludru. Terdengar ketukan, lalu suara seorang wanita: "Tuan, apakah Anda sudah bangun? Bolehkah saya masuk dengan sarapan Anda?"

Tuan? "Si-silahkan," Yoongi menjawab.

Pintu mahoni besar di hadapannya itu terbuka lebar, sebelum seorang wanita masuk mendorong troli berisi makanan—kopi, bubur oatmeal, buah-buah potong, panekuk, eggs benedict...

Ya Tuhan, service charge di rumah sakit ini pasti sangat mahal, bagaimana ia dapat membayar orang kaya dermawan itu? Apakah ia harus berhutang? Apa ia harus mulai mencari satu atau dua kerja sambilan lagi agar dapat membayar hutang tersebut? Samar-samar, ia dapat mendengar suara Yoonji memarahinya, memanggilnya seorang idiot kikuk yang terberkati karena telah merasakan bagaimana rasanya diperlakukan seperti orang kaya meski cuma sehari sebelum memarahinya lagi, lalu—

"Tuan?"

Ah, Yoongi melamun lagi. "Ya- ya! Maaf, um..."

"Elizabeth, Tuan."

"Ah ya, Nona Elizabeth," ia meneguk ludahnya kasar. Makanan yang dibawa perempuan muda itu terlihat sangat menggugah. Ia berada di rumah sakit macam apa, sih? "Maaf Nona, apa saya boleh tahu siapa yang membawa saya ke sini?"

"Siapa yang membawa Anda?" Perempuan itu bertanya. Yoongi memicingkan mata, baju yang ia genakan aneh, namun entah kenapa, mengapa desain bajunya ini begitu familiar...

"Ya, pemuda atau pemudi yang dengan murah hati mengajukan saya ke rumah sakit ini?" Jelas Yoongi. Mengapa wanita ini terlihat begitu bingung? Bukankah yang seharusnya bingung saat ini Yoongi—sebagai pasien yang baru terbangun dari kecelakaan? "Saya ingin membayarnya kembali, juga berterima kasih. Dan bolehkah saya berbicara dengan dokter? Saya ingin tahu kapan saya dapat pulang, adik perempuan saya pasti menunggu saya di rumah."

"Rumah sakit? Tuan, apakah Anda sedang bergurau? Ini adalah rumah Tuan, kemana lagi Tuan akan pulang?" Ia tertawa kecil. "Adik Anda—Putri Audora—sedang belajar etika dengan Nona Alys. Untuk masalah dokter—Tuan memang kelihatan sedikit lelah akhir-akhir ini, apa Anda sungguh ingin saya memanggilkan dokter?"

Yoongi mengerjap. Maksudnya rumah ini punya Yoongi? Siapa Audora? Lagipula, di abad ke-21, mana ada yang namanya putri-putrian di Korea? Dan Yoonji, Yoonji dimana? "Oke, lucu sekali, cukup. Dimana kameranya? Apa saya sedang dibercandai?"

"Maaf Tuan, saya tidak mengerti maksud Tuan. Apa itu, ka... ka?"

"Sudahlah," Yoongi menjawab, sedikit kasar. Seketika, ia merasa bersalah telah menumpahkan emosinya pada wanita yang mungkin tidak bersalah ini. Seharusnya ia memarahi siapapun dalang dibalik bercandaan ini. Tapi hal itu dapat ia tunggu, tidak ada salahnya bila ia memakan sarapan ini dahulu, bukan? Atau jangan-jangan makanan ini diracuni? Yoongi memata-matai Elizabeth dan makananannya dengan curiga sebelum menghela nafas. Baiklah, bila ia memang sedang dibercandai, ia akan meladeni permainan ini. "Nona Elizabeth, bukan? Anda boleh keluar, terima kasih telah mengantarkan sarapan bagi saya."

Perempuan itu membungkuk hormat, meski kebingungan belum luntur dari wajahnya. Yoongi perlahan berdiri, sedikit linglung. Terdapat sebuah pintu di sebelah kiri yang sepertinya suatu kamar mandi. Dengan langkah pelan, ia membuka pintu tersebut, sedikit gembira saat ia melihat wastafel. Ia ingin mencuci tangan, mungkin membasuh mukanya juga, agar lebih terjaga...

Astaga.

Sosok yang menatap dirinya di cermin—sejak kapan ia mengecat rambutnya kembali menjadi hitam? Dan oh—oh, mengapa kepalanya tidak diperban? Ia ingat sekali bagaimana kepalanya terhantam keras menabrak jalanan aspal saat terpelanting karena kecelakaan. Kenapa ia bisa terlihat baik-baik saja? Tidak terlihat sedikit pun  bercak darah atau tanda-tanda luka pada wajahnya yang mulai memucat.

(Berapa kali ia akan jantungan hari ini? Siang saja belum datang, dan banyak hal sudah mengejutkannya.)

Hilang sudah rasa kantuk atau kesal Yoongi, digantikan guyuran kebingungan yang frantik. Kakinya membawanya berlari keluar, membuka pintu mahoni seperti orang gila. Ia harus mencari wanita tadi, meminta kejelasan. "Elizabeth!"

Untungnya, perempuan itu tengah berjalan menyusuri aula mewah di hadapannya, langkahnya pelan karena bingung sekaligus cemas akan tingkah tuannya yang berbeda dari biasanya. Terkejut mendengar namanya dipanggil, ia buru-buru berputar menghadap sang tuan.

"Ya, Tuan August?"

August?

Di antara kamar mewah, pelayan yang membawakan sarapan super mewah, fakta bahwa ia memiliki seorang putri yang bahkan tidak ia kenal sebagai adik, dan bahwa ia berpenampilan berbeda dengan Yoongi yang ia kenal, nama yang disebutkan oleh Elizabeth adalah keterkejutan yang paling besar.

August. Yoongi tahu nama itu. Pangeran kedua dari Kerajaan Suspirium dan karakter antagonis sekaligus second-lead dalam permainan otome 'Amoreux' yang rilis dua tahun lalu.

Hal yang terakhir ia dengar adalah teriakan Elizabeth yang panik sebelum dunianya sekali lagi menggelap.

PLOT TWIST 、taegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang