17 - Untuk Jadi Cukup

91 20 0
                                    





















"Sebab tidak ada yang bisa benar-benar mengenal seseorang 100% termasuk kita dan diri kita sendiri."










***


Riby : He said, "Having me by his side was more than enough."

Sejarah percintaan gue dari pertama kali gue pacaran pas SMP sampe terakhir Ken, selalu ada acara nembak-menembak.

Entah gue yang nembak duluan atau mantan pacar gue yang nembak. Karena gue tuh tipe cewek yang harus ada kepastian setiap kali ada cowok yang ngedeketin.

'Lo cuma mau kita temenan atau kita jadian.'

Gue selalu menekankan hal itu karena yang paling gak enak selain diganggu pas nguap adalah dekat tapi gak ada kepastian.

Jadinya bikin gue menerka-nerka sedangkan gue benci menebak-nebak kayak orang bego yang gak tau apa-apa.

Tapi nyatanya setiap orang pasti punya satu pengecualian akan apapun termasuk gue. Ketika Asher bilang,

"Lo dan segala apa-apa yang terjadi setelah ketemu gue dan gue dengan segala apa-apa yang terjadi setelah ketemu lo lagi. Kita mulai lagi dari awal. Lo dan gue."

'Kita mulai lagi dari awal. Lo dan gue.'

Jujur gue bingung tapi gak mau pura-pura sok gak ngerti juga karena menurut gue ucapannya itu mengarah ke dia ngajak gue jadian meskipun gak secara gamblang bilang, 'Ayo jadian sama gue'.

Jadi gak apa-apa kan kalo gue ge'er?

Gak apa-apa kan kalo gue bilang mulai kemarin kita resmi pacaran?

Gak apa-apa kan kalo gue bilang sekarang gue gak jomblo lagi?

Sebab tanpa gue menjawab pernyataannya itu gue rasa Asher juga tau kalo gak semua yang kita rasakan perlu diucapkan.

Ada hal lain yang bisa mewakilinya yang justru mungkin lebih berarti dari sekedar kata-kata.

Kayak gimana malam itu dia memberikan hoodie nya buat gue karena gue lupa bawa selimut sedangkan meskipun ada selimut di kereta gue gak terbiasa pake barang-barang yang bukan punya gue. Tapi anehnya hoodie Asher sama sekali gak terasa asing buat gue.

Atau ketika dia menaruh sebelah tangannya di jendela biar kepala gue gak berbenturan dengan kaca saat gue tidur.

Atau ketika gue merasakan seperti dia ragu-ragu untuk memeluk gue saat udara berubah menjadi lebih dingin begitu kereta memasuki Bandung.

Atau saat dia yang gak melepaskan genggaman tangannya pada tangan gue sejak kita turun dari kereta pagi itu.

Dan hanya dengan seperti itu gue bahagia.

"Tea?"

Gue menoleh, mendapati kak Ray udah berdiri di samping gue dengan cangkir yang masih mengepul di kedua tangannya.

"Oh, you prefer chocolate milk I guess."

Lantas tersenyum kecil dia menyodorkan salah satu cangkir itu ke arah gue.

"Thank's."

Dia mengangguk membiarkan gue menerima cangkir itu lalu menyeruput isinya pelan.

Sejenak hangat dari susu coklat itu mengalihkan gue dari udara pagi kota Lembang yang terasa begitu dingin.

Iya, ini sekarang kita lagi di Lembang.

SEBUAH TANYA ✔ SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang