BAB IV : CCTV SEKOLAH

75 17 0
                                    

Titik terberat dalam hidup Papa bukanlah saat saham bisnisnya menurun, melainkan melihat sang putri terbaring tak berdaya dengan alat – alat medis di tubuhnya. Sudah hampir lima hari Citra tertidur lelap dan sejak itu juga bayang – bayang Citra tidak pernah lepas dari pikirannya. Pikiran buruk selalu menghantui Papa, ia takut jika sewaktu – waktu Tuhan akan mengambil Citra dari keluarga kecilnya. Membayangkannya saja membuat laki – laki bernama Joko Hartanto itu hampir mati.

Setiap malam, Papa selalu terjaga dan berada di sisi Citra. Sesekali di genggamnya tangan gadis itu dan dikecupnya. Papa bukanlah orang yang mudah menangis, tapi jika itu bersangkutan dengan keluarga kecilnya, ia tidak akan pernah bisa sekuat itu.

Papa kehilangan kakek pada saat ia masih merintis perusahaannya. Di saat ia masih berjuang untuk sukses dan membahagiakan kedua orang tuanya, kakek pergi terlebih dahulu menghadap sang pencipta. Awalnya Papa mengira, ditinggal pergi kakek untuk selama – lamanya adalah hal terberat dalam hidupnya. Tapi ia salah ketika melihat putri kesayangannya berakhir seperti ini.

“Makan dulu, Mas. Mas belum makan sejak Citra dirawat.” Adik Papa, Om Mirza datang membawakan rantang berisi makanan dari Nenek. Nenek selalu mengirimkan makanan sejak Citra dirawat di rumah sakit. Namun baik Papa, ataupun Mama, sama sekali tidak ada yang menyentuhnya. Berakhirlah Felix yang harus memakan semua makanan pemberian Nenek.

“Bagaimana kakak bisa makan za, jika kondisi Citra masih seperti ini.” Kata Papa.

“Cukuplah Citra yang sakit, Mas Joko sama Mbak Krystal jangan sakit juga. Kasihan Felix! Citra juga pasti gak mau lihat orang tuanya begini.” Kata Om Mirza. “Lagi pula, ibu susah payah menyiapkan makanan ini untuk Mas. Hargai masakan ibu.”

Papa melirik ke arah rantang makanan yang berada tepat di meja. Entah berapa lama ia tidak makan dan hanya memikirkan kondisi Citra. Papa masih ingat ketika Citra marah karena Papa selalu melewatkan jam makan malam. Bahkan Citra tidak berbicara pada Papa selama seminggu.

“Citra gak mau bicara sama Papa!” Kata Citra kesal.

“Loh, kenapa?” Tanya Papa.

“Papa selalu saja melewatkan jam makan! Nanti Papa sakit dan aku gak mau lihat Papa sakit.” Sahut Citra.

“Papa sibuk banget di kantor, sayang... Jadi harus pulang larut malam.” Kata Papa berusaha memberi pengertian pada Citra.

“Berarti Papa gak sayang sama aku!” Kata Citra lagi.

“Loh, gak sayang gimana anakku? Papa sayang sama Citra, sayang juga sama Felix. Papa sayang kalian berdua.” Kata Papa.

“Papa saja gak sayang sama diri Papa, gimana bisa sayang sama aku dan Felix?” Kata Citra.

Papa menghela nafas dan tersenyum, “Oke, Papa janji akan pulang kayak biasa dan makan malam di rumah.”

Wajah Citra yang semula terlihat kesal, berubah menjadi sumringah. “Beneran ya pa?”

“Iya sayang.” Jawab Papa.


Om Mirza ada benarnya, Citra pasti tidak suka jika Papanya melewatkan jam makan. Ia tidak ingin membuat kecewa putrinya lagi. Sebisa mungkin, ia akan memberikan seluruh kebahagiaannya untuk Citra. Papa mengambil rantang itu dan mulai memakan makanan bawaan Om Mirza. Papa tidak beranjak dari tempat duduk sebelumnya, ia masih berada di samping ranjang Citra dan tidak meninggalkan Citra sedetik pun. Om Mirza lega, akhirnya Papa mau makan. Walaupun sedikit, setidaknya perutnya terisi makanan.

Sendok demi sendok, akhirnya makanan itu habis. Om Mirza menyodorkan air putih untuk Papa minum. Setelah makan, Papa merasa lebih bertenaga. Lima hari tidak makan membuat tenaga Papa terkuras habis. Papa mengusap pelan kepala Citra sembari berdoa semoga putrinya bisa segera sadar dari komanya.

TRUE FAMILY✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang