Setelah satu setengah tahun tidak bersama, banyak yang harus diceritakan dari hidupku dan Draco. Berjam-jam di ruang kelas dan hanya berdua dengan Draco, aku bahkan baru seperempat jalan dari bercerita dan memberinya pertanyaan-pertanyaanku, tapi tanpa kami sadari, langit sudah gelap dan kami sudah melewati waktu makan malam. Ia menciumku dan mengucapkan selamat malam padaku, dan ia juga berjanji bahwa esok hari pasti lebih baik.
Ada banyak yang ingin kuceritakan padanya. Tapi banyak yang tidak kuceritakan, karena aku merasa malu, merasa bersalah dan merasa tidak pantas mendapatkan kasih sayang darinya. Aku tidak memberitahunya bahwa malam itu, Neville dan Ginny masih bangun, menungguku di ruang rekreasi. Aku tidak memberitahunya bagaimana mereka mengintrogasiku, seperti sebelum-sebelumnya. Aku tidak memberitahunya bahwa aku akhirnya, berhasil berdiri dan berkata 'aku bisa mencintai siapapun yang aku mau'. Aku tidak memberitahunya rasa malu yang seakan membakar tubuhku—aku sebelumnya diberi waktu dua tahun untuk membela hubunganku dan Draco, dan aku baru melakukannya sekarang.
Hari demi hari berlalu dengan senyum lelah di seluruh meja perpustakaan dan Draco melilitkan syal-nya di leherku di hari-hari yang terasa dingin, dari buku-buku berdebu yang seakan kami telan untuk mempersiapkan ujian yang sebentar lagi datang—jika sekolah ini belum meledak ketika hari ujian itu datang. Dari beberapa sesi bermesraan yang panas antara dua orang yang saling merindukan satu sama lain. Dari mataku yang menghindari tangan Draco ketika ia tanpa sadar menggulung baju bagian lengan bawahnya. Walaupun kami secara sadar berpura-pura seakan semuanya baik-baik saja; berpura-pura seakan kami bukanlah hantu dari kami yang sebelumnya; aku lebih bahagia dibandingkan aku berbulan-bulan yang lalu. Jelas, semuanya tidak baik-baik saja, tapi dengan adanya Draco di sebelahku, rasanya semua baik-baik saja.
Ia mengatakan sesuatu yang menggema ketika aku sedang menunjuk bunga Bluebell yang berkembang di celah-celah danau hitam, seakan memberitahu bahwa musim semi akan datang. "Semuanya sudah lebih baik," katanya. "Dunia tau itu."
Aku berbaring, sedikit menutup mataku dari sinar matahari di bulan Februari ini. "Menurutmu begitu?"
"Memang faktanya."
Udara dingin menyentuh pipiku. Kami berbaring di pinggir danau hitam, dan kami adalah satu-satunya orang di sini, suara lainnya adalah suara burung yang samar-samar dan ceria.
"Maaf aku tidak mendengarkanmu," aku berkata dengan hati-hati. "Malam setelah... setelah menara Astronomi. Aku pasti mengerti, waktu kita pasti lebih banyak..."
Aku melihat bibir Draco yang membentuk senyuman sedih. "Aku agak senang, jujur," katanya. "Aku ingin kau ada di sana, pastinya, tapi aku terus berpikir bahwa jika kau membenciku, akan memberiku alasan untuk membuatmu jauh dariku. Untuk keselamatanmu."
Aku mengangkat daguku, tanganku menggambar di rumput. "Kau selalu berusaha membuatku aman, Draco. Aku bisa—"
"Aku tau," kata Draco. "Kau bisa menjaga dirimu sendiri, bla bla bla." Ia mendekatiku, menyeringai. Rumput di tanganku berwarna hijau tua, tapi cerah, sehat dan dingin dari musim dingin yang baru saja berlalu, tapi aku tidak terlalu merasakannya. Semua inderaku hanya konsentrasi padanya.
Aku berusaha mengingatnya; warna-warna di matanya; garis di wajahnya ketika ia menyeringai. Bagaimana matahari bergerak searah dengannya; muncul dan hilang di belakangnya; sinar menembus rambutnya dan memperlihatkan bayangan-bayangan pirang putih, dan melalui bulu mata panjangnya ketika ia berkedip.
"Aku bodoh sekali," aku berkata, laki-laki di atasku mengangkat alisnya. "Aku bisa mendapatkan ini—kau—dari dulu, tapi aku terlalu keras kepala untuk melihat kesalahanku sendiri."
Draco bertumpu pada sikunya. "Kesalahan apa?"
"Aku meragukanmu. Aku mengaitkan dengan semua stereotipe yang aku ketahui tentang Death Eater—" Draco terlihat tidak nyaman ketika aku menyebut kata itu—"daripada mempercayai laki-laki yang aku kenal. Seperti aku meragukan ayahku." Aku memejamkan mataku, ia hilang dari pandanganku. "Aku tidak tau kenapa kau menyukaiku."
Aku merasakan kecupan di rahangku. "Karena kau berani."
"Kau tidak perlu menjawab—"
Ia mencium tulang selangka-ku. "Dan kau baik, dan lucu." Kemudian, ia mencium keningku. "Dan kau lucu saat kau marah."
Aku mengerang. "Kau menggelikan."
Draco mengetuk hidungku dengan ujung jarinya agar aku membuka mata. "Dan terakhir, karena kau adalah perempuan paling cantik."
Tawaku pecah, sama dengannya, menggenggam tanganku selagi kami tertawa.
Ia berbaring di sebelahku, mengulurkan tangannya. "Ketika ini semua berakhir," katanya, "kita akan kabur. Ke pondok kecil, tersembunyi dan terpencil. Kau suka laut kan?" aku mengangguk, pandangannya membuatku diam—penuh semangat dan optimis. "Kita cari yang dekat laut," ia melanjutkan, "dan kita akan tinggal di sana. Kita akan berbaring di pantai dan membuat istana pasir, dan bernafas di udara laut seharian. Dan kita akan melupakan semua orang yang menentang kita."
Aku tersenyum, terkesan oleh harapannya, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan picikku—bagaimana jika hari itu tidak akan pernah datang?
"Terdengar seru kan?" dia bertanya ketika aku tidak menjawab. "Kita akan bahagia sekali."
"Aku bahagia sekarang."
Ia membuat lingkaran di tanganku menggunakan jarinya. Menurutku, untuk beberapa saat, aku menyinggungnya, tapi suaranya terdengar sabar. "Kenapa kau tidak mau memikirkan tentang masa depan?"
"Bukan begitu," aku berkata pelan. Tapi Draco benar dan aku tau jawabannya: ia percaya dunia ini sedang membaik, sementara aku percaya dunia ini sedang hancur.
Aku tidak memberitahunya. Sisi bahagianya ini yang sudah lama tidak kulihat. Memberitahunya bahwa aku menduga sekolah ini akan habis dengan api dalam hitungan detik, akan menghancurkannya.
Maka aku berbaring, memejamkan mata untuk menyembunyikan keraguan itu, dan aku bergumam. "Ceritakan padaku. Ceritakan tentang pondok itu."
Draco bercerita seakan sudah bertahun-tahun ia tidak berbicara pada seseorang, menjelaskan rumah itu akan dipenuhi sofa dan selimut, dan jendela-jendela besar di mana kami bisa duduk dan menikmati hujan, ia bisa membaca dan aku bisa menulis, dan kami adalah satu-satunya orang di sana. Kami akan jalan-jalan di pinggir pantai setiap sore, menyaksikan matahari terbenam pada garis laut, dan tidur di tempat tidur terempuk dan terbesar yang bisa kami temukan. Ia berbicara dan berbicara, dan ia menggambar gambar kecil di tanganku, gambar seorang laki-laki dan perempuan berdansa di pantai yang diterangi sinar bulan, tidak berbincang pada siapapun kecuali pada satu sama lain sepanjang hidup kami; hanya kami berdua hingga kami tua dan rapuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teruntuk Draco,
Fanfictioncc: @malfoyuh Link: https://www.wattpad.com/story/65144436-dear-draco Hai, semuanya! Ini adalah hasil terjemahan bahasa Indonesia dari fanfiction "Dear Draco," yang ditulis oleh Ana / @malfoyuh. INI BUKAN KARYAKU, AKU CUMA PENERJEMAH. Aku tertarik...