Aku tau kau lebih bahagia sekarang, tapi rasanya sakit.
-
Hari paskah tahun ini terasa sangat cepat datangnya, dan tanpa terasa, Hogwarts Express kembali ke peron 9 3/4, bunga es pada kaca-kaca kereta dari musim dingin belum sepenuhnya meleleh. Draco menarikku ke salah satu kompartemen kosong, menyelipkan helaian rambutku ke belakang telinga dan berkata bahwa kami akan bertemu lagi secepatnya, menyuruhku untuk menjaga diri, berkali-kali berkata bahwa ia sangat berharap semuanya bisa berubah tapi ia juga bersumpah semuanya akan berubah, ketika waktunya tepat. Ia menciumku, seakan ia bisa menyelamatkan nyawanya dengan menciumku.
Dan ketika kami berdiri di peron, ia tidak ada pilihan lain selain pulang ke rumah, ke rumah yang dibangun di atas ketidakbahagiaan; ketika ia memutar tubuhnya dan tangannya sudah lepas dariku, ia berpikir aku sudah tidak mengamatinya, tapi aku masih. Aku akan selalu mengamatinya, aku bisa melihat ekspresi muram di wajah pucatnya. Anak laki-laki yang tidak bisa memilih.
Namun di samping dirinya yang selalu terlihat tajam dan tegas, Draco mulai menjadi dirinya yang dulu—laki-laki yang suka tersenyum jahil, berkomentar sarkastik dan kejam; laki-laki yang menahanku di dinding dan berbisik di telingaku ketika seharusnya kami menjadi musuh besar. Itulah keriangan yang aku lihat hari ini. Kepalaku serasa masih berputar dari sentuhannya—di tangan, leher, lalu pinggang, lalu paha—lalu hilang, hilang begitu saja ketika seorang temannya membuka pintu kompartemen. Sayang sekali.
Aku terkejut ketika sebuah tangan memegang pundakku. "Isobel," panggil Ginny. Ia terlihat terengah-engah. "Aku dari tadi memanggilmu."
Aku berusaha menghilangkan gambaran-gambaran kejadian di kompartemen ini dari kepalaku, dari jari-jariku yang berada di antara helaian rambut halusnya—
"Maaf. Aku memikirkan hal lain."
Ginny mengernyitkan hidungnya. "Aku harap itu bukan tentang Malfoy. Mukamu merah."
Aku merasa pipiku semakin merah. "Tugas sekolah."
Ginny memutar bola matanya, seakan bohong itu sangat bodoh dan aku juga bodoh mengira Ginny bisa langsung percaya. "Apapun hal menjijikan yang kau pikirkan—" katanya, dan aku menahan senyuman—"Ada hal penting yang mau kusampaikan."
Ia melirik ke kerumunan orang di sekitar kami, dan menarikku ke belakang tiang. "Apa—"
"Remus Lupin ada di sini," kata Ginny dengan nada berbisik, matanya tidak menatapku, ia mengamati kerumunan orang yang berlalu lalang, gelisah dan takut ada yang mendengarkan. "Aku bertanya padanya apa dia mendengar kabar tentang Luna. Ia belum mendengar apapun, tapi ia sangat yakin semua tahanan ditahan di—" ia akhirnya menatapku—"Malfoy Manor."
Kata-katanya terdengar seperti pisau yang sangat tajam, dan serangkaian beban pertanyaan menghujaniku secara bersamaan. Draco dan Luna ada di satu atap yang sama? Apa orang tua Draco menahan Luna? Apa Malfoy Manor seburuk itu? Aku berkedip. "Tidak mungkin. Ia akan tau... Draco pasti tau, pasti, kalau Luna ditahan di rumahnya."
"Bagaimana kalau dia memang tau?" kata Ginny. "Mungkin dia tidak memberitahumu. Isobel, ini satu-satunya petunjuk—"
"Dia pasti memberitahuku," aku berkata, merasa sedikit tersinggung pada Ginny yang masih tidak mempercayai Draco.
"Kau yakin?"
"Iya. Apa Remus yakin..."
Ginny mengangguk pelan. "Apa mungkin Draco tidak tau? Orang tuanya tidak memberitahunya? Karena menurutku Remus sedang merencanakan sesuatu. Malfoy Manor adalah rumah yang sangat besar dan sangat mengintimidasi, dengan banyak keamanan; itu tempat yang sempurna untuk menahan seseorang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teruntuk Draco,
Fanfictioncc: @malfoyuh Link: https://www.wattpad.com/story/65144436-dear-draco Hai, semuanya! Ini adalah hasil terjemahan bahasa Indonesia dari fanfiction "Dear Draco," yang ditulis oleh Ana / @malfoyuh. INI BUKAN KARYAKU, AKU CUMA PENERJEMAH. Aku tertarik...