"Ia terlambat."
"Shh." Mata coklat Ginny menatapku, pipinya menempel pada dinding di sebelah kami. Setiap gerakannya seakan menyuruhku untuk berhenti khawatir, walaupun aku tau, ia juga tidak yakin.
Kami sudah mengawasi rutinitas Snape selama beberapa hari ini agar kita mendapat cara untuk masuk dan mengambil pedang itu. Luna benar: ia datang pada awal jam makan. Malam, lalu ia pergi ketika semua orang sudah tidak memperhatikannya. Beberapa menit itulah waktu kami beraksi. Tapi kami di dalam ruangannya sekarang, dan ia terlambat, dan rasanya kami akan tertangkap.
Kami menunggu beberapa menit lagi dalam kesunyian sebelum aku berbisik. "Ini konyol. Ia tidak akan keluar, dan seseorang akan lewat dan melihat—"
Di saat yang bersamaan, gargoyle di samping tempat kami berdiri bergerak, menyamarkan suaraku dengan suara gesekan batu yang kencang. Tangga spiral yang berputar, yang mengarah ke ruangan Snape terlihat di belakangnya, dan sebelum rasa ragu kami meningkat, Ginny berlari ke sampingnya, dan kami tidak ada waktu selain mengikutinya. Di sisi lain dari tangga, aku bisa melihat sekelebat jubah hitam Snape.
Saat gargoyle itu kembali ke tempat semula, kesunyian mengelilingi kami lagi. "Berhasil." Aku berbisik, jantungku berdetak dengan semangat.
Ginny menyeringai di depan pintu kayu besar yang langsung menuju ruangan Snape. "Tinggal mengambil pedang," katanya. "Mudah."
"Aku tidak tau," aku berkata. "Aku masih merasa ada yang salah."
"Rasanya ada yang tidak beres," Neville mengakui. "Ia biasanya tidak seterlambat ini."
"Mungkin dia tidak ke ruang makan." Kata Luna.
"Apa kita harus tetap—"
"Iya," kata Ginny. Matanya tertuju pada pintu. "Iya, kita harus. Kita sudah masuk, apa salahnya mencoba. Dan jika kita dikeluarkan, yah, kita semua benci sekolah ini juga, 'kan?"
"Dan jika Snape melihat pedang itu hilang—"
"Selama Snape tidak bisa membuktikan kita mengambilnya, kita akan baik-baik saja. Kita hanya perlu keluar sebelum dia kembali. Tidak apa-apa."
Ginny mendorong pintu berat itu. "Aku akan mengawasi," katanya. "Kalian masuk saja."
Kami melewati Ginny, memasuki ruangan berbentuk lingkaran yang menjadi ruang kepala sekolah. Ginny adalah satu-satunya di antara kami yang pernah memasuki ruangan ini sebelumnya, dan aku terdiam sebentar, mengagumi pemandangan baru dan luar biasa ini. Ratusan artefak yang aneh dan rumit tersusun di dinding yang melengkung, tidak diragukan lagi koleksi Profesor Dumbledore. Di sekitarnya ada banyak foto para kepala sekolah sebelumnya, yang memandang kami dengan penasaran dari bingkai mereka. Ruangan ini terlihat tua, tapi nyaman, dan masih banyak lagi hal yang ada di sini yang tidak kubayangkan dari seorang Snape.
"Itu dia," kata Neville, mengejutkanku. Ia berdiri terpesona, mengarah ke sebuah cekungan di dinding yang membentuk sebuah ruang kecil tanpa pintu yang berada di atas ruangan. Di belakang kaca yang berkilau, adalah pedang Gryffindor, bahkan terlihat lebih berkilau karena adanya pantulan sinar bulan.
"Tidak terlihat terlalu bagus, ya?" kata Luna, datar.
Aku mengambil sebuah kursi dari meja kerjanya dan memanjat, aku bertatapan dengan kaca itu. Aku bisa melihat bayanganku pada pedang itu, yang bersinar di depan mataku.
"Uh, terus apa?" tanyaku, menghadap ke mereka bertiga.
"Pecahkan." Jawab Neville.
"Tidak mungkin. Kita hanya punya beberapa menit, jika ada yang mendengar pecahan..."
Aku tidak melanjutkan. Neville mengangkat bahunya. "Aku tidak ada ide lain, Iz."
Aku menghela nafas. "Ada mantra untuk memecahkan kaca tanpa suara?"
"Kau bercanda?" Ginny terdengar kesal, ia memasuki ruangan. "Mundur," katanya seraya ia mengarahkan tongkat sihirnya ke arah kaca. "Reducto!"
Kaca itu pecah dan seakan bergerak lambat, aku dapat melihatnya terpecah belah menjadi potongan-potongan kecil, membuat suara pecahan yang kencang ketika pecahan itu mencapai lantai.
"Kencang sekali," kata Neville dengan gembira. "Ambil, sebelum Snape kembali."
Mengabaikan keluhan dari lukisan-lukisan di sekitar kami, aku menggenggam gagang dari pedang itu dan menariknya keluar.
"Hati-hati." Kata Luna ketika ia melihatku kesusahan menahan beban pedang itu. Ia membantuku turun dari kursi.
Aku menatap pedang itu. Bersinar, mengkilap dan tanpa diragukan lagi, megah... tapi aku tidak bisa menahan perasaan yang mengganjal. "Ambil ini," gumamku, mendorongnya ke Ginny dan Luna. Aku mengambil bangku dan mengembalikannya ke meja. Lalu aku mengarahkan tongkat sihirku ke arah kaca dan berbisik, "Reparo."
"Untuk apa kau lakukan itu?" Tanya Neville, mengernyitkan alisnya. "Harusnya kita rusak tempat ini!"
"Boleh kita pergi sekarang?" tanyaku. "Rasanya akan ada yang masuk sebentar lagi."
"Iya, ayo," kata Ginny dengan gugup. Pedang itu, sekarang, disembunyikan di dalam jubahnya, dan itu membentuk tonjolan aneh di tubuhnya.
Aku membuka pintu kayu itu, agar semuanya bisa keluar, dan aku hampir keluar ketika—
"Apa yang kalian lakukan?"
Ada perasaan aneh yang tidak karuan di perutku dan aku mundur kembali ke dinding di belakang pintu. Aku mendengar langkah yang cepat dan berat, dan suara Snape.
"Salah satu dari kalian, jelaskan kenapa kalian ada di sini? Dan kenapa kalian memegang—apakah itu—"
"Pedang Gryffindor," aku dengar Ginny menjawab dengan gemetar. Aku tetap di belakang pintu. "Kami mengambilnya kembali."
Aku mengintip dari celah pintu, jantungku berdetak sangat kencang. Snape berdiri di sisi kanan, wajahnya pucatnya terisi penuh dengan perasaan marah. Ginny, Neville dan Luna terlihat ketakutan, dan aku hampir keluar untuk membongkar diriku sendiri saat Ginny menatapku dari celah pintu di mana aku berada, melotot dan menggelengkan kepalanya padaku. Aku menahan nafas.
"Kalian semua bodoh," kata Snape, suaranya diselimuti oleh amarah. "Apa kalian tidak tau bahaya dari berada di sini, nilai serius dari aksi kalian? Kalian bisa merusak—"
"Pedang ini milik Harry," Neville memotong dengan berani. "Kami akan mengembalikan ini padanya, karena kau tidak akan pernah."
"Sangat berani," kata Snape dengan sinis. Pada saat ia marah seperti sekarang, matanya terlihat lebih tajam dari biasanya, dan terus muncul berjalan mondar-mandir melewati tameng kayuku ini. Paru-paruku rasanya akan meledak jika aku menahan nafas lebih lama lagi.
Ginny, Neville dan Luna tetap diam, dan aku harap mereka akan tetap begitu. Mengatakan apapun lagi akan membuat Snape lebih kesal, dan aku bergidik membayangkan apa yang ada di dalam pikirannya sekarang. Sekali lagi, Ginny menangkap mataku dari celah pintu dan berbicara tanpa suara. "Diam di situ." Katanya.
Untuk beberapa waktu yang lama, tidak ada yang mengatakan apapun. Kemudian Snape kembali untuk menuruni tangga, jubahnya menabrak wajah Neville. "Ikuti aku." Bentaknya, dan dengan berat, mereka bertiga mengikuti.
Ketika aku tidak bisa melihat mereka lagi, aku perlahan menghitung sampai sepuluh. Kemudian aku melangkah keluar dari persembunyianku, berlari turun tangga dan ke menepi di koridor, membersihkan debu pada jubahku. Aku berjalan maju ke titik di mana ada cahaya bulan yang masuk, memikirkan cara untuk kembali ke ruang rekreasi tanpa dicurigai—
"Sedang apa kau di sini?"
-----
NOTE:
GARGOYLE: Mengacu pada batu atau patung terukir dengan desain yang besar, mengerikan, atau jelek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teruntuk Draco,
Fanfictioncc: @malfoyuh Link: https://www.wattpad.com/story/65144436-dear-draco Hai, semuanya! Ini adalah hasil terjemahan bahasa Indonesia dari fanfiction "Dear Draco," yang ditulis oleh Ana / @malfoyuh. INI BUKAN KARYAKU, AKU CUMA PENERJEMAH. Aku tertarik...