|1|

212 10 4
                                    

Setiap kata adalah doa, begitu yang dipercayai banyak orang. Dulu, ucapan yang selalu Adit sampaikan saat anniversary kepada pacarnya adalah semoga kita selalu bisa bahagia bersama. Tidak ada yang salah memang, tidak ada yang salah juga dengan kenyataan mereka berpisah, mungkin itu bagian dari rencana tuhan atas kata yang diaminkan langit agar mereka tetap bisa bahagia bersama.

Bukan hal yang mudah awalnya bagi Adit untuk membuat keputusan, antara bertahan atau berhenti. Segala cara juga sudah dilakukan, tapi perbedaan-perbedaan tidak pernah bertemu dengan sepakat. Berujung usai, menjadikan toleransi tidak ada arti karna ego tak mau kalah dari hati.

Hari-hari yang dijalani Adit setelahnya menjadi suram. Di pandangannya langit seolah runtuh, dunianya menjadi gelap. Hal yang diinginkannya adalah menjadi kebas, mati rasa atas segala kesakitan yang menumpuk selama ini. Mungkin bagi yang lain menggangap Adit terlalu mendramatisir, tapi setiap orang mempunyai limitnya sendiri untuk rasa sakit. Jangan beranggapan semua mampu meneguk kopi dari cangkir yang sama.

Sudah lebih dari dua minggu berlalu sejak Adit minggat dari rumah dan melarikan diri ke bali bertemankan malam dan alkohol. 'Lagi butuh waktu sendiri' menjadi jawaban atas kekhawatiran keluarganya. Hingga di suatu siang menjelang sore dia terbangun dari mabuk karna memimpikan melihat seorang perempuan bertubuh mungil dengan rambut panjang sedang tersenyum menatapnya. Adit mencoba mendekat untuk melihat wajahnya lebih jelas, namun disaat yang sama handphone yang tadi malam diletakannya di samping kepala berbunyi nyaring karena panggilan masuk. Dengan kesadaran yang berusaha dikumpulkan Adit menggulir layar terima.

"Halo? Assalamualaikum, Adit? "

"Hmm.."

"Halo, dit, mbok ya kalo mama salam itu dijawab, bukannya hemheman. Jangan bilang kamu baru bangun? ini udah mau malam lagi dan kamu masih belum beranjak dari kasur. Hidup kam-"

"Ma.. kepala aku lagi sakit, mama jangan ngomong terus, mama mau kepala aku meledak?"

Amanda hanya mampu menghela nafas mendengar balasan dari anak bungsunya itu. Memang dari dulu Adit tidak bisa dikeraskan, keras kepalanya persis seperti mendiang suaminya, Thomas. Dulu, saat ia sedang memasak, Adit selalu membantu dengan memecahkan telur menggunakan kepalanya. Benar-benar definisi sesungguhnya dari keras kepala. Meninggalkan Amanda yang cemas mengelus kepalanya yang benjol setiap malam.

Dengan nada yang lebih rendah namun tegas Amanda kembali berbicara.

"Aditya Wijaya mama mau kamu dengerin mama dengan serius."

Meski belum sepenuhnya sadar, Adit mencoba untuk memusatkan fokus pada suara mamanya.

"Dit, ini udah hampir sebulan kamu kabur gak jelas, lari entah dari apa? kamu gak rindu mama? kakak-abang? teman-teman kamu? Kuliah kamu mau dibiarkan terbengkalai? Kamu yang bilang sama mama untuk lulus semester ini. Mama gak masalah kamu gak lulus tepat waktu karna sulit di penelitian, tapi mama gak akan pernah rela kamu buang-buang waktu meraih impian kamu hanya karna perempuan, karna putus cinta. Mama tahu hati kamu sakit, karna mama juga. Orang tua mana yang membiarkan anaknya larut dalam rasa sakit dan menyiksa diri sendiri. Jadi, pulang ya nak? kita sembuhin sama-sama."

Meski suara mamanya diseberang sana terdengar tegas tapi ada sedikit getaran dalam suaranya. Getaran yang mendobrak lagi pertahan Adit hingga dia harus menggerakkan tangan kirinya untuk menekan matanya agar tidak menangis. Di dalam benaknya dia menyesal pernah menangis untuk seorang perempuan tanpa menyadari ada wanita yang menangis melihat dia terluka.

Rekonsiliasi HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang