Regret it

43 9 1
                                        

Ingin ku coba lagi, mengulang yang telah terjadi.
Tetapi semua sudah tak berarti.
Kau telah pergi..

**
Ali melamun diruang kerjanya, jiwanya seakan hilang, gairah hidup tak terpancar diwajahnya.
Kehilangan baru ia rasakan beberapa hari lalu, dan sekarang, ia harus merasakannya lagi.
Maliq pergi dari rumah, lantas siapa yang akan menghebohkan rumah lagi.

Dritt..
Bunyi ponsel bergetar, tanda ada yang menelpon, ia segera mengangkatnya.
" ........ " Entah apa yang dibicarakan seseorang disebrang sana, hingga Ali menghela napas.
" Bagaimanapun caranya, kalian harus menemukan Maliq, secepatnya.. " Tegasnya, kemudian mematikan sambungan telpon.

Ia mengusap wajahnya " Kemana kamu pergi nak?, sudah tiga hari gak ada kabar, papa mengkhawatirkanmu " Lirihnya.

**
" Bagaimana tuan?, apakah den Maliq sudah ditemukan " Yuni menyambutnya dengan pertanyaan, saat sore itu ia pulang kerja.
Ali menghela kemudian menggeleng " Belum, orang suruhan saya, belum menemukannya, Maliq hilang tanpa jejak " Ucapnya berlalu ke dalam.

" Ay " Prilly memanggilnya, membuat langkahnya terhenti, namun tidak berbalik untuk menatap istrinya yang duduk diruang tengah.
Prilly beranjak, menghampirinya " Bagaimana ay, apakah mereka sudah menemukan Maliq? "

Ali memijat pelipisnya " Aku capek, mau istirahat dulu yah.. " Tuturnya tak menjawab pertanyaan istrinya.
Entah kenapa, ia jadi marah dengan istrinya, karena Maliq belum ditemukan, dan penyebab kepergiaannya adalah istrinya sendiri.

" Ay " Rengeknya menarik pergelangan tangan suaminya.
" Aku tau, aku salah, dan aku sudah sangat menyesal, tapi pleass.., jangan giniin akuu.. "
" Tolong beri aku waktu dulu " Ucapnya perlahan melepaskan tangan istrinya dipergelangannya.

Prilly menatap nanar punggung suaminya, membekap mulutnya, agar isak tangis tak keluar, karena matanya terus mengeluarkan tetesan air mata.

*
*
Prilly POV

Penyesalan.
Itulah yang ku rasakan kini.
Apa yang sudah ku perbuat pada anakku.
Yang ku lakukan saat itu, tak layak dimaafkan.
Ya, itu sudah sangat keterlaluan.
Oh tuhan...
Kehilangan Mirza membutakanku.
Membuat ku menyakiti anak tak bersalah itu.
Hukum saja aku tuhan, jangan kau hukum dia, lindungi dia, dimanapun dia berada.

Maliq, hidupnya sejak kecil tidaklah mudah, selalu ada cobaan yang menghampiri.
Tapi ia melalui itu semua dengan kepolosannya, ia tak mengerti semua itu.
Aku dan suamiku, kami dikirim untuk melindungi dan menjaganya, membimbingnya untuk melewati itu semua.

Tapi aku, aku malah mengusirnya pergi, membiarkan anak itu berjalan tanpa arah.
Ia masih kecil, apa ia bisa mencari tempat tinggal yang baik dan aman?.
Bagaimana jika ia kehujanan?.
Bagaimana jika ia kelaparan?.
Bagaimana kalau ada orang yang ingin berniat jahat?.
Bagaimana?, bagaimana?, dan bagaimana?.

Dipikiranku selalu muncul pikiran negative.
Jika sesuatu terjadi padanya, aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri.
Perkataan suamiku waktu itu memang benar, aku melupakan semuanya.
Jika Maliq tak hadir ditengah kami, maka pasti perceraian itu akan terlaksana.
Jika Maliq tak ada, tuhan pasti belum memberi kepercayaan pada kami untuk menjaga dan merawat Mirza.

Ya, semua kebahagiaan yang datang itu karena Maliq, dia seperti pembawa kebahagiaan di keluarga kami.
Padahal hidupnya yang sebenarnya tidaklah bahagia, banyak sekali hal mistis setiap ia menjalani hari.
Aku memang bodoh, menyalahkan anak tak tau apa - apa seperti Maliq.

**
Tiga pria berdiri di depan pintu sambil tertawa.
" Haha, kita akan punya banyak uang, jika anak itu dijual " Tutur pria berbadan besar dan berkumis, namanya Joko.

Pria yang bernama Toni berbadan kurus dan tinggi tersenyum licik " Ide bagus! " Sahutnya sambil menatap seorang anak kecil yang tertidur dikasur tempat gubuk mereka.

" Yah, kita anak menjualnya dengan harga mahal, karena anak itu tampan, lucu dan sangat polos, sudah pasti banyak yang berminat " Pria berbadan pendek diantara kedua temannya itu, membuka suara, ia disapa Deni.

**
" Kebakaran!!, kebakaran!!! " Keributan diluar guduk, membuat Maliq terbangun sambil terbatuk - batuk.

" Tenapa belicik? (Kenapa berisik) " Gumamnya sambil mengucek - ngucek mata, karena pandangannya masih kabur.

" Kebakaran!!, tolong ada kebakaran!!! " Teriakan itu terus terdengar, tapi tidak membuat Joko, Toni dan Deni yang tidur dikamar sebelah, terbangun.

Maliq berjalan keluar dengan heran " Tenapa ada api? (Kenapa ada api) " Tanyanya ketika melihat ada api dihadapannya.

" Hey!, di dalam ada anak kecil!! " Teriak Salah satu orang yang berada diluar, karena tak sengaja melihat Maliq dari balik kaca gubuk itu.

BUKK
Pintu sudah rubuh karena sudutnya dimakan api, hampir mengenai Maliq yang berdiri tak jauh dari depan pintu, untung ia bergerak mundur dengan cepat.

" Apa api atan makan mayik cepelti tayu tu? (Apa api akan makan Maliq seperti kayu itu)  " Tanya Maliq pada dirinya, dengan raut ketakutan.
" Hey nak, tunggu disana " Seseorang perlahan masuk melewati api tersebut.

" Ayo kita keluar nak " Ajaknya mendekap Maliq, ketika sudah berhasil melewati api.
Ketika orang itu sudah berada di luar bersamanya, Maliq baru teringat pada Joko, Toni dan Deni yang masih berada di dalam.

" Om oko, om oni cama om Deyi macih di dayam (Om Joko, om Toni, sama om Deni masih di dalam) " Ocehnya.
" Eh, eh nak, kamu mau kemana? " Tanya bapak yang menolongnya tadi.
" Om, om Mayik ada di dayam (Om, om Maliq ada di dalam) "
" Oh, astaga, benarkah?, tapi kenapa mereka tidak berteriak? "

Tanpa menghiraukan perkataan bapak tadi, ia langsung berlari masuk, hingga orang - orang di luar menjadi panik.
Beruntung api dekat pintu padam, karena disiram terus menerus oleh warga sekitar, hingga ia bisa menyusup dengan tubuh mungilnya.

" Om, om, angun, ada api! (Om, om, bangun, ada api) " Maliq menggoyang - goyangkan tubuh Joko.
Joko menggeliat, saat kesadarannya kembali, ia terbatuk - batuk.
Matanya membulat ketika melihat pintu kamar dimakan api, mungkin sebentar lagi mereka akan terbakar.

" Toni!!, Deni!!, bangunnn.., kebakarannn!!! " Teriakan Joko mengagetkan Toni dan Deni.
" Ohokk, ohokk, ohokk " Toni dan Deni terbatuk bersamaan " Astaga!!, kebakaran!! " Seru keduanya serempak.

" Yo om, tita kelual, nti dimakan api!! (Ayo om, kita keluar, nanti dimakan api) " Seru Maliq menarik - narik tangan Joko dan Toni.
Ketiganya terdiam menatap Maliq " Kau peduli dengan kami? " Tanya Deni tak percaya.
" Yo om, tita kelual, ohok, ohokk.. (Ayo om, kita keluar) " Ucap Maliq diakhiri dengan terbatuk - batuk, karena api semakin besar.

Ketiganya sadar dari keterpakuan " Ayo!! " Ajak Toni menggendong Maliq.
Semua warga di depan rumah mereka, menghela napas lega, ketika Maliq keluar bersama Joko, Toni dan Deni, dengan selamat.
" Syukurlah kau tidak apa - apa nak?! " Ucap bapak yang tadi membawa Maliq keluar " Kau sangat menyayangi om - ommu, hingga rela masuk ke dalam lagi " Ucapnya.

Joko, Toni dan Deni mengernyitkan alis mereka, ketika mendengar penuturan bapak itu.
" Maksud bapak apa? " Tanya Toni bingung.
Bapak tadipun menceritakan semuanya, membuat mereka terdiam.
" Anak kecil itu memang pemberani, ia tak takut masuk ke dalam "
" Dia masih sangat lugu dan polos, tapi sudah melakukan hal yang mulia "
" Rasa sayangnya pada ketiga omnya sangat besar, hingga menyelamatkan mereka "

Bisikan beberapa warga, terdengar ke telinga Joko, Toni dan Deni, membuat mereka semakin merasa malu pada diri masing - masing.
Mereka berpandangan, lalu menoleh ke arah Maliq yang menatap mereka dengan senyuman, menampilkan deretan gigi rapihnya.

**
Sejak kejadian itu, membuat Joko, Toni dan Deni sadar, hingga taubat dan tidak melakukan penculikan dan penjualan anak lagi.
Mereka menitipkan Maliq ke adik perempuan Toni yang berumur 18 tahun, karena mereka bertiga akan pulang kampung.
Sita, adiknya, dengan senang hati menerima Maliq, karena ia memiliki teman, tak sendirian lagi di kosnya.
.
.
.
.

Not My Mom And DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang