⌕. Dua

1.7K 277 38
                                    

∙۟ᱹ۫


ᨳ᭬°𖥕𖠗∙۟ᱹ۫↻

Rivan mengendap-ngendap sambil membungkukkan tubuhnya yang bergesekan dengan dinding. Setelah berhasil masuk tanpa ketahuan siapapun, anak itu langsung berlari menuju lorong kelasnya.

Sampai di depan pelataran kelas, ia mengintip melalui jendela kelas. Tidak ada guru disana.

Senyumnya mengembang. Dengan langkah mantap dan menegapkan badan, Rivan melangkahkan kakinya ke depan pintu kelas. Tangannya hendak mendorong pintu itu tetapi sebuah benda yang terasa dingin tiba-tiba menyentuh tengkuknya.

Rivan mematung. Ia tahu benda apa itu, sebuah penggaris. Berarti..

"Terlambat lagi, Rivan?"

Suara berat itu membuat aliran darahnya berdesir. Memutar arah pandangnya, kelopak matanya melebar ketika sang guru berada di belakangnya, wajahnya datar namun menyeramkan.

"Hehe.. Selamat pagi, bapak." Rivan menyengir menyapa sang guru.

"Ya, selamat pagi. Keterlambatan yang ke sepuluh kali," ujar sang guru sembari menurunkan kacamatanya. "Kamu tidak saya izinkan mengikuti pelajaran saya. Sebagai hukuman, kamu pergi ke perpustakaan dan susun buku-buku yang ada disana sampai rapih. Saya akan kesana saat jam istirahat nanti. Sekarang laksanakan hukumanmu."

Rivan memberi pose hormat dan berteriak heboh dalam hati karena tidak harus mengikuti jam kelas Matematika.

Menarik sudut bibirnya keatas, lelaki itu berkata. "Baik pak! Terima kasih atas hukumannya–" Rivan mengedarkan pandang tertuju kepada jendela kelas yang memperlihatkan sosok Theo mengangkat kepalan tangannya. "–SELAMAT MENIKMATI KESENGSARAAN LO, THEO!"

Sebelum terkena teriakan marah sang guru, lelaki kelas 12 itu bergegas berlari menjauh dengan tawa membahana.

"Yuhuuu gak belajar matematika!"

ᨳ᭬°𖥕𖠗∙۟ᱹ۫↻

Bletak!

"Anj-"

"Apa lo anjing-anjing?! Tega lo ngebiarin gue disiksa. Tau gak lo? Gue ditunjuk maju selesain soal yang gue gak tau caranya sumpah!" Theo mengomel, berkacak pinggang di hadapan ketiga temannya.

"Yaudah sih nasib lo itu." Rivan mendengus kasar, agaknya ia masih menyimpan rasa kesal terhadap lelaki yang akrab dengannya tersebut.

"Lo..."

Telinga Rivan harus menerima segala omelan yang di layangkan Theo untuknya.

Sementara kedua lelaki lain, Yovan dan Dimas tertawa menyaksikan bagaimana semangatnya Theo menjatuhkan semua amunisinya ke Rivan. Raut muka lelaki itu masam sekali.

Rivan merutuki kesenangannya. Ternyata omongan Theo lebih menyengsarakan daripada pelajaran matematika.

"Udah Tey, kasian si Ipan itu masam kayak jeruk mukanya." Yovan berujar, mencoba meredamkan.

"Gapapa bang Yov, biarin aja. Kapan lagi liat bang Ipan dipojokin gitu." Dimas yang mengunyah pentol kuah pun menyahut.

"Bagi es dong. Capek mulut gue." Theo duduk di sebelah Yovan yang menyodorkan es jambu miliknya. "Makasih, Yov." Yovan mengangguk.

Bubblegum √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang