Golden Boy 2

361 50 21
                                    

Kecemerlangan Ilyas tidak pernah luntur meski dirinya telah menjadi seorang pemberontak. Ia tetap brilian dalam segala hal. Lulus kuliah dengan nilai terbaik, sukses membangun usaha sendiri, bahkan dalam hal hobi pun tetap menjadi seseorang yang cemerlang. Club Vespa antik yang digawanginya telah menjadi yang terbesar di Indonesia. 

Namun, manusia selalu memiliki kekurangan. Begitu juga dengan Ilyas. Masa kecil yang terenggut membuat pikirannya tidak lebih dewasa dari usianya. Ilyas selalu bertingkah seperti remaja karena memang menganggap dirinya masih remaja. Hal yang membuat Marini frustrasi. Putra semata wayangnya menolak tua, padahal sudah pantas menyandang predikat bujang lapuk.

Entah sudah berapa puluh kali Marini mempromosikan Ilyas pada setiap wanita yang menurutnya berpotensi, tapi selalu gagal karena putranya itu kerap kali membuat kekacauan. Entah bersikap tidak sopan, bicara to the point bahwa ia tidak ingin menikah, pokoknya berbuat hal-hal tidak masuk akal pada calon-calon yang disiapkan Marini.

Kali ini, Marini memastikan Ilyas tidak akan bertingkah. Ia sudah mengancam putranya itu saat hendak berangkat bahkan sepanjang perjalanan. Dan sepertinya berhasil, sudah hampir satu jam Ilyas duduk bersama Marini dan dua wanita lain di meja sebuah restoran fine dining di kawasan Dago, bahkan mereka sudah selesai makan.

Putranya itu tidak banyak bicara seperti yang sudah-sudah, apalagi bertingkah. Membuat Marini menduga bahwa kali ini Ilyas tertarik pada calon yang disiapkannya. Bagaimana tidak? Mirela adalah seorang wanita yang tidak hanya muda, cantik, dan bertubuh seksi menggoda, tapi juga cerdas. 

Mirela merupakan psikiater lulusan Stanford University Amerika. Dalam kurun waktu dua tahun setelah kelulusannya, ia berhasil mengantongi izin membuka kliniknya sendiri. Tidak hanya sampai di situ, klinik kejiwaan dan rehabilitasi milik Mirela juga mendapat banyak sertifikat dan piagam penghargaan, padahal baru diresmikan sekitar tiga tahun. Wanita yang sangat cemerlang meski usianya masih cukup muda, yakni tiga puluh satu tahun. 

Marini berkeyakinan usahanya kali ini akan membuahkan hasil. Sayang, dugaannya itu meleset, karena sejak tadi Ilyas diam disebabkan sibuk memikirkan Hanna. 

Pikiran putranya itu tidak berada di tempat di mana ia duduk, melainkan mengawang pada nasib Hanna yang entah bagaimana. Ilyas takut gadis itu tidak melakukan perintahnya dan membangkitkan kemarahan Arman. Kemudian ia diikat dan mulutnya dilakban, Ilyas merasa ngeri membayangkan tubuh mungil Hanna diperlakukan sekeji itu.

“Saya permisi ke belakang sebentar.” Ilyas bangkit lalu memberi senyum ramah pada Mirela dan ibunya, kemudian menoleh pada Marini. “Sebentar,” ulangnya, menyadari raut tak suka di wajah ibunya.

Tanpa menunggu reaksi Marini selanjutnya, Ilyas berlalu begitu saja ke kamar mandi. Di sana ia segera mengeluarkan ponsel dan mencari kontak Hanna, kemudian melakukan panggilan video. Ia tidak ingin membuang waktu dengan melakukan panggilan biasa kemudian sibuk menerka-nerka kondisi Hanna dari suaranya saja. 

Tidak berapa lama wajah Hanna muncul di layar ponsel Ilyas. Kedua mata gadis itu sembab, wajahnya merah terutama di bagian hidung. Ilyas memerhatikan situasi di belakang Hanna.

“Lu sendiri?” tanyanya tanpa basa-basi, dan Hanna mengangguk. “Coba kameranya edarin ke kamar lu. Kelilingin gitu,” pintanya kemudian.

Gadis itu menurut dan memperlihatkan isi kamarnya pada Ilyas. Tidak ada yang aneh, kamar Hanna tampak rapi dan bersih meski bagi Ilyas sangat sempit. Kamar mandinya jauh lebih luas, pikir Ilyas.

“Gak dimarahin lagi?” tanya Ilyas saat wajah Hanna kembali terpampang di layar ponsel. 

Hanna menaruh telunjuk di bibirnya, kemudian membuat gerakan dengan bibirnya itu seperti mengatakan jangan berisik. Ilyas segera mengerti, dan mengakhiri panggilan video. 

Selanjutnya Ilyas mengirim sebuah pesan yang meminta agar Hanna tidak menangis lagi. Juga mengingatkan agar Hanna makan dan beristirahat. Dari kondisi yang dilihatnya, gadis itu baik-baik saja. Sedikit rasa lega mengaliri benak Ilyas. Ia pun kembali ke jamuan.

Marini dan ibu Mirela sudah lenyap ketika Ilyas sampai di meja mereka. Sesaat Ilyas mengedarkan pandangan ke sekeliling  mencari ibunya, masa bodoh dengan ibu Mirela. Ia tidak peduli. 

“Ibu saya ke mana?” Ilyas menatap Mirela, kemudian duduk dan tersenyum. Berusaha tidak menunjukkan rasa tidak nyaman karena hanya berdua saja dengan wanita itu di sana.

Mirela bersandar ke badan kursi, tersenyum, lalu meraih gelas berisi air putih di hadapannya. Setiap gerakannya anggun dan berkelas. “Mungkin sengaja ninggalin kita,” ucapnya seraya menaruh gelas kembali di meja.

“Ya.” Ilyas mengangguk-angguk kecil dengan sebelah alis terangkat, merasa terjebak. Sekarang ia tahu dari mana sifat usilnya berasal.

Hening. Ilyas dan Mirela saling diam, bahkan menghindari tatapan masing-masing.

“Tante Marini bilang kamu dapet beasiswa S2 ke Jerman, tapi ditolak. Why?” Mirela mencoba membuka percakapan.

“No reason. Saya emang gak tertarik.”

“Okay.” Sesaat Mirela berpaling, kemudian tersenyum kikuk sambil membetulkan posisinya duduk. “Sorry, i’m just trying to … you know.” Ia meringis kecil.

“Gak pa-pa. Santai aja.”

Bukan dirinya saja yang tidak nyaman di sini, Ilyas menyadari hal itu. Sejujurnya, ia tidak tahu bagaimana menilai dan memperlakukan wanita dengan baik. Ia tidak pernah berkencan sama sekali. Selama ini, Ilyas hanya membayar wanita jika memang sedang terdesak kebutuhan biologis saja, membayar dan selesai. Tidak ada hubungan rumit yang membuatnya bisa memahami "jenis" wanita dan bagaimana memperlakukan mereka.

Janji pada Marini membuatnya takut salah bicara yang nantinya membuat Mirela melapor pada ibunya itu, dan sudah pasti akan berbuah ocehan untuk Ilyas. Situasi menyebalkan! Batinnya mengumpat.

“So, kamu punya bengkel?” Percobaan berikutnya dari Mirela. 

“Ah, ya.” Ilyas mendesah sambil menegakkan punggung, kemudian menaruh tangan kanannya di meja. Ia harus lebih kooperatif sekarang, pikirnya. “Dan lu psikiater?” tanyanya kemudian, “Sorry, kamu psikiater?” Cepat-cepat ia mengoreksi.

“Iya!” Raut wajah Mirela seketika berubah, antusias. 

Mereka kemudian mulai berbincang banyak hal, meski keduanya masih menangkap raut canggung di wajah masing-masing. Mirela antusias bercerita mengenai pekerjaannya, juga pengalamannya mengenyam pendidikan di negeri Paman Sam. Tidak lupa juga ia mengungkapkan rasa bahagia karena telah mendapat sederet penghargaan. 

Sementara Ilyas hanya mencoba … tadi itu, kooperatif.  Tidak ingin Mirela tersinggung, dan berujung petaka baginya. 

Harus Ilyas akui Mirela wanita yang sangat menarik dan membuatnya sempat tergoda. Wajah rupawan, rambut hitam lurus tergerai, leher jenjang yang terekspos karena mengenakan gaun model kemben; berwarna marun yang membuat kulit putihnya seolah-olah bersinar, dan buah dada cukup besar. Ilyas harus menelan ludah melihat semua itu. Namun, tidak untuk waktu lama, terlebih saat ini pikirannya sedang disibukkan oleh Hanna. 

Meski tidak mengerti soal wanita, Ilyas merasa yakin Mirela tertarik padanya. Wanita itu terus menatapnya dan tersenyum semringah selama bercerita. Sungguh pertanda tidak baik, hal itu akan jadi masalah dan membuatnya kesulitan menolak Mirela.

“Kenapa kamu gak mau nerusin perusahaan mendiang ayah kamu?” tanya Mirela. 

Ilyas mengernyit, sedikit terkejut dengan perubahan topik pembicaraan mereka. Ia lebih suka Mirela membicarakan dirinya saja. Ia juga tidak tahu kapan dan kenapa ibunya membicarakan hal ini kepada wanita di hadapannya itu. Ilyas tidak suka jika seseorang mengungkit soal perusahaan ayahnya, dan ia pikir Marini tahu tentang itu.

***

Hanna Tidak GilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang