Sebuah kedai boba di pinggiran Jl. Wastu Kencana Ilyas pilih untuk duduk santai bersama Hanna sambil menikmati minuman kekinian itu. Saat hendak melanjutkan perjalanan mengantar Hanna, tiba-tiba saja mobilnya mogok. Ilyas segera menghubungi salah satu pegawai bengkelnya. Selain untuk menderek mobilnya ke bengkel, ia juga meminta dibawakan kendaraan lain.
Baru sekitar lima belas menit mereka duduk di sana, tapi Nurul sudah menghubungi Hanna sebanyak sembilan kali. Dan ponsel Hanna pun berdering untuk yang ke sepuluh.
Kali ini Ilyas yang menjawab, dan langsung menangkap suara Nurul yang terdengar sangat khawatir dan ketakutan, bahkan seperti gemetaran. Kemudian Ilyas menjelaskan kondisi dirinya dan Hanna. Ia berjanji akan langsung mengantarkan Hanna pulang begitu pegawainya datang membawa kendaraan pengganti.
Sambungan pun terputus tanpa ada kata dari Nurul. Ilyas menautkan alis menatap ponsel Hanna, merasa heran atas sikap Nurul. Hal itu menambah kecurigaannya pada Arman. Hari masih sore dan Hanna adalah remaja yang Ilyas prakirakan berusia tujuh atau delapan belas tahun, dan mereka sudah jelas memberi kabar, Hanna di mana, bersama siapa, sedang apa, semua jelas. Ia merasa tidak wajar jika Nurul mengkhawatirkan Hanna sampai seperti itu.
Sangat jelas di sini siapa dirinya, yakni bos dari Arman, jadi tidak mungkin ia berani melakukan tindakan bodoh dengan identitas sejelas itu. Seharusnya istri Arman bisa berpikir ke arah sana, menurut Ilyas. Ia benar-benar tidak habis pikir.
Kesibukan Ilyas memikirkan tentang semua itu tiba-tiba teralihkan oleh tiga orang pemuda yang baru saja duduk di meja yang berdampingan dengan mejanya. Salah satu pemuda itu terus melihat Hanna yang sedang asik bermain game di ponsel milik Ilyas. Ponsel gadis itu model lama dengan spesifikasi rendah sehingga tidak memiliki game-game semenarik yang ada di ponsel pintar model baru, seperti milik Ilyas. Ia sangat antusias ketika Ilyas menawarinya bermain game daripada duduk diam dijajah rasa bosan.
Ilyas berusaha mengabaikan pemuda itu dan mengalihkan pandangan ke jalanan, berharap melihat pegawainya datang membawa kendaraan. Namun, sudut matanya menangkap si pemuda beranjak mendekati Hanna, lalu menyelipkan sesuatu ke tangan gadis yang sedang memegang ponsel itu.
Hanna melongo menatap kertas di tangannya, lalu menoleh pada Ilyas. “Apa ini?”
Sambil melirik si pemuda, Ilyas mengambil kertas itu dari tangan Hanna kemudian melihatnya. Ternyata hanya berisi nomor, yang langsung Ilyas sadari nomor ponsel. Ia meremas kemudian melempar kertas itu sembarangan, lalu meminta Hanna bertukar tempat duduk dengannya agar terhalang dari pemuda-pemuda itu.
“Bukan apa-apa.” Ilyas tersenyum. “Udah, main lagi aja, gak usah dipeduliin,” titahnya kemudian. Hanna mengangguk patuh.
Dua pemuda lain yang bersama pemuda yang menyelipkan kertas ke tangan Hanna cekikikan, kemudian melempar olokan pada teman mereka itu.
“Bagus, Om, jangan biarin anaknya dideketin buaya kayak dia!” celetuk salah satunya, menatap Ilyas ragu-ragu.
Sontak Ilyas menoleh, geram. Akan tetapi tidak berkata apapun, meski ia sangat ingin. Anak? Oh, yang benar saja!
“Cantik banget anaknya, Om,” kata si pemuda itu, “pasti mamahnya cantik juga ya, Om?”
Ilyas bergeming, mencoba berdamai dengan api amarah yang tengah berkobar-kobar dalam dadanya. Andai Hanna tidak di sampingnya, pastilah ketiga pemuda itu sudah ia hajar. Setidaknya satu pemuda yang berani sekali menyentuh tangan gadis kesayangannya. Ilyas gemas ingin mematahkan leher pemuda tidak sopan itu.
Sementara itu, Hanna asik saja dengan ponsel Ilyas. Ia tidak menyadari sama sekali ocehan tiga pemuda di sana, juga raut wajah Ilyas yang merah padam menahan kesal yang sudah sampai ubun-ubun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanna Tidak Gila
RomantizmHidup Ilyas menjadi kacau sejak kedatangan seorang gadis di bengkelnua pada suatu sore. Entah kenapa ia terjebak ke dalam masalah hidup gadis yang lebih muda 25 tahun darinya itu. Belum lagi, Ilyas selalu dibuat bingung setiap kali si gadis berbica...