Pada Akhirnya

399 63 6
                                    

Sudah lewat jam tiga dini hari, Ilyas tidak bisa berpikir jernih setelah bercakap dengan Hanna lewat panggilan WhatsApp. Terlebih mereka tertangkap basah oleh Arman. Tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Hanna, Ilyas memutuskan menjemputnya. Masa bodoh dengan segala resiko yang mungkin akan ia hadapi.

Mengendap-ngendap ia keluar kamar, memastikan tidak menimbulkan suara yang akan membuat ibunya terbangun. Atau, ia tidak akan bisa pergi. Kalau pun bisa, pastilah akan ada drama terlebih dulu.

Langlah demi langkah ia atur sedemikian rupa hingga sampai ke depan pintu utama, dan berhasil keluar. Terlebih dulu ia menghela napas sebelum lanjut menghampiri mobil yang terparkir di depan gerbang. Melepaskan ketegangan saat mengendap-ngendap tadi.

“Den.”

Jantung Ilyas nyaris melompat dari tempatnya. Ia menoleh dengan perasaan jengkel. Tidak ada rasa takut, karena tahu pemilik suara yang memanggilnya adalah Mak Esih.

“Diem! Saya keluar bentar. Jangan kasih tau Mamah.”

Kamana Subuh-subuh kieu, Den?”

“Udah, pokoknya jangan bilang Mamah. Paham, Mak? Saya bukan mau ke hotel atau diskotik, kok. Mau ada perlu nyelametin idup orang.”

“Siplah!” Mata Mas Esih tertuju pada boxer dan kaos dalam putih polos yang melekat di tubuh majikannya. “Ya masa ke diskotik kikituan, Aden,” tilainya, terkekeh geli.

“Bukain gerbang!” perintah Ilyas, “lalaunan kade,” cegahnya kemudian.

Tanpa bertanya lagi Mak Esih bergegas menuju gerbang dan mendorongnya hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara bising. Sementara Ilyas bersiap dengan mobilnya. Selanjutnya, Ilyas pun berlalu dari sana mengendarai mobilnya.

Sepanjang perjalanan benak Ilyas dilanda resah, pikirannya dijajah kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi pada Hanna. Ponsel kekasihnya tidak aktif. Ia tidak bisa memastikan kondisi Hanna bagaimana.

“Gusti ....” Ilyas mendesah dibalik kemudi, resah.

Bahkan, melihat jalanan pun dirinya tidak bisa fokus. Pikirannya di penuhi oleh bayangan Hanna tengah diikat, menangis, memohon-mohon pengampunan Arman. Yang terburuk, ia membayangkan kekasihnya tengah digagahi.

“Sialan! Gue bakal matiin si Arman kalo sampe beneran kejadian!” sentaknya, menghantam kemudi, “amit-amit, Sayang, jangan sampe. Kasian kamu,” desahnya kemudian, mengusap wajah dengan kasar.

Ilyas benar-benar kalut. Begitu sampai, ia memarkir mobilnya sembarangan, turun dengan tergesa, dan setengah berlari mengarah kediaman Arman.

Keheningan dan kesunyian menyambut Ilyas saat kaki-kakinya berpijak di pekarangan kecil rumah itu. Hanya suara jeritan jangkrik yang saling sahut-menyahut saja yang seolah-olah berdesing-desing di telinganya. Ia mencoba mengabaikan itu, lalu melangkah ke teras dan mengintip lewat celah kecil jendela yang tidak tertutupi gorden. Sepi. Tidak ada tanda-tanda seseorang di dalam.

Ilyas mencari cara memasuki rumah itu. Setiap jendela dipasangi teralis besi dari bagian dalam. Pintunya ganda, dengan teralis besi di bagian luar. Digembok. Bagaimana ia bisa masuk? Lewat atap? Ilyas membatin. Kemudian melangkah ke pekarangan, berdiri di depan jendela kamar Hanna. Ia tidak yakin itu kamar kekasihnya, dan memutuskan mengintip lewat celah atas jendela.

Terlihat olehnya Hanna sedang meringkuk dengan tangan dan kaki terikat. Mulut gadis itu juga dilakban. Seketika Ilyas merasakan kemarahan menguasai benaknya. Tanpa rasa takut ia melangkah ke teras dan menghantam teralis besi yang menghalangi pintu. Menimbulkan suara bising yang tentu saja langsung membangunkan penghuni rumah.

Hanna Tidak GilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang