Gadis yang Berteman Sunyi

446 65 7
                                    

Sepanjang sisa waktu sarapan Hanna harus mendengar ceramah Arman tentang banyak larangan. Mereka orang lemah yang tidak punya kekuasaan, kalimat yang seringkali diucapkan Arman semenjak kasus pertama pembulian Hanna. 

Meski tidak benar-benar mengerti tentang kalimat itu, Hanna berusaha menerjemahkan dan mendapat pengertian mudahnya. Ia miskin, sementara Christy, Arina, dan Silva adalah orang kaya, jadi sebagai orang miskin Hanna sebisa mungkin harus menghindari masalah, terlebih Christy-lah masalah itu. 

Selesainya sarapan tidak serta-merta menghentikan ceramah Arman. Hanna harus terus mendengar ocehan kakaknya di sepanjang perjalanan, bahkan sampai tiba di sekolah. Ia memang selalu di antar ke sekolah setiap hari, tapi tidak dijemput saat pulang. 

Arman bisa mengantarkan Hanna, tapi tidak bisa menjemput. Jam pulang kerjanya jauh lebih lama dari jam sekolah Hanna. Sementara Nurul memiliki kedai makan di salah satu dinas milik pemerintah, sehingga tidak bisa menjemput Hanna juga. 

“Inget jangan diem di tempat sepi.” Saat Hanna turun dari motor Arman berpesan. Ia menatap dalam-dalam adiknya yang langsung mengangguk. “Helm.” Telunjuknya mengarah ke kepala Hanna.

Hanna melepas helm lalu disodorkan pada Arman. “Aku ….”

“Jangan pernah ke tempat kerja kakak lagi.” Demi memastikan Hanna tidak melakukan itu, Arman mempersiapkan tali gantung ponsel pintar. Ia merogohnya dari saku. “Sini handphone kamu.”

Ragu-ragu Hanna memberikan ponselnya, kemudian memerhatikan Arman memasangkan tali gantung di benda pipih itu. Setelah itu Arman meminta Hanna menunduk dan mengalungkan ponsel itu ke lehernya. 

“Masukin ke dalem kemeja,” perintah Arman kemudian. Hanna mematuhi itu segera.

“Gini?” Ponselnya kini tersembunyi di balik kemeja. 

“Ya.” Tatapan Arman berubah sendu. Ia mendesah pilu kemudian turun dari motor dan berdiri di hadapan Hanna. “Kalo ada orang yang kira-kira bakal ganggu kamu, cepet-cepet ngejauh, lari kalo bisa. Cari tempat rame. Ngerti?” 

Seulas senyum tersungging di bibir Hanna. “Ngerti,” jawabnya seraya merebahkan kepala di dada Arman.

“Telfon kakak kalo ada apa-apa. HP kamu aman di situ.” Tangan Arman melayang perlahan membelai rambut Hanna, dari kepala turun ke punggung, diakhiri dengan tepukan pelan beberapa kali sebelum melerai kemudian menatap Hanna lekat. Setelah itu  ia menggesekkan ujung hidungnya ke pelipis Hanna. “Satu lagi,” katanya, lalu mengecup kelopak mata Hanna. “Jangan mau diajak orang asing. Ngerti?”

“Ngerti, Kak.” Hanna menegakkan punggungnya hingga kembali tegap. “Aku udah gede.”

“Janji?”

“Ya!”

Seulas senyum menghias bibir Arman. Hanna adalah adik yang patuh, janji itu cukup membuat Arman tenang dan tidak berat meninggalkannya. Hanna akan terhindar dari orang asing, pikirnya. Ia tidak tahu kalau Ilyas yang masuk kategori asing bagi dirinya, kini bukanlah orang asing bagi Hanna.

Remaja belia yang lugu itu kembali memikirkan Ilyas saat kakaknya berlalu. Kapan pria penolong itu akan menemuinya lagi? 

Janji Ilyas terus terngiang dalam benak dan pikiran Hanna.

***

Ruangan kelas Xll-A masih sepi saat Hanna masuk. Baru ada lima siswa, dan ia merasa lega karena Christy, Arina, mau pun Silva tidak terlihat di antara lima siswa yang sedang berkerumun di pojok belakang kelas itu. Hanna lantas duduk di bangku paling depan yang berhadapan langsung dengan meja guru.

Setelah duduk Hanna termangu memikirkan bagaimana ia akan bertemu pria kemarin lagi. Arman melarangnya ke bengkel, nomor ponsel pria kemarin tak punya, dan ia juga tidak tahu rumah pria itu. Bagaimana mereka akan bertemu?

Hanna berpikir keras hingga kedua alisnya bertaut, membuat raut wajahnya terlihat sangat serius. Apa pria itu akan datang ke rumah? Atau … ke sekolah? 

“lu masuk sana! Gue tunggu di sini.”

Lalu, Hanna mengingat dengan sederhana. Pasti pria itu akan menunggunya di tempat kemarin. Tempat yang cukup jauh dari sekolah, di depan sebuah butik yang terdapat pohon rindang.

“Iya!” Hanna berseru riang sambil bertepuk tangan.

“Kamu kenapa?” 

Larut dalam pikiran tentang pria kemarin, Hanna sampai tidak menyadari sudah ada seorang pemuda duduk di sampingnya sejak tadi. Ia Sabai, teman sebangkunya. Pemuda itu terlihat sangat terkejut. Hanna membekap mulut, matanya melotot ke arah Sabai.

“Kenapa?” Alis Sabai bertaut, heran.

“Kamu … Sabai?” Penuh pengawasan Hanna menatap pemuda blasteran yang tampan dan klimis di sampingnya.

“Emh, iya. Saya Sabai.” Ragu-ragu Sabai memegangi wajah, memastikan tidak ada perubahan di sana. Ia merasa sama saja. “Muka saya berubah?”

“Nggak.” Hanna menggeleng cepat hingga poninya bergoyang-goyang. 

“And?” 

“Aku kaget kamu ada di situ,” jawab Hanna dengan raut konyol. Ia tertawa lepas setelahnya, lalu memukul pundak Sabai tiga kali. “Sabai,” ucapnya riang, tanpa alasan.

Sabai diam dengan raut kaku. Dua bulan lebih ia duduk sebangku dengan Hanna, tapi belum juga beradaptasi pada tingkah aneh gadis itu. Kini, ia tidak mengerti harus bereaksi bagaimana, rasa terkejutnya berlipat ganda. Dan, Sabai tidak ingin lebih terkejut lagi sehingga memutuskan diam saja. 

“Kamu bohong, kan?” sergah Hanna tiba-tiba. Sabai langsung menatapnya penuh tanya.

“Me?”

“Iya! Katanya kodok itu suka kolam, tapi kemarin aku buka mulut di pinggir kolam kodok-kodoknya gak ada yang keluar. Sampe pegel!” cerocos Hanna menggerutu, kemudian mendelik tak suka, membuat Sabai mengernyit semakin keheranan. “Dasar tukang bohong!” tambahnya belum puas.

“Saya cuma bilang kodok suka kolam. Gak suruh kamu mangap-mangap pinggir kolam,” kilah Sabai membela diri.

Sebenarnya ia sempat merasa heran Hanna melakukan hal itu. Berdiam diri dengan mulut terbuka di pinggir kolam, oh ayolah, siapa yang cukup bodoh melakukan hal itu. Namun kemudian, ia menyadari itu Hanna. Tidak ada hal aneh jika berhubungan gadis itu, karena Hanna-lah keanehan itu sendiri. Keanehan yang membuatnya tergila-gila.

“Tau, ah!” Hanna berpaling.

Senyum Sabai mengembang. Hendak marah dengan cara bagaimana pun, Hanna akan tetap terlihat lucu. Wajah gadis itu sama sekali tidak cocok digunakan untuk menggertak ataupun mengancam.

“Nanti jam istirahat coba lagi, saya temani. Okay?”

Hanna menoleh perlahan, wajahnya masih merengut tak terima. “Bener …?”

“Yes. How?”

“Oke!” Hanna bertepuk tangan riang. “Bener, ya? Soalnya kemaren aku sendiri, terus ketemu Christy, Arina, sama Silva, terus mereka mukulin aku lagi, terus ….”

Cerita Hanna terhenti karena melihat tiga gadis yang baru saja ia sebut memasuki kelas. Ia menatap Sabai yang ternyata raut air wajahnya telah berubah. Sabai tampak jelas menahan amarah. 

“Mereka ganggu kamu lagi?”

Hanna mengangguk takut-takut. “He-em ….”

Sabai mendesah kesal. Sebagai putra dari kepala sekolah, ia merasa tidak berguna karena bahkan ayahnya yang kepala sekolah itu, selalu membela ketiga gadis pembuli Hanna. Alasannya? Tentu saja karena orangtua Christy merupakan salah satu donatur di yayasan sekolah mereka.

Hanna harus menelan setiap penindasan tanpa ada pembelaan dari siapa pun. Sabai jengah, tapi ia sendiri pun tidak berdaya.

***

Hanna Tidak GilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang