Ilyasa Haidar Ramli (2)

507 72 4
                                    

Ketukan lagu Brown Sugar dari band lawas The Rolling Stones menggema di setiap sudut Classic Rock cafe Bandung. Ilyas duduk tepat di depan panggung kecil yang menyuguhkan performa band pengisi malam ini. Benak pria slengean berusia empat puluh empat tahun itu mengumpati sang vokalis yang tidak selincah Mick Jagger, kala menyanyikan lagu-lagu band lawas favoritnya itu.

Tiga orang sales berpenampilan cantik dan seksi hilir mudik berpindah dari satu meja ke meja lain menjajakan rokok, merayu para pengunjung agar sudi membeli tembakau hisap itu. Senyum dan bahasa tubuh mereka sangat menggoda, hingga tak jarang banyak yang terbius untuk membeli tanpa peduli merek rokok tersebut bukanlah yang biasa mereka hisap.

"Malem, Om." Seorang sales bertubuh sintal berisi berdiri di depan meja Ilyas. "Rokoknya, Om," tawarnya diiringi kedipan manja.

Beberapa detik Ilyas terdiam memerhatikan sales bertubuh menggoda itu. Rambut panjang digerai, berponi rata, dan cantik. Ia lalu bertanya, "Berapa?"

"Promo, Om, empat bungkus seratus ribu aja," jawab si sales cepat.

"Lu maksud gue," timpal Ilyas tak kalah cepat, "semalem berapa?"

"Ah, si Om maksudnya apa, sih?" Wanita berbibir merah dan seksi itu tersenyum kikuk.

"Gak usah pura-pura. Berapa?"

"Emh." Si sales melirik ke kanan dan kiri sesaat, lalu menunduk hingga bibirnya berada tepat di telinga Ilyas. "Berani berapa, Om?" bisiknya menggoda.

Ilyas bangkit perlahan dengan tatapan yang tak lepas dari si sales. Mulanya ia hanya memerhatikan wajah dari wanita itu, tapi kemudian mulai turun perlahan ke gundukan di bagian dada, lalu turun lagi ke bokong yang langsung ia tepuk dan remas pelan.

"Ikut!" Ilyas melangkah menuju pelataran parkir, sementara si sales mengekori di belakangnya. Toyota Fortuner dengan cat hitam metalic berpolet hijau tosca gelap di sisi kanan dan kirinya yang ia tuju. Mobil kebanggaan yang ia modifikasi sendiri dibantu Arman.

"Masuk." Ilyas membukakan pintu menatap si sales.

"Mau di mobil, Om?" tanya si sales sambil melirik ke dalam mobil.

"Lu pikir gue gila? Kita cari hotel." Ilyas memutar bola mata kemudian mencebik malas. Si sales menyeringai konyol.

"Oke, Om."

Beberapa waktu kemudian mobil Ilyas telah merayap di pinggiran jalan raya. Ia berusaha mencari hotel di sekitaran cafe yang baru saja ditinggalkannya. Seingat pria bercambang itu, di Jalan Braga terdapat beberapa hotel berbintang.

Sesosok gadis bertubuh kurus, berambut panjang, dan berponi yang sedang berdiri di trotoar gelap menyita perhatian Ilyas. Remang pencahayaan membuat sosoknya tidak begitu jelas. Kilatan dari lampu kendaraan sesekali menerpa tubuh kurus juga rambutnya. Ilyas sedikit menunduk dan memicingkan mata berusaha melihat lebih jelas.

"Hanna?" bisik Ilyas.

"Kenapa, Om?" tanya si sales.

"Diem!" Ilyas menepikan mobil tepat di depan gadis kurus itu, kemudian segera menurunkan kaca mobil. "Hanna?" Ia meninggikan suaranya.

"Tisu, Pak?" Gadis kurus itu tersenyum lebar seraya mengangkat tangannya yang memegang beberapa bungkus tisu. Sementara sekantong besar yang lain teronggok di jalan, tepat di samping kakinya.

"Astaga!" Ilyas mendesah kasar, lalu mengusap wajah merasa frustrasi. Kenapa Hanna tidak juga enyah dari pikirannya? Benak pria bermata sendu itu bertanya-tanya.

Wanita yang duduk di jok samping Ilyas menelan ludah berat, lalu menoleh pada si gadis penjual tisu, dan kembali menatap Ilyas. Ia kebingungan.

"Om, emh ...."

Hanna Tidak GilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang