Gadis Yang Berteman Sunyi 3

415 65 2
                                    

Kehangatan menelusup lembut ke dalam relung hati Sabai kala menatap Hanna yang sedang termangu di pinggir kolam dengan mulut terbuka lebar. Selepas jam pelajaran kedua berakhir, Sabai menepati janjinya menemani Hanna berusaha mengeluarkan kodok-kodok yang bersarang dalam dadanya. 

“Mungkin mereka memang gak mau keluar, Hanna.”

Mulut Hanna mengatup seketika. Ia menatap Sabai penuh tanda tanya. “Kenapa?”

“Uh … terlalu betah. Mereka sudah anggap dada kamu rumah, mungkin?” imbuh Sabai ragu-ragu. 

Desahan pilu meluncur dari bibir Hanna. “Gitu, ya?”

“Maybe.” Bahu Sabai terangkat beberapa detik. “Nenek kamu masih belum bisa bicara?” tanyanya kemudian.

Hanna menggeleng lemah. Sekarang, Arman bahkan tidak mengizinkannya menjenguk nenek mereka. Di waktu-waktu ke belakang, sesekali Hanna menghabiskan waktu di kamar neneknya, bercerita segala hal meski wanita tua itu tidak pernah memberi tanggapan. 

Setiap waktu Arman memberitahu bahwa penyakit nenek mereka semakin parah, dan Hanna tidak bisa berbuat apa-apa. Hanna ingin segera lulus, lalu berkuliah dan mendapat gelar apoteker. Ia akan mengerahkan seluruh kemampuan untuk menemukan obat yang bisa menyembuhkan neneknya.

“Sebentar lagi jam istirahat habis. Masuk kelas, yuk!” ajak Sabai, menarik Hanna dari lamunan. 

“Apa aku bisa nemu obat buat Nenek? Kata Kakak penyakit Nenek gak ada obatnya.” Nanar Hanna menatap Sabai. 

“Kamu?”

“Ya.”

“Gak bisa.” Sabai menggeleng.

Sorot mata Hanna meredup. Tentu saja ia tidak akan bisa. Dirinya hanya gadis aneh yang bahkan tidak pernah punya prestasi apa pun. Menemukan obat untuk neneknya hanyalah angan-angan, bukan! Bahkan itu hanya mimpi yang tidak akan pernah jadi kenyataan. 

Hanna selalu berharap bisa sepandai Sabai. Pemuda itu selalu menyabet peringkat juara umum setiap tahun. Ia juga putra Albert, Kepala Sekolah, yang sudah pasti kaya dan bisa berkuliah di universitas terbaik. Sementara dirinya hanya gadis miskin dan aneh. Miskin dan aneh ….

“Kalau kamu sendiri gak akan bisa. Kalau kita berdua pasti bisa.” Sabai memegang pundak Hanna kemudian tersenyum saat gadis itu menoleh.

“Kamu?” tanya Hanna pelan, penuh keraguan. 

“Ya, saya. Kita teman, saya akan bantu kamu, Hanna.”

Meski sudah cukup sering berbincang dan menghabiskan waktu bersama Sabai di sekolah, Hanna tidak yakin pemuda itu bisa disebut teman. Albert pernah menegurnya agar tidak terlalu dekat dengan Sabai.

“Kamu tidak pantas berteman dengan putra saya, jadi tolong jangan merendahkan dia dengan berteman dengannya.”

Hanna tidak tahu jika seseorang bisa jadi rendah karena berteman dengannya. Namun, ucapan Albert selalu terngiang-ngiang dalam kepalanya, membuat ia ragu untuk menganggap Sabai sebagai seorang teman. Bahkan, tidak hanya pemuda itu, Hanna ragu siapa pun akan jadi rendah jika berteman dengannya.

Apa pria penolong kemarin akan menjadi rendah juga? Pertanyaan itu tiba-tiba menyelubungi benak Hanna. Membuat kesedihan seketika memayungi wajahnya yang lugu.

“Why?” tanya Sabai, menyadari perubahan raut wajah Hanna.

“Aku … emh, a-a-a-ku ma-mau k-k-ke ke-kel-las.” 

“Okay.” Sebenarnya Sabai masih penasaran, tapi ia memilih mengikuti permintaan Hanna yang bicara tergagap-gagap, menandakan gadis itu mulai merasa tidak nyaman.

Hanna Tidak GilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang