Banyak Hal yang Harus Dipikirkan (1)

363 65 3
                                    

Berjalan beriringan menjelajahi Paris Van Java Mall sebagai sepasang kekasih yang tidak biasa, Hanna yang berseragam dan berwajah cantik bersanding dengan Ilyas, seorang pria matang berpenampilan nyentrik. Terang saja mereka menjadi pusat perhatian.

Hanna menggandeng manja tangan Ilyas, seakan-akan pria itu akan lenyap jika tidak dipegangi. Beberapa mata menilai mereka ayah dan anak, tapi tidak sedikit yang berprasangka Hanna merupakan remaja SMA nakal penggaet pria matang kaya raya. Ilyas menelisik setiap tatapan yang mereka terima, meski hanya mampu menerka-nerka dengan perasaan campur aduk. Namun, tidak begitu dengan Hanna. Mata-mata di sana tidak disadarinya sama sekali. Tidak ada yang bisa mengganggu bunga-bunga kebahagiaan yang tengah bermekaran di hati gadis lugu itu.

“Aku laper.” Langkah Hanna berhenti, merajuk menatap Ilyas.

“Mau makan apa?” Dengan gemas Ilyas mencubit hidung gadis terkasihnya.

Pandangan Hanna menyisir deretan restoran. “Ke situ, yuk!” ajaknya, menunjuk restoran Jepang yang terletak di deret kanan paling ujung. 

“Emang kamu bisa pakek sumpit?” canda Ilyas, tampangnya serius.

“Ih, Abang!” Sebuah pukulan tak berarti Hanna daratkan di dada Ilyas. “Aku bisa.”

Tawa kecil meluncur dari bibir Ilyas. Ia merangkul leher Hanna dan mengacak rambutnya. Mereka pun mengayun langkah menuju restoran yang Hanna tunjuk, memilih ruangan, kemudian memesan satu paket shabu-shabu.

Melihat Hanna termangu menanti pesanan datang, Ilyas gatal menggodanya. Raut kesal dan pukulan-pukulan Hanna yang mendarat di dada atau bahunya menjadi hiburan tersendiri bagi pria gondrong itu. Kebahagiaan menjadi sangat sederhana setelah dirinya mengenal gadis pemilik wajah mungil itu.

“Diem, Abang!” Protes Hanna saat Ilyas mengejek hidungnya yang pesek.

“Ini diem.”

“Mulutnya diem!” Wajah Hanna merengut tak terima.

Ilyas segera melipat bibir, kemudian bergumam tak jelas sambil menunjuk bibirnya yang terlipat itu. Namun, Hanna malah memerhatikan kumis dan jenggotnya yang berantakan.

“Diem, Abang. Tunggu!” Telunjuk Hanna teracung, mengancam. Ia lalu mengeluarkan sisir kecil dari dalam ranselnya dan mulai menyisir kumis juga jenggot Ilyas. Dibentuknya bulu-bulu wajah itu sesuka hati.

Kepayahan Ilyas menahan rasa penasaran dan hasrat untuk tertawa melihat raut wajah Hanna yang sangat serius. Namun, gadis yang sibuk sendiri itu tiba-tiba terpingkal memegangi perut. Sontak Ilyas mengambil ponsel dan menyalakan kamera, lalu melihat wajahnya sendiri. Kumis dan jenggotnya kini berbentuk seperti kumis dan jenggot para konglomerat di jaman penjajahan.

“Lucu, ya?” Ilyas memelintir kumisnya. Tawa Hanna semakin menjadi.

Tidak terima dikerjai, Ilyas mengambil sisir dari tangan Hanna. “Giliran kamu sekarang,” katanya, “punya karet gak?”

“Karet?” Hanna mencoba mengendalikan rasa yang menggelitik saat melihat wajah Ilyas. “Buat apa?”

“Punya gak? Sini, cepet!”

Tanpa bertanya lagi Hanna mengambil satu buah ikat rambut dari ranselnya, kemudian diberikan pada Ilyas. “Nih!”

“Sini!” perintah Ilyas, mengambil ikat rambut dari Hanna. “Diem, ya ….” Ia lalu menyisir poni gadis itu, dan mengikatnya kuat-kuat hingga berdiri tegak di atas kepalanya. Bentuknya persis seperti daun-daun pohon kelapa yang melambai.

Bola mata Hanna mengarah ke atas, mencoba melihat apa yang telah dilakukan Ilyas pada poni kesayangannya. Namun, sia-sia. Akhirnya, ia bercermin menggunakan ponsel Ilyas.

“Ih!” Hanna cemberut mencolek-colek ikatan poninya, tapi kemudian tertawa. Begitu juga dengan Ilyas, ia tertawa sambil memelintir kumis dan memainkan alisnya naik turun. Mereka kini saling menertawakan satu sama lain.

Seakan-akan tidak cukup, Ilyas memutuskan mengambil beberapa foto mereka yang--tentunya-- berpose konyol. Kemudian membuat rekaman bernyanyi dan berjoget bersama dengan lagu dan gerakan yang tidak karu-karuan. Tidak jelas juntrungannya sama sekali. Mereka seperti orang gila, orang-orang gila yang bahagia.

Restoran yang didesain bersekat-sekat membuat sepasang kekasih itu merasa bebas karena tidak ada mata yang mengawasi mereka. Setidaknya begitu, sampai seorang pelayan pria berseragam hitam putih masuk. Hanna dan Ilyas langsung terdiam. Sementara si pelayan setengah mati menahan tawa karena melihat kumis dan janggut Ilyas, juga poni Hanna, ditambah lagi tingkah konyol pasangan aneh itu.

Tanpa diperintah, si pelayan menyusun semua sayuran dan daging mentah di meja, menaruh panci dengan kuah panas berbumbu di atas kompor yang langsung dinyalakan, dan menaruh bahan-bahan pendukung lainnya. Kemudian lekas berlalu ketika selesai. Ilyas dan Hanna langsung cekikikan, saling menyalahkan satu sama lain.

“Udah, ah, makan dulu!” perintah Ilyas. Ia sudah lelah tertawa.

Hanna menikmati aroma kepulan asap dari kuah shabu-shabu yang mendidih, lalu penuh semangat memasukkan sayuran dan daging ke dalamnya. Sambil menunggu semua itu siap dilahap, ia memakan ekado dan tempura. Sementara Ilyas sibuk menata kumis dan jenggotnya agar kembali normal, hingga Hanna mengasongkan sumpit yang mengapit sepotong ekado goreng. Pria berkumis itu lekas membuka mulut dan melahap suapan dari gadis terkasihnya.

Waktu yang berlalu di ruangan kecil di dalam restoran dilalui canda dan tawa. Suapan demi suapan seolah-olah hanya pelengkap saja. Cinta kasih adalah menu utama Ilyas dan Hanna. Mereka begitu menikmati suasana hingga tiba-tiba ponsel Hanna berbunyi, tanda sebuah chat masuk.

Gadis lugu itu segera mengambil ponselnya, lalu menatap Ilyas setelah membaca pesan yang ternyata dari Nurul. Tidak ada yang aneh, iparnya itu hanya memberitahu kalau akan pulang terlambat dan meminta Hanna agar tidak ke mana-mana.

Kmu udh d rumah, kan? Begitu isi pesan lainnya.

Hanna menatap Ilyas. Bingung hendak bagaimana membalas pesan iparnya.

***

Hanna Tidak GilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang