Bai 2

324 51 4
                                    

Pikiran Sabai memang disibukkan oleh pertengkaran dengan Albert sejak semalam, akan tetapi Hanna tetap menyita bagian penting dalam kepalanya. Meninggalkannya sendirian berdiri di pinggir jalan menunggu entah siapa, membuat Sabai merasa bersalah sekaligus takut. Takut terjadi apa-apa, sehingga hal pertama yang ia cari saat sampai di sekolah adalah Hanna.

Tas gadis lugu itu sudah teronggok di meja, akan tetapi pemiliknya tidak terlihat. Tanpa pikir panjang Sabai segera mencari ke setiap sudut sekolah, hingga berhenti di kamar mandi siswi karena mendengar suara Hanna merintih. Hampir seperti jeritan yang tertahan. Pemuda blasteran itu mengendap-endap masuk, memastikan tidak ada yang menyadari kehadirannya.

“Kalian lagi apa?” sergah Sabai saat sampai di toilet paling ujung. 

Terlihat oleh pemuda itu Christy sedang mencengkram leher Hanna, nyaris mencekik. Sementara Arina dan Silva memegangi gadis lugu itu. Hanna dibuat tidak berdaya, tubuhnya dirapatkan ke dinding dan mulutnya dibekap oleh Christy dengan tangan lain yang tidak mencekik. Mereka sontak melepas Hanna.

“Come, Hanna.” Sabai mengulurkan tangan pada gadis yang terlihat sangat ketakutan di sana. 

Ragu-ragu Hanna meraih tangan Sabai, kemudian secepat kilat menghambur ke belakang punggungnya. “To—to—long a—”

“Ngapain lu di toilet cewek?!” Suara Christy menggema di sudut toilet yang kecil. Berbanding terbalik dengan suaranya yang lantang, raut wajahnya menunjukkan ketakutan. Sama seperti raut Arina dan Silva.

Tanpa menjawab pertanyaan gadis kejam itu, Sabai menuntun Hanna keluar menuju kelas. Ia meminta Hanna duduk setelah sampai di bangku mereka, kemudian mengecek kondisinya. Leher dan beberapa bagian di tangannya; seperti pergelangan memerah, juga ada memar di lengan atas. 

“Ini kenapa?” Telunjuk Sabai menyentuh pelan memar itu. Sementara untuk kemerahan ia tidak perlu bertanya, karena melihat dengan jelas bagaimana Hanna dipegangi dan dicekik. 

“Cu—bit.” Setetes bening meluncur dari sudut mata Hanna. “Sa—sa—sak—it.”

Jika saja amarah ada gunanya, mungkin Sabai sudah meledak detik itu juga. Namun, ia tahu hal itu hanyalah sebuah kesia-siaan, sama seperti jika melaporkan tindakan Christy Cs pada pihak sekolah. Orang tua Christy masuk jajaran donatur terbesar di yayasan Bhakti Kencana, orang tua Ariana dan Silva adalah para petinggi elit yayasan, sementara Albert lebih tidak bisa diharapkan lagi. Ayahnya itu jelas akan membela kelompoknya, seperti yang sudah-sudah. Untuk kasus berat yang sempat membuat Hanna dilarikan ke rumah sakit saja, Christy Cs hanya diberi surat teguran ringan.

Akhirnya, Sabai hanya bisa menelan amarahnya yang menggebu-gebu. Ia tidak tahu cara agar Hanna terhindar dari gangguan gadis-gadis kejam dan amoral itu. 

“Mereka seret kamu ke toilet?” tanya Sabai. 

Hanna mengangguk, lalu bercerita dengan tergagap-gagap kalau dirinya baru saja sampai di kelas dan menaruh tas saat tiba-tiba Christy Cs menyeretnya. Ia tidak tahu kesalahan apa yang membuat tiga gadis itu sampai marah dan menghajarnya. 

“Mereka gak butuh alasan. Mereka itu sakit jiwa, Hanna,” hardik Sabai kesal, lalu meminta Hanna berhenti menangis.

Gadis malang itu tidak berhenti, dan malah tersengal-sengal seperti kesulitan bernapas. Sabai memintanya tenang sambil memberikan air putih dari tumbler miliknya. 

“Ko—ko—”

“Kodok?” Sabai tersenyum miris. Hanna mengangguk. “Minum. Nanti mereka tidur lagi.” Ia lalu meminta Hanna menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, diulang sampai beberapa kali.

Setelah terlihat tenang, Sabai kembali menyuruh Hanna minum. 

“Ma—makasih.”

“Ya.” Ragu-ragu Sabai mengelus pucuk kepala Hanna. 

Benak Sabai bersumpah akan mencari cara untuk menghindarkan gadis malang itu dari para pemburunya yang keji. 

“Nanti a—ku ma—ma—u bilang sa—ma Abang,” kata Hanna tiba-tiba.

“Abang?” Alis Sabai bertaut, menatap Hanna lekat.

Gadis berponi itu mengangguk. Nafasnya sudah membaik, dan kodok-kodok di dadanya juga sudah lebih tenang. “A—bang Ganteng,” katanya kemudian.

“Abang ganteng?” 

“Iya.” Bibir Hanna merekah. “Bapak itu dateng. Katanya kalo mau temenan gak boleh manggil bapak, dia suruh aku manggil Abang Ganteng.” 

“Bapak yang nolong kamu itu?”

“Iya, Sabai.”

“Dia dateng?”

Lagi-lagi Hanna mengangguk, sangat antusias. Kemudian ia bercerita apa-apa saja yang dilakukannya bersama Abang Ganteng hari kemarin. 

Sebuah perasaan menelusup ke dalam benak Sabai dengan sangat halus. Perasaan yang tidak sama seperti saat Hanna bercerita tentang neneknya, atau kodok-kodoknya, atau cerita-cerita lain yang biasa mengisi waktu mereka. Sabai tidak suka mendengar cerita Hanna kali ini. Ia cemburu.

***

Hanna Tidak GilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang