“Gue bilang, ambil.” Tak sedetik pun Ilyas mengalihkan pandangan dari gadis-gadis remaja itu. Tatapannya penuh ancaman, berbanding terbalik dengan suaranya yang dingin dan datar.
Terbesit sedikit rasa takut dalam benak tiga gadis itu, tapi keangkuhan membuat mereka enggan melakukan perintah Ilyas. Dengan gegabah Christy memberi tanda pada dua temannya untuk pergi. Namun, baru saja mereka hendak melangkah teriakan Ilyas kembali menggema, mereka langsung mematung dengan rasa takut yang lebih beringas.
“Jangan harap ada yang bisa pergi sebelum itu diambil!” ancam Ilyas tegas. “Ambil,” perintahnya datar.
Christy dan Arina bergeming, sementara Silva melirik dua temannya sambil menelan ludah berat. Di antara mereka bertiga, ia yang paling dirasuki rasa takut.
“Jangan sampe gue ulang lagi atau lu bertiga nyesel. Sekarang ambil!”
Melihat gadis terkasihnya diperlakukan keji oleh ketiga remaja amoral itu membuat akal sehat Ilyas menguap entah ke mana. Tidak boleh ada yang mempermainkan Hanna. Ilyas akan memberi pelajaran tak terlupakan pada siapa pun yang berani.
ragu-ragu Silva mengambil kue yang telah rusak itu di lantai, kemudian memberikannya pada Ilyas. “Ini … Om.”
“Makan. Suapin juga temen-temen lu.” Tatapan mata Ilyas jauh lebih mengancam dibanding suaranya.
Silva terperangah, begitu juga Arina dan Christy. Mereka saling bertukar pandang.
“Kenapa? Lu mau gue yang suapin?” Seringai menghias wajah Ilyas. “Boleh, tapi gue jamin rasanya bakal sakit banget!” gertaknya penuh penekanan.
Christy membuka mulut hendak protes atas perintah Ilyas yang semena-mena, tapi lekas menelan kata-kata dalam kepalanya saat Ilyas menatap penuh amarah.
“Makan!”
Sambil meneteskan air mata, Silva menggigit kue yang sudah tak berupa itu, lalu menyuapi dua temannya. Mereka berusaha mengunyah dan menelan dengan perasaan jijik sekaligus murka karena telah dipecundangi di hadapan banyak mata.
Beberapa pengunjung mall dan dua orang security yang menonton kejadian itu bahkan tidak berani mendekati Ilyas. Apalagi saat mendengar alasan kemarahan pria menyeramkan itu dari pengunjung yang melihat Hanna dianiaya. Beberapa malah setuju atas tindakan Ilyas.
Helaan nafas panjang mengakhiri kemarahan Ilyas, puas melihat air mata para gadis perundung kekasihnya. Ia lalu mengelus-elus kepala Hanna yang sejak tadi gemetaran dalam pelukannya.
“Kita pulang, Sayang.” Kecupan hangat Ilyas daratkan di kening Hanna. “Yah?” tanyanya. Hanna hanya mengangguk, patuh.
Sebelum membawa Hanna pulang, Ilyas terlebih dulu menemui bagian security. Setelah itu, ia mengajak Hanna mencuci tangan bekas diinjak Christy. Tidak ada luka dan Ilyas merasa lega meski gadis terkasihnya itu terus menangis hingga tersengal-sengal.
“Sini, Sayang ….” Ilyas kembali memeluk Hanna, membelai kepala, dan menepuk-nepuk punggungnya agar tenang.
“Tt—a—” Ucapan Hanna tidak selesai. Ia kesulitan bicara.
Mereka sudah duduk di mobil, tapi tangisan Hanna belum juga reda. Ia sangat ingin bicara tapi kodok-kodok di dadanya seperti tidak mengizinkan. Selain sesak, sesuatu di tenggorokannya mengganjal dan seperti meronta-ronta setiap kali ia hendak membuka mulut. Hanna menunjuk-nunjuk mulutnya, memukul-mukul dadanya, lalu mengurut-ngurut tenggorokannya.
Melihat kondisi kekasihnya, Ilyas merasakan nyeri luar biasa di ulu hatinya. Semakin nyeri karena menyadari tidak bisa berbuat apa-apa. Andai ia dapat melihat kodok-kodok brengsek itu, batinnya memohon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanna Tidak Gila
RomanceHidup Ilyas menjadi kacau sejak kedatangan seorang gadis di bengkelnua pada suatu sore. Entah kenapa ia terjebak ke dalam masalah hidup gadis yang lebih muda 25 tahun darinya itu. Belum lagi, Ilyas selalu dibuat bingung setiap kali si gadis berbica...