Banyak Hal yang Harus Dipikirkan (2)

327 49 2
                                    

“Kenapa?” tanya Ilyas, tapi Hanna tidak menjawab. 

Tanpa permisi Ilyas mengambil ponsel dari tangan Hanna lalu membaca pesan Nurul. Beberapa saat Ilyas terdiam sebelum akhirnya mengetik dan mengirim sebuah balasan:

Udh.

Terlalu menikmati waktu bersama Hanna membuat Ilyas lupa tujuan saat di bengkel. Beruntung Nurul mengirim pesan sehingga ia teringat dan mulai bertanya pada Hanna apa saja kegiatan iparnya itu setiap hari. 

Nurul memiliki kedai makan di kantin salah satu Dinas Pemerintah yang bertempat tidak terlalu jauh dari kediamannya. Hanna tidak yakin jam berapa iparnya itu berangkat berjualan, karena ia terlebih dulu pergi ke sekolah bersama Arman. 

“Mungkin jam delapan atau sembilan,” kata Hanna mengira-ngira.

“Tiap hari?” tanya Ilyas.

Hanna menggeleng lalu menjelaskan kalau Nurul hanya berjualan di tempat itu setiap Senin hingga Jumat dari pagi sampai pukul 14.00 atau 15.00 WIB, tergantung habisnya makanan. Libur di hari Sabtu, sedangkan hari Minggu berjualan di Gazeebo dari pagi hingga siang. Ia dan Arman juga selalu ikut membantu. 

“Jadi hari Minggu kamu ikut jualan?” tanya Ilyas. Hanna mengangguk. “Emh, kamu udah bilang gak akan ketemu sama Abang lagi, kan, sama kakak kamu?”

Hanna menggeleng. “Aku gak mau. Aku diem aja.”

“Duh, kenapa?” 

Nurul dan Arman sangat mengenal Hanna sampai ke detil terkecil. Menurut Hanna, kakak dan iparnya itu selalu tahu jika ia sedang berbohong. Selain dari bahasa tubuhnya, juga dari bicaranya yang tergagap-gagap jika sedang menyembunyikan sesuatu. Hanna sendiri tidak mengerti kenapa begitu, yang jelas setiap kali berbicara tidak jujur maka sepasang kodok di dadanya akan terbangun. 

“Gue goreng juga lama-lama tuh kodok,” desah Ilyas frustrasi. 

Fakta yang menyulitkan. Jika Hanna tidak bisa berbohong, maka mustahil mereka bisa bertemu tanpa ketahuan. Ilyas memejam, mencoba menenangkan diri agar bisa berpikir lebih jernih. 

“Gimana, ya?” gumam Ilyas pelan.

“Apanya, Abang?”

“Gak apa-apa, Sayang.” Ilyas tersenyum sambil mengacak poni Hanna. “Yuk, pulang!” ajaknya kemudian. 

Pesan Nurul menyebutkan kalau ia akan pulang sekitar satu jam lagi. Ilyas harus memastikan Hanna sampai di rumah sebelum iparnya itu. 

Setelah membayar bon makanan, Ilyas dan Hanna berjalan bergandengan keluar dari restoran, kemudian menyusuri Mall menuju ke pelataran parkir. Tepat di depan lift yang akan membawa mereka ke basement, Hanna menghentikan langkah.

“Aku mau itu, Abang.” Telunjuk Hanna teracung pada sepotong kue coklat yang terpajang di etalase cantik sebuah toko kue seberang mereka. 

“Kue itu?” tanya Ilyas. 

Hanna mengangguk, dan mereka pun singgah terlebih dulu ke toko tersebut. Hanya sepotong kue itu saja yang Ilyas belikan, tidak lebih. Ia tidak menawari Hanna membeli banyak meski sangat ingin memberi lebih dari itu. 

Jaket yang dipakai gadis itu model lama dan terlihat sudah pudar, begitu juga ponselnya, dan dari ujung kepala hingga kaki tidak terdapat satu pun perhiasan. Ilyas memerhatikan gadis terkasihnya yang tengah berdiri di kasir dengan perasaan sedih. 

Jika saja tidak takut diketahui oleh Arman, Ilyas bahkan akan membeli seluruh isi mall untuk Hanna. Ia akan memasang sendiri anting-anting di telinga gadis itu, lalu memberinya ponsel paling mahal, pakaian-pakaian modis, atau apa pun itu. Apa pun yang gadis sederhana itu inginkan akan Ilyas penuhi.

“Hayu, Abang!” Hanna menepuk pundak Ilyas. Menariknya dari belenggu ketidakberdayaan.

“Eh, udah?” 

“Udah dari tadi.” Tawa kecil meluncur dari bibir Hanna. “Yuk!”

“Yuk!” Senyum Ilyas mengembang, meraih tangan Hanna lalu berjalan beriringan keluar dari toko. 

Sekali lagi, tawa gadis itu menghapuskan semua lara dari benak Ilyas. Cara Hanna bahagia sangat sederhana, sesederhana sepotong kue coklat yang diinginkannya.

“Pak! Pak!”

Ilyas menoleh ke sumber suara yang ternyata berasal dari kasir. Perempuan muda itu melambaikan tangan dari tempatnya berdiri. Ilyas meminta Hanna menunggu karena mereka sudah berada di area luar toko, kemudian menghampiri kasir itu. 

“Kartunya, Pak.” 

Ilyas melupakan mastercard yang digunakan untuk membayar kue coklat, ia menepuk jidat lalu mengambilnya seraya mengucap maaf dan terima kasih. Saat berbalik, ia tidak melihat Hanna.

“Ke mana dia?” gumam Ilyas pelan. 

Hanna berjalan tidak seberapa jauh dari toko kue. Ia sedang menikmati pajangan dari berbagai toko yang berjejer di dalam mall itu. Melihat gadisnya, Ilyas tersenyum seraya menghampiri. Namun, dari salah satu gang di antara dua toko muncul tiga siswi berseragam SMA yang tampak dengan sengaja menabrak Hanna. 

Hanna mampu menahan bobot sehingga tidak terjatuh. Namun, saat hendak menoleh ia didorong hingga tersungkur nyaris mencium lantai. Kotak kecil kue coklat di tangannya terjatuh dan tertindih. 

Tawa-tawa puas menyergap telinga gadis malang itu. Kepalanya tiba-tiba pusing, perutnya bergejolak, dan dadanya sesak. Ia mengenal suara-suara tawa itu, mereka Christy, Arina, dan Silva. 

“Coba liat, si Putri Kodok jalan ke mall cuma beli sebiji kue coklat doang?” olok Christy, disusul tawa cemooh Arina dan Silva.

Tergopoh-gopoh dalam kebingungan Hanna berusaha bangkit sambil mengais kue coklat yang telah hancur. Namun, telapak tangannya diinjak. Ia meringis dan tersengal diiringi setetes air mata yang terjatuh dari sudut matanya.

Semua terjadi sangat cepat, lebih cepat dari kaki-kaki Ilyas yang berpacu memburu gadis terkasihnya. Dikuasai amarah yang membumbung, Ilyas langsung mendorong Christy hingga terjungkal, kemudian merangkul Hanna yang tidak berdaya. 

“Kalian gila?!” Teriakkan Ilyas menggema, menarik perhatian sebagian pegawai dan pengunjung mall yang kebetulan melintas. Ia memeriksa kondisi Hana kemudian memeluknya erat. “Gak apa-apa, Sayang, ada abang.”

Arina dan Silva yang hendak membantu Christy langsung mematung. Mereka, termasuk Christy, terkejut menatap Ilyas, mengira Hanna sendirian. 

“Ambil.” Tajam Ilyas tatap ketiga gadis itu sementara telunjuknya mengarah pada kue coklat yang telah hancur.

Tidak satupun dari mereka beranjak, dan malah saling melirik satu sama lain. Selain masih terkejut juga kebingungan, mereka juga tidak mengerti, untuk apa mengambil kue coklat yang telah hancur itu? 

***

Hanna Tidak GilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang