Kala itu, Arman pulang dari bengkel tempatnya bekerja cukup larut, bukan bengkel Ilyas, Arman baru bekerja sekitar enam tahun di sana. Saat sampai di rumah, ia mendapati pintu tidak terkunci. Tidak biasa, karena neneknya biasa mengunci semua pintu sebelum Maghrib.
“Nek?” Arman berteriak karena kondisi di dalam rumah sangat sunyi. “Hanna?”
Baik adiknya maupun neneknya tidak ada yang menyahut. Arman yang merasa bingung, heran, juga takut mulai mencari-cari adik dan neneknya ke sekeliling rumah.
“Nek!” Arman langsung berteriak saat memasuki kamar neneknya, dan mendapati sosok wanita tua itu sudah tak bernyawa.
Neneknya berbalut mukena, duduk di atas selembar sajadah, tubuhnya yang telah kaku nyaris terguling tapi tertahan dinding di sampingnya, matanya terbelalak ke arah lemari pakaian, dan mulutnya sedikit menganga. Tubuh neneknya yang telah kaku, menyimpulkan kalau ia telah tiada cukup lama. Arman berlari keluar memanggil para tetangga dan mengabari pamannya. Satu-satunya sanak-saudara yang ia miliki.
Satu persatu tetangga yang telah berada di rumah dan mengurus jenazah neneknya, Arman tanyai tentang keberadaan Hanna. Namun, nihil, tidak satu pun dari mereka ada yang melihat gadis kecil itu. Bahkan, paman dan bibinya pun tidak tahu.
Dalam duka kehilangan neneknya, Arman juga harus bergumul dengan rasa khawatir karena ketiadaan Hanna. Dibantu para tetangga, ia kembali mencari-cari adiknya ke seluruh pelosok daerah, teman-teman sekolah, bahkan menyusuri ulang ke setiap sudut rumah. Namun, sia-sia, Hanna tetap tidak ditemukan.
Hingga tiba waktu memandikan dan mengkafani neneknya, salah satu tetangga meminta selembar kain baru pada Arman. Ia lantas beranjak ke kamar neneknya untuk mengambil kain yang diminta dari dalam lemari. Namun, betapa terkejutnya ia tatkala lemari terbuka, sosok Hanna terlihat sedang meringkuk memeluk lutut dalam kondisi tak sadarkan diri.
“Hanna!” Langsung saja Arman mengeluarkan tubuh mungil Hanna dari dalam lemari. Tubuh mungil itu terasa dingin, sontak saja Arman berteriak meminta pertolongan. Ia tidak ingin kehilangan adiknya juga, setelah takdir merenggut neneknya.
Ditemani dua orang tetangga, Arman membawa adiknya ke rumah sakit. Sementara pengurusan jenazah neneknya diserahkan pada pamannya juga para tetangga.
Menurut dokter, Hanna pingsan karena kekurangan oksigen dan asupan makanan--kelaparan. Gadis kecil yang malang itu baru tersadar setelah dua hari koma. Namun, hingga berhari-hari setelah itu, ia tidak pernah bicara.
Tidak ada yang salah dengan kondisi fisik Hanna, dokter telah memeriksanya secara menyeluruh dan menyimpulkan kalau mungkin gadis itu trauma karena melihat kematian neneknya.
“Sepertinya Hanna kaget waktu liat kondisi neneknya, terus sembunyi di lemari, dan yah, dia trauma,” jelas dokter menyimpulkan.
Tidak bisa dipungkiri, Arman sendiri merasa ngeri saat melihat kondisi neneknya sewaktu ditemukan, sangat menyeramkan dengan mulut menganga dan mata terbelalak. Sangat wajar jika adiknya sampai terguncang.
Dokter menyarankan Arman membawa Hanna berkonsultasi ke psikiater. Meski dengan keterbatasan ekonomi, terlebih setelah neneknya tiada, Arman mengikuti saran dokter.
Tidak ada perubahan signifikan pada kondisi Hanna setelah Arman membawanya berobat di salah satu klinik kejiwaan, bahkan hingga berminggu-minggu terlewat, Hanna tidak pernah bicara dan kerap menjerit, menangis meraung-raung tanpa alasan. Selain itu, keuangannya juga semakin menipis. Hanya bekerja di bengkel kecil dengan gaji tidak seberapa, jelas tidak mencukupi semua biaya yang harus ditanggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanna Tidak Gila
RomanceHidup Ilyas menjadi kacau sejak kedatangan seorang gadis di bengkelnua pada suatu sore. Entah kenapa ia terjebak ke dalam masalah hidup gadis yang lebih muda 25 tahun darinya itu. Belum lagi, Ilyas selalu dibuat bingung setiap kali si gadis berbica...