Sepasang Kodok di Dada Hanna (2)

619 86 7
                                    

Jeritan jangkrik mengisi kesunyian di pekarangan rumah Hanna yang tidak luas. Pagar besi tua dengan cat putih gading yang telah mengelupas di beberapa tiangnya berderit-derit ditampar angin malam. Bohlam kekuningan ber-watt rendah menempel di langit-langit teras rumah bercat putih pudar itu. Bagian dalam jendelanya dipasang teralis besi, begitu juga dengan bagian luar pintu. Menandakan pemilik rumah seseorang yang sangat hati-hati dan penuh perhitungan, atau mungkin penakut. Namun, satu hal yang jelas bagi Ilyas, yakni Arman tidak di rumah. Kondisi teralis di depan pintu yang mirip sel penjara itu digembok. 

Sesaat Ilyas mengamati sekitar dari teras tempatnya berdiri. Sunyi. Rumah di seberang tertutup rapat dan gelap seolah-olah tak berpenghuni. Ia kemudian beranjak ke depan pagar, celingukan mencari-cari seseorang yang bisa ditanyai. Tapi bayangan pun tiada. Ia merogoh ponsel di saku celana, lalu menghubungi Arman. 

“Kakak?” Hanna menatap Ilyas yang baru saja kembali berpijak di teras.

“Dia lagi nyari lu.” Ilyas memasukan ponselnya ke saku. “Sekarang otewe balik.” Rasa bersalah menggerayangi benak dan pikirannya. Ia lupa mengabari Arman bahwa Hanna bersamanya. 

“Kakak nyari aku? Kak Nurul juga?”

“Siapa?” Ilyas sedikit membungkuk mendekatkan telinganya ke mulut Hanna.

“Kak Nurul. Istri Kak Arman, Pak.” 

“Oh … Emh, gak tau. Orangtua lu … gak di rumah juga? Atau …?” 

“Aku yatim piatu.” 

Beberapa saat setelah Hanna terlahir, ibunya menghembuskan napas terakhir. Disusul sang ayah lima hari kemudian. Gadis berusia sembilan belas tahun itu tidak pernah merasakan hangatnya sentuhan seorang ibu, juga damai dekapan seorang ayah. Ia tumbuh besar dalam pengasuhan sang nenek dan Arman.

“Sorry, gue gak tau.” Ilyas tersenyum kikuk. Hanna selalu membuatnya merasa bersalah.

“Gak pa-pa, Pak.” Seulas senyum Hanna sunggingkan. Ia lalu menunjuk satu dari dua kursi di teras. Kursi plastik dengan sandaran yang merapat ke dinding, menghadap pekarangan. di antaranya terletak meja persegi berukuran sepadan. Alat duduk yang biasa dijumpai di rumah-rumah makan sederhana. 

“Jadi lu cuman tinggal sama kakak dan ipar lu di sini?” tanya Ilyas. 

“Sama Nenek juga, Pak.” Tatapan Hanna mengikuti seekor kupu-kupu yang terbang mengitari bohlam kecil di langit-langit.

Ilyas menelan ludah berat. Sejak kejadian di taman, Hanna seperti menghindari tatapannya. Baiklah, mencium dan mencumbu gadis yang baru ditemuinya beberapa jam saja memang tindakan kurang ajar. Ia sadar. Belum lagi kondisi gadis itu yang sempat histeris ketakutan, dan panggilan 'om' yang meluncur dari mulutnya berkali-kali, sangat mengganggu pikiran Ilyas. 

“Hanna.”

“Ya?” Hanna menoleh dan langsung beradu tatap dengan sorot teduh di sampingnya. 

Napas Ilyas tercekat. Sorot mata itu kembali menghipnotisnya. Dalam dan penuh arti, seolah-olah menggambarkan secara gamblang sebuah lukisan kepedihan ke dalam benaknya. Menyayat-nyayat akan tetapi membuatnya tenggelam menikmati. 

“Pak?” 

“Emh, Hanna … maaf soal di taman tadi.” Ilyas gelagapan.

“Di taman?” Alis Hanna bertaut. 

“Ya. Gue ….” Ilyas mengutuk dirinya yang tiba-tiba saja seperti bocah ketahuan mencuri buah di pohon milik tetangga. Kikuk gemetaran. 

Hanna beranjak kemudian berjongkok menaruh kedua lengan di lutut Ilyas, menatapnya dengan sorot penuh tanda tanya. 

Hanna Tidak GilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang