PinkPunk chapter 2

314 42 14
                                    

"Langit mendung bukan berarti hujan. Seperti air mata yang mengalir bukan berarti kesedihan."

27, July, 2020.

*****

Tubuh Rara yang kecil dan kurus terdorong ke belakang hingga membentur dinding toilet sekolah. Dia tidak memiliki nyali untuk membela diri saat mengetahui bahwa kertas lembar jawaban ujiannya telah ditukar dengan nama sahabatnya sendiri. Nilai 100 yang harusnya dia dapatkan terganti dengan nilai 65 hasil pekerjaan Luna.

"Kalau kau berani mengadu pada guru, aku tidak yakin kau akan pulang dengan keadaan selamat!" Luna mengancam dan sekali lagi mendorong bahu Rara cukup keras.

Bagaimana mungkin seorang sahabat baik bisa berbuat seperti itu? Daripada melawan, Rara lebih memikirkan tentang tindakan Luna yang diluar dugaan. Mereka berdua setiap hari menghabiskan waktu dengan mengikuti kegiatan belajar bersama hingga pada tahap masuk ke dalam lembaga bimbingan di luar jam sekolah. Luna pun kerap memberi Rara bantuan, begitu juga dengan Rara. Jika salah satu dari mereka tidak masuk sekolah, sudah dipastikan yang satunya pasti akan segera mencari tahu. Rara benar-benar tidak menyangka bahwa Luna akan berpikir peringkat pertama yang selalu dia dapat akan tersingkir hanya karena nilai ujian matematikanya jauh lebih buruk dari Rara.

"Sekarang aku tidak peduli apakah kita bersahabat atau tidak. Pokoknya aku tidak mau kau terlihat jauh lebih pintar dariku!"

Yang bisa Rara lakukan setelah Luna pergi dari hadapannya adalah menangis. Apakah kepercayaan Luna sebagai sahabat hanya sebatas itu? Lagipula siapa yang ingin mengungguli siapa? Yang Rara tahu, setiap usaha pasti tidak akan mengkhianati hasil, bukan?

"Kupikir suara siapa yang menangis," kepala seorang bocah laki-laki muncul dari ambang pintu lalu melihat Rara dengan tatapan malas. "Kenapa tidak melawan? Aku tahu siapa yang berbicara padamu barusan."

Rara yang malu langsung menghapus air matanya dengan punggung tangan.

"Yang salah harus dilawan, masa yang begitu saja kau takut."

"Diam kau!" Rara tidak suka ada teman lain yang ikut campur mengenai permasalahannya dengan Luna.

"Kau mau ada orang lain yang mendengar suara tangisanmu selain aku? Aku jadi batal mau buang air kecil karena kupikir suara tangismu tadi itu suara hantu penunggu toilet sekolah, tahu!"

"Ya sana kalau mau buang air kecil, kenapa kau jadi masuk ke dalam toilet wanita? Mau mengintip?" sekarang Rara membenarkan tas selempangnya dan bersiap-siap untuk pergi.

"Sudah bagus ada seseorang yang mendapatimu bersedih. Luna itu kan sahabat dekatmu, kalau dia berusaha menjatuhkanmu, suatu saat kau harus bisa membuat dirimu jauh lebih baik darinya. Dasar cengeng!"

Potongan adegan kecil itu terngiang-ngiang di benak Rara secara tiba-tiba saat mereka sedang menikmati santapan makan malam berdua.

"Kenapa? Kau tidak suka dengan lauknya? Itu bibi Mang yang tadi sore membelinya di kedai sebelah. Apa dia tidak memberitahumu?"

Pria di depannya ikut berhenti makan begitu melihat wajah Rara berubah murung. Ibu jarinya dengan lembut mengusap sudut bibirnya sendiri beberapa kali.

Bibi Mang adalah satu-satunya pelayan yang setiap hari datang dan menamani seluruh kegiatan Rara. Beliau baru akan pulang setelah semua pekerjaannya selesai. Tidak jarang bibi Mang menginap di rumah itu ketika tidak ada seorangpun yang menemani Rara.

"Akhir-akhir ini sepertinya banyak hal yang kau pikirkan. Kau tidak mau memberitahuku apapun?"

Rara tidak tahu apakah dia perlu menjawab pertanyaan yang dilontarkan pria itu atau tidak. Dia masih merasa aneh menjalani kehidupan barunya yang harus tinggal satu atap dengan-sebut saja dia itu 'orang asing'. Sampai detik ini Rara masih belum yakin apakah orang asing itu benar-benar pilihannya.

Chicken Nugget [ HUNRENE ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang