Dua bilah pintu hitam berderit dengan lantang kala seseorang membukanya tanpa tenang, suara pantofel yang beradu dengan marmer hitam juga mengalun gema tatkala ia mulai melangkah memasuki ruang.
Beberapa meter dihadapannya , seorang lelaki lain tengah duduk disofa tunggal dengan kepulan asap sigaret yang meliuk diantara kedua sisi jarinya, dan entah sudah berapa banyak lelaki itu mengesap sigaret sebab asap mengudara penuh diruang tanpa tingkap itu.
Lelaki satu pun mengambil tempat untuk duduk disofa tunggal lain yang tepat bersebrangan dengan lelaki itu. Bersamaan ketika ia duduk, asap sigaret lelaki itu menubruk sebu wajahnya tanpa sopan.
"Bisa langsung to the point?" tukasnya dengan dingin, seringai tipis dari lelaki didepannya mulai tampak, kala asap sigaret mulai tipis mengudara dipandangannya.
"Bagaimana kalau kita saling tanya kabar dulu, Madya?" Lelaki yang disapa Madya itu lantas menjawab, "everything is good to me,"
"Papa ju-"
"Whatever happens to you, is none of my business," potong sang Madya sebelum sang Papa selesai berujar. Sang Papa hanya bisa tertawa sarkas menatap anak tengahnya, anak yang dulu ia kenal lemah dan tak berani membantah, kini sudah berubah semenjak lepas dari kendalinya. Anak lelakinya yang kerap ia pandang berbeda itu tumbuh menjadi sosok arogan yang penuh kebencian.
"Seperti biasa, kamu tetap Yuno Madya Daniswara yang arogan," ucapnya membalas tatapan dingin Yuno dengan seringai yang menyebalkan.
"Bisa kita mulai obrolan ini tanpa basa-basi?" tanya Yuno, menunjukkan dengan kentara bahwa ia begitu enggan berlama-lama untuk menyelesaikan perbincangan.
"Fine. Kamu perlu ingat, bahwa Papa yang punya kendali untuk masalah ini." peringat Hery, ayah dari Yuno yang tampak serius mengingatkan ini pada anaknya sebelum anak itu membantah keputusannya.
"Ini kendali terakhir, saya yang punya kendali penuh atas perlakuan apa yang nantinya saya ambil." Yuno ikut memperingati sang Papa, agar tak ikut campur setelah masalah ini selesai.
"Well...sesuai rencana dan perjanjian waktu itu, Papa sudah mulai menimbang siapa yang akan jadi istri kamu nanti. Ada tiga perempuan yang masing-masing dari keluarga terpandang dan tentu bukan orang sembarang." Hery memulai obrolan yang terlampau penting untuk masa depan keluarganya dengan serius sebab bisa dibilang bahwa Yuno adalah satu-satunya harapan terakhir untuk mempertahankan kekuasaan keluarga Daniswara.
"Anak pertama keluarga Wijaya, Anak kedua keluarga Hartanto dan terakhir, Anak tunggal dari keluarga Ganendra. Ada beberapa bawahan Papa yang Papa tugaskan untuk pantau keseharian mereka, selepas itu, baru Papa timbang lebih jauh siapa yang pantas dan layak untuk masuk ke keluarga kita."
"Gimana menurut kamu?" Hery bertanya, alih-alih menjawab, Yuno justru bergeming dengan berbagai hal yang tengah mengikat kepalanya dengan erat.
"Anak pertama dari keluarga Wijaya terdengar menarik, kan, Madya? Keluarga Wijaya pasti akan menunjang bisnis kamu untuk sampai ke manca negara." sambung Hery. Dengan perkataannya yang seperti itu, Yuno jelas tau bahwa sang Papa telah menaruh nilai yang besar untuk keluarga Wijaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be a Daniswara's
Fanfiction[18+] Menyandang klan Daniswara, tentu tak mudah. Pengawasan ajudan sang Ayah terhadap dirinya tak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan pengawasan ketat yang ditugaskan oleh muasal Daniswara terhadap diri Nuansa. Banyak tuntutan dan banyak sika...