Midnight Beginning

33.9K 521 1
                                    

Aku tidak tahu kapan terakhir dia tersenyum padaku.

Aku tak ingat kapan terakhir dia memberiku sebuah kebahagiaan berdua.

Aku tidak mampu lagi mengetahui kapan dia memanggilku mesra.

Aku tidak tahu, aku tidak ingat. Sekarang kami telah berjauhan. Dia di sana, aku di sini. Masih menanti kepastian kalimatnya walaupun itu sudah lama berlalu.

Cerai.

Pikiran ku di hantui hal-hal yang menyedihkan. Aku tak sanggup mengingat. Kenapa dia berkata seperti itu? Kenapa dia menyuruhku menandatangani kertas putih itu? Kenapa? Apa dia tak mencintaiku lagi? Aku butuh ribuan alasan dari semua itu.

Seseorang tolong aku. Aku membutuhkan pertolongan selain Tuhan. Beri aku jawaban atas kalimat nya malam itu. Malam tiga tahun yang lalu.

Aku menangis.

Memandang figura foto pernikahan kami berdua yang di ambil enam tahun yang lalu. Dan juga figura foto anak kami yang sekarang berumur lima tahun. Apa kabarnya di sana? Aku merindukan putri kecilku.

Aku butuh cinta nya, kasih sayangnya atas kami berdua. Tapi dia melanggar janjinya. Dia pergi. Membuatku menanti sendiri karena dia membawa buah cinta kami. Keina Ardingga.

Menunggu sampai aku bosan. Sampai air mata ku berubah menjadi tetesan semu. Akhiran dari pernikahan ku. Aku menyetujuinya. Bagaimana pun dia telah memaksa. Aku menyetujui itu. Aku setuju. Aku setuju. Aku setuju!

Sudah tiga tahun aku sendiri. Tak tahu apa kabar mereka berdua. Bahkan aku tak hadir di ulang tahun yang ke-lima Keina. Aku tak tahu apa salahku sehingga ini terjadi begitu cepat. Baru saja menikah tiga tahun, langsung cerai. Rasanya sesakit sayatan. Apalagi waktu itu Kei baru berumur dua tahun. Dia masih kecil dan butuh Ibu nya. Tapi mantan suami ku malah mengalihkan hak asuh atas Kei. Jahat sekali.

Aku masih memandang foto pernikahan ini. Aku berharap dia segera menghadiri hati ku yang kosong ini. Membawa anak kami kembali ke pangkuan ibunya kembali, aku. Tapi itu mana mungkin. Dia tak memerlukan diriku lagi. Haruskah aku mengemis cinta nya? Aku bukan wanita murahan yang begitu terobsesi dengan seorang pria tapi aku hanya butuh kebahagiaan yang lengkap bersama nya dan Keina. Sudah tiga tahun aku menunggu. Tapi percuma. Semuanya hanya membuang-buang waktu ku.

Sebaiknya aku fokus pada pekerjaan ku dan siapa tahu nanti aku bertemu dengan sosok pria baru yang sangat menyayangiku. Tapi itu mungkin. Aku janda muda. Masih cantik dan anggun. Aku juga berhijab. Garis keturunan hidupku Asia timur dan barat. Siapa yang mampu menolakku, bukannya aku sombong. Aku berharap suatu hari akan ada seorang pria tampan dan alim yang melamarku.

Aku harus melupakannya, walaupun cinta ku tak bisa redup satu detik pun. Hampir setiap hari aku menangisi dirinya di sana. Aku ini bodoh ya. Mengharapkan yang tidak bisa di harapkan.

Berdoa adalah cara utama ku untuk memintanya kembali. Aku masih ragu, apakah doa ku terkabulkan oleh Tuhan?

-

Malam ini aku sudah berdandan cantik untuk menghadiri acara kantor ku. Aku sebagai direktur, tentu harus datang karena malam ini malam spesial bagi ku. Sudah dua tahun ini aku menjadi direktur perusahaan Central Book. Aku juga di senangi banyak pegawai di sana. Terutama Rendy, sekretarisku yang masih berumur 25 tahun. Dua tahun di bawah ku. Dia sangat mencintai pekerjaannya. Dia senang membantu ku dengan perintah-perintah tak penting ku, misalnya menyuruhnya untuk membelikan ku buah di market. Ah, aku masih ingat kejadian lucu itu.

Malam ini kantor kami kedatangan tamu direktur dari perusahaan penerbitan. Menjalin kerja sama dengan kami, perusahaan perbukuan tentu saja ide yang bagus dan bisa terbilang sukses nantinya. Aku sih belum tahu siapa direktur perusahaan perbukuan itu. Dari Rendy aku mendapat informasi kalau mereka baru melantikan CEO baru, minggu kemarin.

Aku memandang diriku di cermin. Dress panjang yang menutup seluruh permukaan tubuhku. Lilitan modern dari kain jilbab biru yang ku pakai mempercantik gaya ku malam ini. Ah, sudah berapa lama aku tak berpakaian seperti ini? Mungkin terakhir kalinya saat aku berulang tahun yang ke-23, empat tahun yang lalu.

Tidak, Tera, jangan mengingatnya lagi. Aku harus melupakannya. Aku tak bisa hidup seperti ini terus. Jangan sampai air mata ku menetes sekarang. Bisa-bisa acara batal karena tangisan tak penting ku.

Aku keluar kamar, mengunci pintu apartemen dan segera turun ke basement untuk mengambil mobil ku. Jalanan malam ini cukup lenggang. Jazz merah ku melaju cepat agar sampai tepat waktu. 18:40. Yup! Aku sampai di depan sebuah gedung besar yang di sewakan oleh kantor ku untuk acara malam ini.

Aku memakirkan mobil ku, lalu masuk ke dalam gedung yang sudah ramai itu. Saat aku menginjakkan karpet merah di dalam gedung ini, semua orang melihatku dan bertepuk tangan.

"Selamat malam, Ibu!" Sapa sekretarisku.

"Malam Ren." Aku tersenyum ramah.

Lalu para pegawai ku pun mulai mengerumuni ku. Mereka bercanda-canda agar aku tertawa. Benar saja, aku tak bisa menahan tawa ku. Tapi aku merasa seseorang tengah menatapku. Aku tak tahu benar apa tidak nya. Aku ingin berpaling tapi tidak enak dengan para pegawai ku ini.

19:00. Acara di mulai dan aku menaiki panggung yang ada di ujung ruangan sambil membawa kertas yang bertuliskan pidato buatan Rendy.

Rendy sendiri berdiri mendampingiku di atas panggung. Setelah suasana agak tenang, barulah aku bicara.

"Selamat malam semuanya. Pertama-tama saya mengucapkan banyak terima kasih untuk para pegawai yang sudah membantu dalam acara ini. Saya sebagai direktur perusahaan Central Book, ingin mengenalkan kalian pada seorang direktur dari perusahaan penerbitan. Ya, walaupun saya juga belum kenal dan belum melihat beliau. Tapi malam ini tepatnya kita akan bekerja sama dengan beliau. Saya persilahkan untuk naik ke atas panggung. Pak..." aku melirik kertas yang ada di tanganku.

Reto Ardingga?

Apa? Reto? Ardingga? Apa aku tidak salah baca? Ya Allah, ini... ini...

"Sstt, Bu. Ayo sebutkan namanya," Bisik Rendy di telinga ku.

Aku tak sanggup lagi. Aku memegang lengan Rendy kuat.

"Kenapa, Bu?" Tanya Rendy khawatir.

"Kamu gantikan saya. Saya tiba-tiba tak enak badan," Jawabku lemah.

"Ah, iya Bu."

Aku turun dari panggung perlahan. Semua pegawai melihatku cemas dan penasaran. Ada juga yang bingung.

Aku berjalan ke luar ruangan, menuju taman di sebelah gedung ini. Ya Allah, apa benar itu dia? Reto, mantan suami ku? Kenapa harus dia? Apa dia sekarang menjadi direktur perusahaan penerbitan? Bukannya dulu dia hanya sekretaris di sana?

Kenapa aku bertemu lagi dengannya? Seharusnya ini tak terjadi. Aku tak mau. Walaupun aku sangat merindukannya tapi... ah, aku bingung.

Bagaimana aku harus menyikapi diri jika bertemu dengannya? Lalu kalau dia di sini bersama Kei aku harus seperti apa? Jika Kei tak mengenaliku, apa aku akan menangis di hadapannya?

Ah, aku tidak mau Kei melupakanku.

"Tera."

Suara itu...

Aku berbalik secepatnya dan melihat dia berdiri dengan senyum manisnya.

God, who is she?

Midnight LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang