"Lepaskan belati itu dari genggamanmu, atau kubunuh anak ini!" Mama menatapku tajam, menempatkan balatinya di bagian depan leher Shasa yang tengah dirangkul olehnya. Shasa mendengus-dengus, nafasnya memburu-buru katakutan.
Aku memindai ke arah Mama, manatap Shasa yang sudah bermandi keringat. Begitu kelabakan dalam hati, menimang-nimang apa yang akan kulakukan saat ini. Jika aku melepaskan belati yang tengah kugenggam, apa yang akan dilakukan Mama? Sedangkan belati yang kunggenggam ini adalah satu-satunya senjata yang kupunya saat ini.
"Aku tidak punya waktu lama Jean!" Wajah itu begitu bengis mengancam, memancarkan keganasan dalam diri Mama. Ujung tajam dari belati itu semakin ditekan ke leher Shasa, membuat bibir Shasa bergetar hebat. Wajahnya mulai pucat pasi digaungi dengan rintihan ketakutan.
"Sekali lagi buang balatimu! Atau kubunuh anak ini!" sarkasnya lagi. Kali ini bahkan kulit leher Shasa tergores ujung belati itu hingga berdarah, membuat rintihan Shasa semakin menjadi-jadi.
"Lepasin dulu Shasa, baru aku buang belati ini," ujarku. Badanku sedikit menggigil ditatap tajam oleh Mama. Mencoba dulu bernegosiasi dengannya ketika kematian mengancam salah satu rekanku -Shasa-.
"Jangan main-main!" Sarkasnya. "Satu gesekan saja, anak di pelukanku ini akan sekarat. Jangan banyak bicara! buang belati yang ada di genggamanmu sekarang!"
"Kalau aku lempar belati ini sekarang, apa lantas Mama akan melepaskan Shasa?"
"Setidaknya anak ini tidak akan mati sekarang."
Aku berjalan mendekat, menodongkan belati di genggamanku ke arah Mama. Aku masih tak gentar oleh ancamannya. Memangnya apa untungnya jika aku melempar belati ini? Tidak ada jaminan dia akan melepas Shasa.
"Jangan mendekat! Atau kusembeleh temanmu ini!"
Aku terus melangkah, mendekati Mama. Sedangkan Mama perlahan mundur, memudarkan tatapan bengisnya itu. Kali ini ia merasa terancam.
"Aku akan melempar belati ini, asal Mama mau melepaskan Shasa."
"Kamu pikir aku orang bodoh?" Sekonyong-konyong ia menusukan belati itu di bagian paha kanan Shasa, membuat Shasa menjerit kesakitan. Darahnya mengalir deras, membuat sekujur kaki kanan Shasa berubah warna menjadi merah darah.
Mama mencabut balatinya dari paha Shasa, memposisikan lagi ujung belati itu di leher Shasa. "Sekarang lepas belatimu, atau akan kulakukan yang lebih kejam lagi?" Ia berjalan mundur lagi, melebarkan jarak denganku.
"Selama ini kamu sudah banyak melakukan kekejaman yang melebihi ini. Jika kamu mau melepaskan Shasa, aku akan membiarkanmu lari dan lepas dari hukuman di balik jeruji yang menantimu."
"Kamu mau main-main? Kamu mengancamku?!" Kali ini Mama menusukan belatinya lagi di bagian bahu Shasa, membuat Shasa merintih lebih keras, menambah ketakutan di wajahnya yang sudah terlihat pucat pasi seperti mayat hidup.
"Okey!" Tidak ada pilihan lain, aku tidak menemukan jalan lain selain memenuhi perintah Mama. Aku tak ingin melihat Shasa lebih tersiksa lagi. Meski aku tak terlalu kenal dengannya, tapi orang yang tak bersalah tak pantas diperlakukan sekejam itu. "Aku akan melepas belati ini."
"Sekarang!"
"Okey!" Dengan perlahan, aku menjongkokan diri di lantai, manaruh belati itu di depanku. Kutaruh belati itu, lalu menengok lagi ke arah Mama ketika tangan kananku masih berjarak 5 centi dari belati yang baru saja kuletakan di lantai. "Sekarang lepas Shasa!"
"Kamu berdiri dulu!" perintahnya. Sial! Dia mempermainkanku.
Ketika aku hendak berdiri, nada alarm di ponselku tiba-tiba berbunyi. Aku terkejut. Astaga! Mati aku! Kenapa tidak kunonaktifkan nada alarm ini? Sialan!
Mama tersenyum licik ke arahku. Seperti kemenangan sudah berada di depan mata. "Lemparkan ponselmu ke arahku!"
"Untuk apa?"
"Sudah lemparkan saja sekarang! Atau kutusuk-tusuk lagi daging gadis di pelukanku ini?"
Sial! Mama pasti sudah menduga kalau aku merekam percekapannya denganku. Apa yang harus kuperbuat? Dia pasti akan menghancurkan ponselku jika aku melemparkan ke arahnya.
"Sudah kubilang, aku tak punya waktu lama!" Mama kali ini bergerak cepat, memposisikan belatinya di atas daun telinga kanan Shasa. Lalu sekonyong-konyong memotong daun telinga kanan Shasa tanpa rasa berdosa. Ssssssssst, suara irisan belati di daun telinga Shasa bahkan terdengar menggelikan. Sontak Shasa menangis tak karuan, menahan sakit yang luar biasa.
"Aku tidak main-main," ujar Mama. Memposisikan lagi balatinya di leher Shasa.
"Okay!" Sial! Bagaimana ini? aku tak bisa melihat Shasa terus tersiksa seperti itu.
"Cepat!"
Tidak ada pilihan lain, kulemparkan ponsel itu ke arah Mama. Membuat Mama tersenyum licik. Lalu seperti yang sudah kuduga, ia menginjak-injak ponselku dengan kaki kanannya. Sudah tak terhitung sudah berapa kali ia menghentakan kakinya ke arah ponselku, hingga ponsel itu hancur berkeping-keping.
"Sekarang, belati yang ada di depanmu, lemparkan ke arahku!" Sial! Bajingan keparat itu masih saja memerintahku.
"Bukannya aku sudah meletakan belati ini, untuk apa lagi kulemparkan ke arahmu?"
"Lemparkan saja sekarang!"
Kulemparkan belati itu ke arah Mama sekeras mungkin, sekuat yang kubisa dengan emosi kekesalan. Namun tanpa kuduga, belati itu justru melayang keras dan menancap tepat di mata kanan Mama, membuatnya mengerang kesekitan. "BANGSAT!" sarkasnya. Dengan teguh, ia masih berdiri, memeluk Shasa yang hendak ia sembelih.
Shasa dengan bibir bergetar, menghela nafas mencoba menenangkan diri di saat nyawanya berada di ujung tanduk. Keringat di wajahnya bercampur dengan darah yang mengucur dari mata Mama.
Tiba-tiba sebuah kapak meluncur, menancap di bahu Mama, membuat Mama menggila menjadi-jadi mengerang histeris memenuhi asrama. Seorang perempuan telah menancapkan kapak itu di bahu Mama. Namun gelapnya dini hari, membuat wajahnya terlihat samar-samar.
Akhirnya Mama merebahkan diri, melepaskan belati dari genggamannya, terus mengerang memegangi pundaknya yang masih tertancap oleh sebuah kapak. Sedangkan Shasa yang tampak begitu trauma juga menjatuhkan diri di lantai dengan nafas memburu. Ia begitu ketakutan, memegangi telinganya yang sudah terpotong.
Ya ampun! Telinganya benar-benar teriris oleh balati, terpotong!
#author
Terimakasih sudah membaca, jangan lupa vote..Hayoo kira-kira siapa yang menancapkan kapak itu di bahu Mama?
#bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
BUTCHER
Mystery / Thriller(15+) [Cerita ini mengandung adegan sadis. Cocok dibaca ketika malam hari di tempat yang sunyi] Sudah 3 kali Jean mendengar suara orang mencacah daging di malam hari. Awalnya ia tak memperdulikan hal itu meski terus bertanya-tanya dalam hati 'suara...