10. Dalang

64 13 4
                                    

Seumur hidupku, baru kali ini aku melihat kejahatan manusia tepat di depan mataku. Jordy benar-benar tanpa ragu telah memenggal kepala Billy. Meski Jordy adalah salah satu temanku, aku juga tak ragu untuk melawan perbuatan kejamnya, apalagi jika itu mengancam nyawaku sendiri.

Setalah puas menghabisi Jordy, aku melucuti baju dan celananya. Lalu segera mencari tali dan mengikatnya. Kemudian aku mengganti pakaianku dengan pekaian Jordy yang baru saja kulucuti.

Aku tak akan membunuhnya, dia harus dibawa ke ranah hukum sebelum masuk ke dalam kubangan neraka.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Lintang. Ia yang masih menggigil ketakutan kini berusaha untuk menarik nafas perlahan lalu menghembuskannya. Ia terheran-heran melihat kelakuanku.

"Aku akan memakai topeng babi ini, aku akan menyamar menjadi Jordy untuk melihat dalangnya," jawabku.

Lintang menatapku dengan ragu. "Kamu yakin bisa?"

"Yakin," ujarku. "Kamu harus sembunyi."

"Hati-hati Jean, jangan mati," gumamnya.

"Iya,"

Aku mengambil topeng babi yang tergeletak di samping Jordy, lalu mengenakannya. Kepala Billy yang baru ia penggal juga kutenteng dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kananku menggenggam sebuah belati.

Aku melangkah melalui tangga ruang bawah tanah dengan perlahan sembari menenteng potongan kepala manusia yang tak lain adalah kepala rekanku sendiri. Ini benar-benar tak akan terlupakan, siapa yang menyangka diriku akan membawa potongan kepala manusia? Aku tak pernah membayangkan sebelumnya. Rasanya antara ingin menangis dan menggelikan bercampur aduk.

Ini sungguh gila! Di genggamanku benar-benar kepala Billy. Billy yang salalu terlihat banyak bicara di manapun tempatnya, kini badan dan kepalanya benar-benar telah terpisah. Sungguh nahas temanku ini.

Setelah tiba di depan pintu, aku membuka sedikit pintu itu dengan perlahan. Kutilik dari cela pintu itu, terlihat seseorang sedang mondar-mandir di depan pintu gudang pengolahan daging. Perawakannya mirip seperti Pak Salim.

Itu benar-benar Pak Salim. Tak salah lagi, dialah dalangnya. Dia pasti sedang menunggu kedatangan Jordy.

Sebelum aku menemuinya, kuaktifkan dulu mode rekaman dalam ponselku untuk merekam percakapan antara kami -aku dan Pak Salim-. Apa yang ia katakan bisa menjadi bukti atas kejahatannya.

Lalu kubuka pintu itu. Suara gesekan pintu membuat Pak Salim beralih memandangku. Ia tersenyum menatapku, sesekali ia memandang ke arah potongan kepala yang tengah kutenteng.

Ia kemudian melangkah mendekatiku sembari bertepuk tangan dan tersenyum sumringah. "Jordy, kamu benar-benar bisa diandalkan," ujarnya.

Salim benar-benar bodoh, ia masih mengira diriku adalah Jordy. Tapi itu tak mengherankan juga, perawakanku dan Jordy hampir sama, tingginya hanya berbeda beberapa inci. Dengan topeng babi yang kukenakan ini, tentu saja si Salim mengira orang dibalik topeng ini adalah Jordy.

"Hanya satu kepala yang kamu bawa?" tanyanya. "Kamu lupa bawa kantung besar ya? Biar nanti kuambilkan kantung itu agar daging-daging mereka bisa dibawa ke dapur. Besok kita makan sup daging ayam lagi." Kini ia tersenyum licik tepat di hadapanku.

Aku hanya mengangguk. Rasanya ingin kurobek wajah orang yang ada di depanku ini, tapi aku harus menahan diri sebentar saja, sebentar lagi. Bila sudah waktunya, akan kutusuk bola matanya.

"Lepas topengmu, kamu nggak gerah?"

Tanpa menggubris perintahnya, aku langsung menyodorkan potongan kepala itu ke hadapan Pak Salim.

"Kamu mau aku memeriksa kapala ini?"

Aku menganggukan kepala.

Ia kemudian mengangkat tangannya hendak meraih kepala yang ada di genggamanku. Namun ketika ia hendak meraih kepala itu, aku lantas melepaskan kepala itu hingga terjatuh ke lantai. Lalu dengan cepat dan tepat kugenggam lengan Pak Salim dengan erat. Sontak wajah Pak Salim berubah menjadi panik. Matanya melebar ketakutan. "Apa-apaan ini?!"

Tanpa basa-basi, kutancapkan sebuah belati ke langan tangan Pak Salim yang tengah kugenggam. Kutancapkan belati itu sedalam mungkin hingga ia meronta kesakitan, lalu kutarik balati itu lurus searah dengan urat nadinya. Lengan si Salim ini akhirnya berhasil kurobek. Tak perlu mamakan waktu lama, darah dari lengannya itu sudah bercucuran di lantai.

"SETAN!" sarkasnya. Ia sempat meludahiku tapi aku berhasil menghindar.

Tak selesai di situ, kucabut lagi belati itu dan menusukannya lagi di bagian paha Pak Salim. Ia meronta lebih keras lagi. Aku menusukannya lagi terus dan terus di bagian paha kiri, paha kanan, dan mata kirinya.

Tak lama setelah itu, ia merebahkan diri. Tubuhnya bergetar hebat merasakan kesakitan yang luar biasa.

"KEPARAT!!" sarkasnya. Ia terus meronta. Wajahnya dibanjiri oleh darah yang mengalir dari lubang matanya.

"Kamu sudah selesai Salim. Inilah yang dirasakan oleh rekan-rekanku ketika kamu membunuh mereka," gumamku sembari mencopot topeng babi dari kepalaku. Lalu sedikit tersenyum untuk merayakan penderitaannya. "Ini tidak sebanding dengan apa yang kamu lakukan. Membunuh banyak orang benar-benar iblis!"

"BANGSAT!" celanya.

Aku lantas berjalan menuju lemari mencari-cari kain untuk mengikatnya. Kugeragapi seluruh isi lemari hingga ke kolongnya, namun tak kunjung ketemukan. Yang ada hanya kecoa-kocoa dan tikus-tikus yang sibuk berjalan kesana kemari. Sial!

Sampai akhirnya sesuatu telah mengalihkan fokusku. Kutemukan di dalam laci lemari  sebuah kertas putih yang menyerupai surat. Surat itu berisi perjanjian kerja sama jual-beli organ tubuh manusia. Di surat itu tertulis tanggal 17 Oktober 2017 yang artinya surat ini ditulis 3 tahun lalu, ditanda tangani sendiri oleh Pak Salim dan Jack Johnson.

Jack Johnnson? Aku tak tau siapa itu. Itu seperti nama orang Eropa Inggris, Australia, atau amerika? entahlah.

Aku memasukan surat itu ke dalam saku celana. Lalu melanjutkan mencari kain panjang.

Setelah 4 menit sibuk menggeragapi seisi lemari, akhirnya kutemukan juga kain panjang berwarna putih di dalam lemari kaca. Akhinya bisa bernafas lagi, dan segera akan kuikat si Salim Bajingan itu!

Saat aku mendongak ke arah samping, terlihat Pak Salim sudah berdiri di hadapanku tergopoh-gopoh mengangkat sebuah golok yang hendak diayunkan ke arahku. "TIKUS BANGSAT!" serunya ketika ia mengangkat golok itu. Wajahnya terlihat sangat murka meski satu matanya telah kutusuk dengan belati.

Aku yang melihatnya lantas segera menghindar. Meski begitu, golok yang ia ayunkan berhasil sedikit mengenai lengan kananku hingga terluka. Ia kemudian melanjutkan aksinya, hendak menebas leherku, namun kali ini aku berhasil menghindar ke bawah sembari mendorong lutut Pak Salim hingga ia terjatuh.

Kuraba-raba badannya, lalu kupukul-pukul wajahnya. "MASIH MELAWAN JUGA? MAU KUTUSUK MATA KANANMU BIAR BUTA SEKALIAN?"

Pak Salim kini terbujur lemas. Mata kanannya bahkan telah menutup. Entah ia pingsan atau sudah meninggal, aku juga tak perduli. Aku segera mengikatnya dengan tali. Di mulai dari mulutnya yang kusumpali kain, lalu dua pergelangan tangannya yang kuikat menjadi satu, kemudian dua kikinya yang juga kuikat menjadi satu.

Setelah itu, kuseret badannya ke ruang bawah tanah. Tak perduli rasanya tergesek dengan lantai, tak perduli. Sudah kejam membunuh banyak orang, masih merepotkan juga!

#author
Terimaksih sudah membaca!
Jangan lupa vote.

Hari ini udah puas tusuk-tusukannya?:)

#bersambung

BUTCHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang