02. Dua Malam Berturut

104 18 5
                                    

Semilir angin malam menghembus hingga menyentuh pori-pori kulitku. Dingin sekali meski sudah mengenakan jaket. Jordy yang berdiri di depanku segera membuka pintu kamar Samsul secara perlahan. Ia kemudian masuk sembari membawa sepiring makanan untuk Samsul.

Sedangkan Samsul tampak terduduk di pojok kamar dengan wajah menunduk. Rambutnya acak-acakan, dan sebuah ponsel tampak tergeletak di depannya.

"Sul, kami membawakan makan malam untukmu." Jordy menaruh sepiring makan malam itu di hadapannya.

Aku hanya berdiri di garis pintu sambil bersenderan di dinding, sedangkan Irfan duduk di ranjang milik Samsul.

"Ada apa?" tanya Jordy.

Samsul tak menanggapi, ia masih menunduk, sesekali mengusap rambutnya yang berantakan itu.

"Kau sudah menghubungi orang tua Febry?" tanya Jordy lagi sembari mengelus pundak Samsul.

Samsul kemudian menengok ke arah Jordy dengan rona cemas dan berkaca-kaca. Wajahnya masih terlihat pucat pasi. "Orang tua Febry nggak tau Febry di mana," ujar Samsul sambil mengusap air matanya. "Gimana ini?" Ia tampak khawatir, bibirnya bergetar saat berbicara.

Jordy terus mengelus-elus pundak Samsul untuk menenangkannya.

"Si Febry itu udah besar, kenapa harus dicemaskan? Palingan nggak lama lagi pasti dia mengabari," timpal Irfan. "Sekarang lebih baik kamu rawat jarimu yang terluka itu."

Febry kembali menunduk seraya mengacak-acak rambutnya. Ia lantas berbicara tersendat-sendat sebab tangisannya itu. "Febry kalau mau ngapa-ngapain pasti langsung mengabari orang terdekat."

Jordy mendekatkan makanan itu ke hadapan Samsul. "Ya sudah, sekarang lebih baik kamu makan dulu."

"Kita harus pergi dari tempat ini," ujar Samsul dengan lirih.

Seketika hening. Jordy sontak mematung ketika sedang mendekatkan makanan itu di hadapan Samsul. Pandangannya kini tertuju pada remaja berusia 19 tahun yang tengah memojok di sudut ruang itu.

Aku dan Irfan yang mendengarnya juga bergeming. Kenapa tiba-tiba dia mengajak kami pergi dari tempat ini?

Setelah menciptakan keheningan, Samsul kembali menatap ke arah Jordy. "Kalian nggak curiga? Orang-orang yang pergi tanpa pamit dari asrama ini mungkin memang sudah pergi dari dunia. Mungkin mereka dibunuh atau diculik," ujar Samsul. Air matanya kini deras mengalir di pipinya hingga ke dagu. "Kalian nggak curiga?"

Kami bertiga yang mendengar ucapan Samsul kembali termenung.

Curiga? Kupikir benar saja. Sebenarnya kami patut bercuriga atas segala keanehan yang telah terjadi di asrama ini. Tapi karyawan-karyawan lain mungkin tak ingin memikirkannya, mereka bukan detektif, hanya kumpulan orang-orang yang fokus bekerja untuk mencari uang, termasuk diriku. Tapi bagaimana jika ini memang tindakan kejahatan semacam penculikan atau pembunuhan rahasia? Entahlah, sebelum ini aku tak pernah memikirkannya.

"Heh, jangan mengada-ada!" seru Irfan memecahkan keheningan. "Sekarang makan aja."

"Iya betul," ucap Jordy. "Makan malam ya." Jordy mengelus pundak Samsul sekali lagi sebelum bangkit dari duduknya, kemudian keluar dari kamar.

Aku dan Irfan mengekor Jordy dari belakang.

"Semoga lekas membaik Samsul," ujarku sebelum keluar dari ruang kamarnya.

Kami bertiga berjalan melewati koridor asrama lantai dua. Suasana sudah cukup sepi. Biasanya pukul 21.00 para karyawan memang sudah memasuki kamar masing-masing untuk beristirahat, mungkin hanya satu dua orang yang masih betah mengobrol. Begitu juga yang biasa dilakukan Irfan dan Jordy.

BUTCHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang