11. Psikopat Gila

64 13 3
                                    

"Jean! Apa yang kamu lakukan?" Lintang terkejut ketika aku menyeret badan Pak Salim ke ruang bawah tanah.

"Ini dalangnya."

"Pak Salim," gumam Lintang. Ia menutup mulutnya dengan tangan, air matanya kembali mengalir di pipinya.

Kuletakan badan Pak Salim di pojok ruang yang jaraknya jauh dari posisi Jordy. Kemudian kembali mengenakan topeng babi dan mengambil belati dari saku celana.

"Mau kemana lagi?" Ia menyeka air matanya.

"Mencari pelaku lain," jawabku, berlari menaiki tangga ruang bawah tanah. "Jaga dirimu," ujarku.

Dari pintu ruang bawah tanah itu, semilir angin merayap lewat cela-cela pintu gudang yang mengatup tak rapat. Aku merasa sangat dingin karena hanya mengenakan kaos dan celana training serta topeng babi yang menempel di kepalaku.

Darah-darah Pak Salim bersimbah di permukaan lantai, beberapa daging  sapi bergelantungan di atasnya. Seakan-akan darah itu menetes dari daging sapi itu, padahal itu darah milik Pak Salim yang baru saja kutikami dengan belati.

Kuambil lagi potongan kepala Billy yang tergelatak di lantai. Kutarik langkah lagi, hendak keluar dari gudang ini. Dengan kepala ini, orang yang terikat dengan kekejaman ini akan lebih percaya jika aku adalah Jordy.

Aku lantas membuka pintu gudang itu. Suara burung hantu masih bergema dari arah utara. Lampu di kamar-kamar asrama itu tampak menyala, beberapa pintunya juga sudah terbuka.

Aku melangkah lagi mendekati asrama itu, seseorang berteriak dari ruang kamar pojok di lantai satu. Kemudian keluarlah Joni dari ruang kamar itu dengan ekpresi ketakutan. Ia merangkak-rangkak dari kamar itu, wajahnya penuh dengan bercak darah.

Sedetik kemudian, seseorang bertopeng babi keluar dari kamar itu, ia berjalan mendekati Joni dengan menenteng sebuah kapak.

"JANGAN-JANGAN! AMPUN!" Joni terus berteriak meminta ampun, merangkak-rangkak menjauhi orang bertopeng babi itu. Kakinya terpincang-pincang, jangankan berlari, bediripun sudah tak sanggup lagi. Si Joni itu, wajahnya sudah begitu memelas. Hidupnya sudah berada di ujung tanduk.

Orang bertopeng babi itu sekonyong-konyong berlari ke arah Joni, lalu dengan hitungan detik menebas leher Joni hingga terpotong. Berengsek!

Ludahku tertelan kasar. Lalu memalingkan wajah, enggan untuk melihat potongan kepala itu. Sudah cukup dengan Billy, aku tak mau melihat potongan kepala rekanku yang lain.

"Jordy!" panggil orang bertopeng babi itu.

Aku lantas menengok ke arahnya. Suaranya sangat mirip dengan Irfan.

Ia berjalan ke arahku, namun kapaknya dilemparkan tanpa arah. "Malam ini berat banget, gerah," gumam Irfan. Ia membuka topeng babinya ketika berhadapan denganku. "Gimana Jean dan yang lainnya? Sudah beres?" tanyanya.

Aku mengangkat potongan kepala dan menunjukan wajah Billy ke hadapannya. Ia lantas memegangi dua rahang kepala itu secara bersamaan untuk mengamati bentuk wajahnya.

"Billy?" Ia agak terkejut dan melepas kedua tangannya. "Waaahhh... si berisik sudah mati juga! Jadi nggak bisa ribut lagi sama dia. Malangnya kau Billy," ujarnya sembari terkekeh seperti orang yang tak pernah mengemban dosa.

Aku melemparkan kepala Billy ke arahnya. Ia menghentikan tawanya,  menangkap potongan kepala itu dengan sigap.

"Gimana dengan Jean dan Lintang? Mereka sudah mati juga kan?"

Kuanggukan kepala dan mengancungkan jempol padanya.

"Sukurlah, aku benar-benar muak dengan mereka semua."

Aku menelan ludah lagi. Aku juga muak dengan orang yang ada di hadapanku ini. Aku tak sabar lagi ingin menusuk bola matanya.

"Hari ini hanya kita berdua yang akan menikmati sup daging ayam!" Irfan berbinar, lekukan senyumnya memuakkan! "Semua karyawan di tempat ini sudah kubunuh, kupenggal kepalanya, kucincang-cincang dagingnya," ujarnya. "Ehh, hanya satu orang yang berhasil melarikan diri, si Shasa. Tapi aku nggak perduli lagi."

Terbelalak! Sungguh semua karyawan telah dibunuh olehnya? Jika benar, dia benar-benar iblis! Psikopat gila! Aku harus menahan sebentar saja, sebelum merobek-robek dagingnya.

"Ayo kita ke dapur menemui Mama, dia pasti sudah membuatkan minuman dan makanan yang enak! Aku lelah malam ini." Dia merangkulku, kemudian menggiringku menuju dapur. "Sembari berjalan, sembari menikmati pemandangan indah. Darah-darah yang berjibah di sekujur asrama ini, potongan-potongan badan manusia di sudut-sudut ruang, itu benar-benar maha karyaku Jor," ia tersenyum begitu puas. Nada bicaranya sangat menyakinkan.

Kami melewati lantai satu, penuh dengan genangan darah di sana sini. Aku bergidik sesaat. Pandangan macam apa ini? Bangsat! Aku merasa seperti di neraka. Potongan-potongan badan di setiap sudut-sudut ruang kamar juga terlihat begitu menjijikan.

"Lihatlah mahakaryaku Jor! Luar biasa kan?" Ia tersenyum lagi. Tak kusangka, yang satu ini benar-benar psikopat gila!

Kami terus berjalan tenang hingga tiba di anak tangga menuju lantai dua. Irfan tak berhenti tersenyum, memindai genangan-genangan darah dan potongan-potongan tubuh manusia di sekitarnya. Semua ini benar-benar perbuatannya.

"Kamu nggak gerah Jor? Lepas ya topengnya." Sekonyong-konyong ia melepaskan topeng babi dari kepalaku.

Aku hanya menengok ke arahnya, menatap lamat-lamat Irfan setelah topeng itu benar-benar lepas dari kapalaku.

Irfan memicingkan mata, terkejut ketika melihat wajahku. "Jean!"

Aku lantas tersenyum licik ke arahnya. "Biar kupercantik mahakarya ini Irfan." bisikku. Lalu segera kutancapkan belati yang kugenggam ke arah mata kanan Irfan.

"AAAAAA!" dia berteriak kesakitan. "BANGSAT JEAN!" sarkasnya. Ia mengerjap-ngerjap, menyembunyikan pandangannya dengan lengan.

Kucabut lagi belati itu, lalu kutancapkan lagi ke bagain rahang kanannya.  Lalu kucabut lagi balati itu, kutancapkan lagi ke bagian rahang kirinya. Aku berhasil menghentikan teriakannya.

"Gimana? Karyaku juga indah Fan," gumamku. Aku benar-benar bisa tersenyum puas kali ini.

Aku melanjutkan aksinya lagi. Kurobek  paha kanannya, mengupas redaman darah di kakinya. Lalu lengan kirinya kurobek lagi secara kilat hingga ia tak berdaya dan terkulai lemah merebahkan diri di lantai.

"Malangnya temanku ini." Aku mendekati wajahnya yang sudah pucat pasi itu. Mendekatkan suaraku di telinganya "Kuharap kamu nggak mati, ruang jeruji manantimu," bisikku.

Tatapannya sudah sayup-sayup tak berdaya. Irfan.

"SETAN!" Gema suara nyaring dari seorang perempuan. Siapa?

#author
Terimakasih sudah membaca, jangan lupa vote...

Siapa lagi setelah Irfan?

#bersambung






BUTCHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang