03. Topeng Babi

87 17 8
                                        

Seperti yang kuperkirakan, pagi ini di ruang makan begitu ramai dengan sorak-sorak karyawan. Mereka sangat berantusias karena pagi ini kami kembali sarapan dengan sup daging ayam.

"Baru kali ini makan sup ayam dua kali berturut-turut," gumam Billy dengan wajah masam. Ia manatap sinis sup daging ayam di dalam sebuah baskom dan sedikit enggan untuk menciduknya.

"Kenapa emang?" tanya Lintang sembari mengambil nasi di majikom, dia adalah salah satu dari lima karyawan perempuan di The Butcher Shop ini.

"Bosen," ujar Billy.

"Bersyukur kali, masih bisa makan enak kayak gini," tutur Lintang.

Kini giliran Irfan menimpali, memanas-manasi Billy. "Betul tuh Lin, bersyukur masih bisa makan enak kayak gini." Ia memejamkan matanya saat setelah mencicip kuah supnya. "Enak," gumamnya.

"Enak apaan! Daging ayam rasanya kayak dagingnya saudaramu!" umpat Billy menunjuk ke arah Irfan sembari tertawa mengejek.

Irfan tampak tak terima, ia mempelototi Billy. "Maksudmu apa?"

"Daging ayam ini rasanya kayak daging monyet! Saudaramu!"

"Eh!" sentak Irfan. "Biarpun aku jelek kayak gini, tapi aku punya pacar! Emang kamu, jomblo akut!"

"Ehh!" Billy membalas, menyentak Irfan. Ia menyodongkan sebuah garpu ke arah Irfan. "Jangan bawa-bawa setatus ya! Ngomong lagi, kucolok nih matamu pake garpu!"

Jordy yang berdiri di antara Irfan dan Billy menggertak meja prasmanan untuk menghentikan pertikaian meraka -Irfan dan Billy-. Lalu menatap tajam satu per satu wajah meraka. "Udah-udah! Waktunya makan!" Ia melerai pertikaian tak penting antara mereka bardua. Dan berhasil menutup mulut dua orang absurd itu.

Aku hanya termenung melihat kebiasaan buruk Irfan dan Billy di ruang makan. Pemandangan seperti ini sering terjadi. Menyebalkan! Dua orang ini benar-benar ingin kubunah, berisik sekali!

Aku mengambil makanan paling akhir. Namun Sasha -salah satu karyawan perempuan- mempersilakan diriku untuk mengambil dulu. Ia tampak memegang dua piring bersama sendoknya. Entah kenapa.

"Sha," sahut Lintang. "Kenapa bawa dua piring?" tanyanya dengan kerutan di dahi.

"Kelaparan nih anak kayaknya," sambar Billy, dia begitu blak-blakan kepada semua orang, bahkan kepada Shasa -orang yang tak dikenal olehnya-.

"E..... ini yang satu buat Samsul," jawab Shasa malu-malu.

Wajah Lintang tampak terheran-heran memandang ke arah Shasa. "Samsul?"

"Hei Lin, kenapa mukamu itu? Kamu cemburu si Shasa ngambilin makanan buat Samsul?" ledek Billy, ia terduduk di meja barisan belakang menikmati menu sarapan pagi. Senyumannya tertuju pada Lintang yang terduduk di sebelahnya. "Kalau emang suka sama Samsul, sosor gih selagi masih bernafas tuh orang."

Lintang yang tepat berada di samping Billy lantas memukul bahu Billy sekeras mungkin. "Bukan gitu!" sarkasnya.

"Kenapa?" tanya Billy.

"Samsul udah pergi, dia dan barang-barangnya udah nggak ada di kamar," ujar Lintang.

Ucapan Lintang sontak membuat semua orang di sekitarnya terkejut. Suasana menjadi hening dan sebagian orang bergeming menatap Lintang. Kami saling bertatap muka, sedangkan Shasa tampak menjatuhkan satu piringnya ke lantai hingga terpecah, begitu terkejutnya dia.

Padahal tadi malam kulihat Samsul masih terlihat pucat. Kenapa dia memutuskan untuk pergi? Bodoh sekali!

Sebenarnya aku tak heran jika ada satu karyawan yang hilang di pagi hari ini, sebab tadi malam suara orang mencacah daging itu terdengar lagi. Tapi aku tak menyangka jika itu Samsul.

BUTCHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang