01. Semula

167 22 10
                                    

Panggil aku Jean, seorang remaja 20 tahun yang lontang-lantung mencari tujuan hidup. 3 bulan lalu diriku adalah seorang pengangguran yang kerjanya bermain game siang dan malam. Sejak lulus dari SMK, aku memang malas keluar rumah. Sebab itu aku menganggur selama 2 tahun.

Beruntunglah, 3 bulan lalu aku ditawari pekerjaan oleh 2 kawanku; Irfan dan Jordy. Meski hanya pekerjaan remeh yang tugasnya memotong-motong daging sapi impor di sebuah toko daging impor, atau bahasa resminya The Butcher Shop. Sekiranya pekerjaan ini bisa menjembatani untuk kehidupanku ke depannya.

3 bulan aku bekerja di tempat ini, aku merasa nyaman. Terutama karena kami -karyawan- disediakan sebuah asrama gratis untuk tempat tinggal kami selama bekerja di The Butcher Shop. Bentuk asrama itu sendiri seperti rumah susun berlantai dua yang terdiri dari 35 ruang kamar, 1 ruang makan, dan 1 ruang dapur. Masing-masing kamar hanya ditempati oleh 1 karyawan.

Meski terbilang nyaman untukku, tapi ada satu hal yang masih memutar-mutar di otakku, suara yang kudengar dari ruang kamar pojok; TOK! TOK! TOK! ..... setiap satu bulan sekali.

Aku masih terus bertanya-tanya, suara apa itu?

~•●•~

Pagi ini begitu ramai di ruang makan, para karyawan hendak mengambil makanan untuk sarapan pagi. Mereka sangat antusias sebab hari ini kami sarapan dengan daging ayam. Itu adalah makanan favorit semua karyawan pemotong daging.

Aku sendiri biasa saja, hanya duduk termenung di meja makan sembari mengantri untuk mengambil jatah sarapan di meja prasmanan.

Aku masih menginga-mengingat malam itu, yang baru terjadi beberapa jam yang lalu, pukul 01.00 WIB, aku mendengar suara itu, suara seseorang mencacah daging di tengah malam. Pagi ini sebenarnya bukan sup daging ayam yang kunanti. Aku menanti-nanti siapa karyawan yang pergi dari asrama ini.

Jawabannya adalah si penghuni ruang kamar pojok itu, yaitu Febry. Ya! tak salah lagi, Febry tidak ada di barisan kami ketika hendak sarapan pagi. Kenapa tidak ada Febry? Itulah kenapa aku termenung.

"Ada yang melihat Febry?" tanya Samsul, salah satu sahabat dekat Febry. Ia terlihat kelelahan setelah mencari-cari Febry di sana sini.

"Palingan dia sudah mengundurkan diri. Biasalah, karyawan sini nggak pernah bilang-bilang kalau mau pergi." Billy melemparkan sendok bundarnya ke dalam kubangan sup, menciduk kuah sup daging ayam di meja prasmanan.

Sementara Samsul mengusap keringat di pelipis matanya, ia terlihat cemas. "Tapi Febry pasti ngomong ke aku kalau mau ngapa-ngapain."

"Sudah dihubungi nomor hp.nya?" tanya Jordy dari meja makan. Biasa, ia selalu memasang wajah dingin kepada semua orang.

"Udah, tapi nggak aktif." Samsul terlihat begitu resah.

"Sekarang lebih baik sarapan dulu, nanti setelah kerja coba kau hubungi keluarganya," ujar Jordy. sikapnya yang terkesan mengayomi, membuat Samsul mendeham patuh.

Samsul menuruti Jordy. Dengan terhuyung-huyung, ia berjalan mendekati Jordy dan duduk di sebelahnya. Ia mengikuti sarapan pagi seperti biasa, menyantap menu sup daging ayam dengan lahap.

"Wahh, sup ayam buatan Mama emang beda banget!" seru Irfan setelah mencicipi sup ayamnya. Ia tersenyum-senyum menikmati sup buatan Mama.

Keributan itu terjadi lagi, setiap pagi seperti waktu yang berulang-ulang. Irfan dan Billy, mereka dalangnya.


"Kayak baru makan aja, dari dulu buatan Mama emang kayak gini. Biasa aja, masih enakan buatan ibuku," timpal Billy.

BUTCHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang