Max akhirnya luluh, kamipun kembali masuk. Aku beranjak keluar, namun Max menahanku.
"Kamu tetap disini. Aku kemari karena kamu" katanya terdengar nada dingin. Aku yang merasa bersalah pun duduk disampingnya. Hening. Suasana sangat canggung.
"Max.. aku mau minta maaf" (Max diam)
"Aku... Benar-benar menyesal atas perbuatanku. Aku minta maaf"
"Sudah? (Menarik kaila) ayo pulang" (beranjak)
"Max! (Berdiri) aku sakit parah" (langkah Max terhenti)
"Aku tahu. Perbuatanku memang tidak pantas untuk dimaafkan. Memang sudah terlambat aku menyesalinya. Mungkin inilah balasan Tuhan atas apa yang selama ini aku lakukan. Hidupku sudah tak kan lama lagi, tapi aku merasa lega karena sudah meminta maaf padamu. Aku bisa pergi dengan tenang."
Max pergi meninggalkanku dan Doni.
"Don, aku yakin Max pasti bakal maafin kamu. Tapi, dia hanya butuh waktu"
"Terima kasih Kaila. Berkat bantuan kamu, aku bisa bertemu dengan Max"
"(Senyum) kamu juga harus yakin bisa sembuh Don. Kalau begitu aku duluan"
....
Aku mengejar Max. Dia sudah tidak terlihat. Ku ambil ponsel dan menghubungi nomornya. Dia tidak menjawab panggilanku. Aku berjalan mencari Max. Ternyata dia duduk dibangku taman seberang jalan. Aku bergegas menghampirinya.
"(Ragu) Max..."
"(Menghela napas) mengingat perlakuan dia dulu, bahkan sampai 6 tahun. Sangat sakit. Disisi lain aku juga merasa kasihan. Aku harus bagaimana?" (Mata berkaca-kaca. Aku duduk disampingnya. Lalu ku pegang tangannya.
"Maafin aku, Max. Aku sudah.." Max menggenggam erat tanganku seraya tersenyum tipis.
....
Beberapa hari kemudian ..
Kami mendengar kabar bahwa Doni meninggal. Perwakilan kampus melayat. Bahkan selama 2 semester aku dan Max tidak tahu bahwa Doni berkuliah disini. Aku pun mencari keberadaan Max. Ternyata dia diparkiran.
"Max..."
"Aku sudah tahu. Ayo naik" (memberi helm) kami bergegas ke melayat.
...
Sampailah kami di pemakaman Doni. Semua berdoa agar arwah Doni diampuni segala dosanya dan diterima disisi-Nya. Lalu para pelayat, dan keluarga Doni pulang. Aku melihat Mama Doni begitu lemas, menatap kami, lalu menatap Max.
"Max?" Max mengangguk.
"(Memegang tangan Max) maafkan atas perlakuan Doni ya Max. (Terisak) maafkan tante juga. Maafkan Doni, Max. Maafkan... "
"Iya Tante. Saya Maafkan Doni"
.
Max berjongkok dan mengusap batu nisan bertuliskan nama Doni.
"Aku sudah memaafkanmu. Pergilah dengan tenang."
..
Rumah.
"Mau mampir?"
"Tidak. Kamu pasti capek. Aku langsung pulang saja"
"Max..."
"Loh Ibu"
"Tante (mencium tangan)"
"Ayo sekalian makan malam saja. Mumpung kumpul begini" ajak Mamaku.
"Jadi tidak enak, padahal sudah pamit mau pulang"Ibu Max.
"Heii... Tidak apa-apa. Ayo masuk"
Aku bergegas masuk kamar untuk membersihkan diri. Mama ku dan Ibunya Max yang memasak. Sebenarnya aku sudah menawarkan diri untuk membantu, tapi mereka menyuruhku untuk segera mandi.
Tak lama setelah selesai, aku menyusul di ruang makan. Ayahku sedang dinas di luar kota.
"Kapan nih mulai tanggal pertunangannya?" Celetuk Mamaku yang membuatku tersedak. Max memberiku air minum.
"Tuh, sudah so sweet banget" kata Mamaku.
"Apaan sih Ma" mereka hanya terkekeh.
"Max, apakah kamu sudah punya pacar?"
"Belum Tante."
"Tapi, apa ada orang yang kamu suka?"
Aku yang penasaranpun menatap Max lekat dan menunggu jawabannya. Dia minum. Lalu menatapku. Kemudia menatap kedua ibu-ibu itu.
"Ada Tante"
"Wah siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mikaila Max (On Going)
RomanceKami sudah sampai ditempat pemancingan. "Hiii...harus cacing ya?". Aku bergidik ngeri melihat cacing yang menggeliat di wadah. "Iyalah" "Max kamu saja yang pasang. Aku.. gak bisa.." (Max menyeringai) "Kamu...takut cacing?" "Ng...nggak bukan takut...