Aku mengetukkan jariku di meja. Sekali dua. Aku kembali terseret pada lingkaran masa lalu yang berkelebat muncul. Bahkan, aku tak mendengar panggilan Ran padaku. Sampai tangan Ran melambai di depan wajahku. Beberapa detik berikutnya aku baru tersadar.
"Woi! Kenapa elu?" tanya Sakya.
"Kya, kamu kenal Dinda di mana?" tanyaku menyelidik.
"Di grand opening kafenya Nia yang Bogor."
"Gimana awalnya kalian berdua kenalan?" tanyaku lagi.
Sakya seperti sedang mencoba mengingat.
"Emm, kayaknya dia jadi pengunjung, pesan makanan, trus nyapa Nia. Nia ngenalin ke aku. Udah deh."
"Dan kalian berdua langsung percaya gitu sama orang yang baru kalian kenal beberapa jam?" tanya Ran kemudian.
"Ya nggak langsung percaya. Aku sama Nia sering ketemu sama Dinda. Kadang nggak sengaja ketemu di mal atau kafe. Setiap ketemu selalu bahas kemungkinan buka cabang di Bandung."
"Terus?" tanyaku tak sabar menunggu lanjutan cerita Sakya.
"Seingatku sekitar semingguan, Nia yakin mau kerja sama."
"Elo sebagai calon lakinya nggak nyaranin apa-apa? Atau jangan-jangan kamu juga ikut tersepona gitu?" tebakku.
"Secantik apa Dinda itu, sih?"
"Yaaa, cantik namanya juga perempuan."
"Serius, Kya!"
"Gua ngomong bener, Ran. Dia cantik, dewasa, kelihatan smart. Kalau ngomong meyakinkan."
"Dia punya kemampuan persuasif, jadi kalian terpengaruh."
"Terus, kafe bisa lepas gimana ceritanya?"
"Nah, itu dia. Nia saking percayanya nyerahin pengelolaan kafe sama Dinda. Sebulan laporan masih baik, bulan kedua seterusnya dah mulai macet."
"Dinda kabur?" tanyaku.
"Iya, Van. Modal nikah terbenam di sana. Gua puyeng. Seharusnya gua gak biarkan Nia percaya ma tu orang!" Rahang Sakya mengeras.
Aku bisa melihat kekesalan teramat sangat. Dia beberapa kali meninju meja di depannya. Pukulannya membuat pengunjung lain spontan menoleh ke arah kami.
"Sstt! Tahan emosi, Bro."
Angin malam menyentuh rambutku. Mengusik hingga sapuannya terasa di kulit kepala. Dingin. Aku menatap langit malam. Sekumpulan bintang di atas sana seakan menertawaiku saat ini.
"Giliran masalah elo, Bro!"
Aku terkesiap dengan colekan Ran. Aku menegakkan punggungku dan duduk rapi.
"Kalian tahu hubunganku dan Ai sudah berakhir empat tahun lalu. Ai cemburu karena ada foto yang dia terima–entah dari siapa. Sayangnya Ai percaya."
"Foto apa?"
"Aku menggendong Arumi," jawabku lirih.
"Siapa Arumi?"
Sakya terus bertanya.
#19
#onedayonepart
#liezerswritingproject
KAMU SEDANG MEMBACA
Tarot
Mystery / ThrillerSekumpulan pasangan muda-mudi yang diramal dengan menggunakan kartu tarot. Masing-masing diramal. Awalnya mereka tidak memercayai sebuah ramalan. Akan tetapi satu per satu ramalan itu terjadi. Bahkan seperti kutukan. Semakin lama kenangan itu sepert...