Part 13

7 0 0
                                    

"Ai? Ai cerita ke kamu soal apa?" tanyaku mendadak kaget.

"Tentang kamu yang sering mimpi buruk. Dan Lani menganggap ini semua ada hunungannya dengan ramalan kalian itu. Orang ketiga di antara hubungan kalian."

"Ka-kamu kan tahu aku sulit percaya hal-hal macam itu?"

"Awalnya juga Lani pikir kamu nggak mungkin percaya. Tapi setiap kamu mimpi dan menghubunginya, dia juga merasakan dampaknya."

"Maksud kamu apa?" Aku tambah tak mengerti.

"Orang ketiga di antara kalian."

"Maksud kamu, orang ketiga yang muncul di kartuku dan Ai, benar terjadi sekarang ini?"

Zafran mengangguk tenang. Pria berambut cepak itu, lalu menceritakan awalnya Ailani menceritakan masalahnya. Setelah pertemuan terakhirku dengan Ai di kafe waktu itu, di perjalanan pulang Ai menghubungi Zafran. Intinya, Ai ingin Zafran membantuku. Orang ketiga, batinku. Ai tidak ingin ramalan untuk aku dan Ai benar-benar mengancurkan rumah tangganya, seperti halnya yang terjadi pada hubunganku dengan Ai.

Aku menghirup napas panjang. Kalimat Zafran seolah sedang membongkari kenangan empat tahun lalu. Aku mencondongkan tubuh, tanganku menopang dagu.

"Lani telpon sambil menangis, Van. Dari situ aku makin yakin, ramalan kalian benar-benar nyata."

Tiba-tiba angin sore bertiup sedikit kencang, menampar-nampar jendela kamar rawat inap di belakangku. Aku tersadar, matahari sudah lama menyingkir. Matanya membulat ketika sosok itu mendekatiku dan Zafran.

"Mita?" desisku lirih?

"Hum? Siapa, Van?" tanya Zafran.

Zafran mengikuti arah mataku. Matanya ikut tertuju pada gadis yang sedang mendekati mereka. Zafran mengikuti gerakan tubuhku yang bangkit dari duduk.

"Siapa dia?" bisiknya.

"Pasien."

"Ooh ...." Zafran mengangguk sambil mengulum senyum.

"Dokter, saya mencari Dokter dari tadi."

"Oh, mencari saya? Ada apa?" Aku berusaha professional.

"Saya kan mau pulang, saya mau pamit. Terima kasih Dokter sudah merawat saya. Kapan-kapan saya boleh ke sini lagi, 'kan?" ucapnya manja.

Sikap Mita membuatku muak. Entah apa yang ada di pikirannya selalu saja bersikap seperti ini terhadapku. Namun, aku masih menahan diri, terlebih lagi ada Zafran di sini.

"Kamu mau sakit lagi?" tanyaku.

"Saya rela sakit kalau Dokter yang merawat saya."

Ucapannya spontan membuat Zafran tergelak. Walaupun buru-buru menutup mulutnya, aku tahu dia juga merasa jengah sepertiku.

"Mita, jaga kondisi kamu, ya. Bagaimanapun sehat lebih baik. Kalau kamu sakit, kamu nggak bisa ke mana-mana."

"Kan ada Dokter yang menemani saya." Wajahnya tersipu malu.

"Sudah sore. Selamat jalan, Mita. Sehat selalu, ya," ucapku menghentikan aksi dramanya ini.

"Dokter mengusir saya?"

"Bu-bukan mengusir. Di luar banyak angin. Nanti kamu sakit lagi."

"Kalau gitu, peluk saya, Dok. Biar bisa menghalangi angin masuk."

Aku benar-benar kehabisan kata menghadapi perempuan muda ini. Entah harus dengan cara apa lagi untuk membuatnya menurut.

Dari kejauhan aku melihat Ibu dari Mita berlari kecil menyongsongnya.

"Mita ... Ibu cari-cari kamu, ternyata di sini. Bapak sudah nunggu kamu di parkiran."

Si ibu memandangku. Beberapa kali aku visite, mungkin baru dua kali aku bertemu dengan wanita ini. Aku memberinya senyuman.

"Dokter, maafkan anak saya."

"Nah, Ibu kamu mencari kamu, Mita. Selamat jalan, ya."

"Dokter nggak mau peluk saya?"

Mataku membulat.

"Mita, nggak boleh begitu, Nak. Nanti istri Dokter bisa cemburu."

"Bu, Dokter Nevan belum punya nikah. Ditinggal nikah pacarnya empat tahun lalu, Bu."

"Mita ... jangan kurang ajar. Yuk, kita pulang!"

Ibu Mita berusaha menarik paksa anaknya. Walaupun Mita melawan, tetapi tetap kalah melawan tarikan sang ibu. Aku menundukkan kepala mengiringi kepergian mereka. Saat keduanya menghilang di belokan koridor, Zafran tertawa lepas. Aku tahu dia sudah menahannya sedari tadi.

#14

#onedayonepart

#liezerswritingproject


TarotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang