Part 24

1 0 0
                                    


Pagi ini aku sampai ke rumah sakit lebih cepat sekitar satu jam. Ruang-ruang dokter masih tertutup rapat. Hanya Dokter Patria yang sempat berpapasan di lobi tadi. Beberapa OB sedang mengerjakan tugasnya. Demikian juga petugas cleaning service di area ruangan dokter.

Aku masuk ke ruangan. Seseorang sepertinya berlari kecil mengejarku.

"Dokter Nevan, maaf. Maaf saya datang terlambat," ucap seseorang petugas yang bicara tersengal di depanku.

Wajahnya terlihat pucat. Tangannya gemetaran memegang kanebo. Dia lalu tertunduk, ketakutan.

"Kamu kenapa?" tanyaku.

"Anak saya sakit, Dok. Tadi pagi dia rewel. Jadi, saya harus membujuknya dulu."

"Udah berobat?"

Dia mengangguk masih tertunduk. Aku melihatnya tidak beranjak dari depan ruanganku. Aku paham. Aku mengeluarkan selembar uang dan kuserahkan padanya. Dia terlihat terkesiap dan mengangkat wajahnya perlahan.

"Ini untuk apa, Dok?" tanyanya gemetaran.

"Buat anak kamu."

"Dok, maaf. Sa-saya menghadap Dokter bukan untuk ini."

Kali ini giliran aku yang terkesiap.

"Terus?"

"Saya minta maaf terlambat membersihkan ruangan Dokter."

Tanganku masih terulur dengan selembar uang ratusan. Aku tercengang. Di detik ini aku sudah salah menilai perempuan muda ini.

"Ah, saya minta maaf. Bukan kamu yang terlambat, tapi saya yang kepagian datang. Ini. Ini buat anak kamu. Ini rezeki anak kamu." Aku menarik tangannya dan memberikan uang itu padanya, lalu balik badan masuk ke ruangan.

Aku merebahkan punggungku ke sandaran kursi. Beruntung aku masih sendirian di ruangan. Dokter Aris dan Dokter Denis belum datang. Jika ada mereka bisa-bisa mereka meledekku habis-habisan. Pelajaran pagi ini membuatku tersadar untuk tidak mudah menyimpulkan sebuah dugaan. Ah, barangkali aku terbawa suasana semalam. Surat Arumi, pembicaraanku dengan Mama meninggalkan banyak pertanyaan juga praduga.

Aku membuka ponsel. Ada beberapa pesan masuk. Aku tertarik dengan pesan dari Rayla.

Rayla_Lala

Van, bisa aku telpon?

Telepon? Mungkin ada yang penting sehingga Lala menanyakan ini. Ruangan masih sepi, waktu yang pas untuk menghubunginya. Aku menekan lambang telepon.

"La? Ada apa? Tumben pagi-pagi mau telpon?" tanyaku.

[Eh, kenapa kamu yang telpon? Biar aku aja]

"Nggak usah protes. Ada apa? Tumben loh kamu ...."

Aku hanya mendengar embusan napas yang berat. Seorang Rayla yang biasanya irit bicara denganku, pagi ini tiba-tiba menghubungiku. Hal ini membutuhkan keberanian besar baginya.

"La ... ada apa?"

[Ran cerita apa ke kamu?]

"Ran? Ce-cerita apa?"

[Nggak usah ditutupi. Apa yang ceritakan ke kalian tentang aku, hubungan kami]

Aku menghela napas. Siapa yang Lala maksud dengan 'kalian'? Apa Lala mengetahui Ran menceritakan hubungannya denganku dan Sakya? Namun, bukan hal aneh seharusnya mengingat kedekatan kami bertiga.

[Apa Ran nyinggung ...]

"Tarot maksud kamu?"

Aku menunggu beberapa saat, sebelum akhirnya aku mendengar Lala mengatakan setengah berbisik. Hampir sebulan ini, aku juga teman-temanku, kembali membahas ramalan kartu tarot. Sebuah kebetulan yang pas.

[Aku ketemu mantanku. Ada Ran juga di sana. Kami sempet saling sapa. Cuma sebentar. Aku juga kenalkan Ran sama dia. Aku nggak lihat Ran cemburu atau apa. Sampai akhirnya ....]

"Kamu mutusin pertunangan kalian?" tebakku.

[Bukan aku yang mutusin, Van. Tapi Ran!]

What? Apa maksusnya ini?

[Ran terganggu dengan mantanku yang tiba-tiba muncul. Dia mengaitkan dengan ramalam waktu itu. Van, kamu nggak percaya ramalan itu, 'kan?]

Aku terdiam. Awalnya aku juga tidak percaya sama sekali dengan ramalan di pasar malam itu. Namun, sekarang seakan sulit untuk tidak percaya kali ini. Semua peristiwa mengarah kepada kebenaran ramalan itu.

[Van? Kamu masih dengar aku, 'kan? Bilang, Van! Kamu nggak percaya ramalan, 'kan? Kalian putus juga bukan karena tarot, tapi karena masalah lain. Bilang, Van!]

Aku mendengar isakan di seberang telepon. Aku yakin Lala sambil menangis. Aku tidak tega.

[Atau kamu sekarang percaya tarot?]

Aku terdiam mendengar kalimat Lala barusan. Tuduhannya kali ini benar. Semua peristiwa membawaku mempercayai tarot.

[Van, kamu mau temani aku?]

"Ke mana?" tanyaku.

[Madam Ter]

"Siapa dia?"

[Pembaca kartu tarot]

"Ka-kamu tadi tanya apa aku percaya tarot. Itu artinya kamu sebenarnya tidak percaya. Lantas, kenapa kamu ajak aku ke peramal lagi?"

[Aku nggak tahu, Van. Aku sekarang ini percaya, atau batinku sedang menolak buat percaya. Aku ... aku seperti mengingkari ramalan itu. Tapi, semakin aku menolak percaya, aku justru makin sakit hati. Aku marah, a-aku benci dengan ramalan itu. Hidupku nggak tenang, Van!]

"La ... tenang dulu. Jangan emosi begini. Memang tidak mudah buat percaya. Tapi plis tolong kamu tenang."

[Kalau kamu nggak mau temani aku, aku bisa pergi sendiri. Lama-lama aku depresi dan masuk rumah sakit, Van!]

Aku mengembuskan napas mencoba membuang segala sesak di dadaku.

"Oke. Aku temani kamu."

Sepertinya rencanaku berubah. Hari ini aku urung menemui Zafran. Beruntung aku belum menghubunginya sehingga aku tak perlu membatalkannya.

TarotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang