Part 26

2 0 0
                                    

Sentuhan itu sedikit mengejutkanku. Rasanya sangat berbeda sentuhannya kali ini. Buru-buru kutepis hawa panas yang tiba-tiba mengalir dalam dada. Aku menajamkan mataku dan meyakinkan diri bahwa perempuan di depanku adalah Rayla. Lala dan Ai bersahabat semasa kuliah. Ini bukan Ai, bukan! Segenap hati aku meyakinkan diri guna menghalau perasaan keliru ini.

Barangkali aku terkejut karena sentuhan itu sekaligus mengingatkan aku pada Ailani. Entah mengapa aku merasa sedang berada di empat tahun lalu. Sebuah masa ketika aku dan Ai masih baik-baik saja. Dia kerap menenangkan aku saat aku gelisah. Salah satunya dengan menangkup kedua tanganku. Sentuhan itu berhasil mengalirkan hawa kenyamanan, ketenangan sehingga dengan sekejap segala gundahku mencair.

Aku mendesah. Beberapa detik memejam untuk kembali membuka mata dan sadar sedang berada di kehidupan nyata. Aku menarik tanganku menjauh dari tangan Rayla dan berangsur mendaratkan punggung ke sandaran kursi. Entah seperti apa ekspresi Rayla saat ini. Kurasa dia akan terkejut, mungkin malu atau apalah yang aku tidak ingin meliriknya.

Benar saja, dia bersuara dengan gugup.

"Em, Van. Ma-maaf. A-aku terbawa perasaan. Lupakan. Maaf."

"Aku hanya tidak ingin ada salah paham, La. Antara kamu sama Ran, apalagi sama aku. Kamu tahu, 'kan?"

"Ya, aku tahu. Aku minta maaf."

Aku membalasnya dengan mengangguk. Selama beberapa saat aku dan Rayla tenggelam di alur pikiran masing-masing. Rayla diam, aku pun sibuk berkelana dengan masalahku sendiri. Sampai akhirnya aku menyadari kepentinganku di sini.

"La, kamu bilang mau ke peramal tarot lagi? Buat apa?" Aku bertanya membuka percakapan.

"Aku ... aku ingin second opini."

"Maksud kamu?"

"Ya, pendapat lain tentang tarot." Jawabnya mantap.

"Kamu mau diramal lagi gitu? Membandingkan hasil penerawangan orang lain tentang kartu-kartu kamu?" AKu mulai gusar.

"Ya ... bisa semacam itu."

"La, plis. Buat apa lagi? Hasilnya akan sama. Udahlah setop sampai di sini, La!" Kali ini suaraku gemetar dan parau.

Sejenak Rayla menatapku. Mata kami bertumbukan dan seolah menyampaikan pesan kegamangan.

"Kamu sendiri? Kamu juga gamang dengan ramalan itu, 'kan? Kamu menolak percaya, ingin membantah, tapi lihat yang terjadi sama kamu dan Lani sama persis dengan kartu kalian!"

"Itu hanya kebetulan."

"Oh, ya? Kebetulan yang bisa pas, ya?"

Aku melirik ke arah Rayla. Nada bicaranya seakan menyudutkanku. Rasanya aku ingin membantahnya, berteriak menyangkal. Namun, sudut hatiku seakan melarangku.

"Apa benar ada kebetulan di dunia ini?" tanya Rayla lagi.

"Bisa saja itu rekayasa!" ucapku sinis.

Rayla menoleh seketika dan tajam menatapku. Aku yakin, dia sedang berperang dengan hatinya. Keraguan hatinya. Sama sepertiku, mungkin sebenarnya Rayla meragukan ramalan itu. Tentang mengapa semuanya sesuai itu hanya kebetulan saja.

"Kebetulan yang direncanakan?" tanya Rayla sambil menatapku tak kalah sinis.

"Yap." Aku mencondongkan tubuh mendekati meja. Mataku menatap mata indah itu, mengais kesiapan mat aitu untuk menyimak kalimatku berikutnya. "Waktu itu, apa yang kamu rasakan setelah mendengar kartumu dibaca?"

Tampak kerut di dahinya. Mungkin Rayla sedang berpikir atau mengingat kejadian itu. Wajahnya menegang, membuang pandangannya ke arah lain.

"Lupa?" tanyaku.

"Hah? Ya ... a-aku lupa pastinya cuma ... aku merasa–"

"Gelisah? Galau?" potongku.

"Ya, ya pastilah. Gelisah memikirkan ramalannya. Kamu sendiri mimpi setiap malam apa bukan wujud dari gelisah?" Rayla bertanya balik.

"Sugesti."

"Su-gesti? Maksud kamu kita sudah tersugesti dengan ramalan orang itu?"

Aku mengangguk mantap.

"Kenapa ... kamu begitu yakin."

"Sederhana aja. Apa mungkin ramalan yang tepat 100% beneran terjadi? Ramalan keenam kita gak ada yang meleset. Tepat!" Tanganku menjentik ke atas.

Rayla terlihat gusar dengan mengubah posisi duduknya yang tidaklah salah. Aku mengatur ritme napasku, menekan emosi yang tiba-tiba saja muncul.

"Lebih baik kita ke Madam El sekarang, Van. Sebelum kita memiliki Analisa yang makin tidak karuan."

Belum selesai rasa bingung menyapaku, aku melihat pramusaji berjalan ke arah saung mengantarkan pesanan kami.

"Habis makan, baru kita berangkat."

Rayla tidak membantah. Dia memberiku sebuah piring. Tanpa menunggu lama aku mengisinya dengan nasi dan pepes ikan bersama sambal bawang. Paduan terlezat menurut lidah pria lapar sepertiku siang ini. Aku bahkan melupakan sejenak pembicaraanku dengan Rayla barusan. Semua seakan melayang bersama aroma pepes dan sambal bawang ini yang menguar di atas nasi putih panas. Uap panasnya tak kuhiraukan saat memasuki mulut yang tak mampu lagi menahan lapar. 

TarotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang