Part 06

4 0 0
                                    


Malam itu, usai ujian akhir semester, kami menghabiskan waktu malam minggu dengan pasangan masing-masing.Latania dengan Sakya, Rayla dengan Zafran, sedangkan aku dengan Ailani. Kami keluar bioskop sekitar pukul 10.

"Kita langsung pulang, nih?" tanya Nia manja.

"Trus ke mana lagi, Sayang? Udah jam sepuluh juga," tanya Sakya.

Latania berpikir sebentar, lalu berseru dengan idenya.

"Gimana kalau kita ke pasar malam dekat rumah gua?" usulnya spontan.

"Hah?" kompak yang lain berseru keheranan.

"Apa menariknya pasar malam sih, Ni?" tanyaku.

"Hei, Pak Dokter! Sekali-kali hidup lu lebih rileks, dong. Jangan penyakit pasien aja yang lu hapalin. Nikmatin hidup lu!" cecar Nia sewot.

Aku tertawa melihatnya cemberut dengan posisi bibir maju beberapa centi.

"Ayuklah sekali-kali, Sayang. Buat Nia bahagia malam ini," tukas Ailani menggandengku masuk ke mobil dan diikuti yang lain.

Kendaraan kami mulai bergerak meninggalkan bioskop menuju sebiah daerah yang tidak terlalu jauh dari kediaman Nia. Tanah lapang yang disulap menjadi arena pasar malam. Banyak pengunjung tumpah ruah di sana. Terlebih lagi malam minggu. Banyak pasangan menghabiskan malam sebelum Minggu di sini.

Lampu yang terang benderang disertai teriakan pengunjung mulai terlihat begitu aku meninggalkan parkiran. Seumur-umur aku baru sekali ini mengunjungi pasar malam. Ada banyak wahana permainan di sana. Dengan riang Nia berjalan mendahului, bahkan Sakya harus sedikit berlari mengejarnya. Mungkin Sakya takut kehilangan jejak kekasihnya itu.

"Nia!" panggil Sakya. "Buru-buru banget, sih. Tunggu yang lain, dong," teriak Sakya.

Ak uterus mengikuti pergerakan mereka dengan menggenggam tangan Ai. Aku juga tak ingin terpisah di tengah keramaian seperti ini. Sementara Zafran dan Rayla menyusul di belakangku.

"Nia! Kamu ngapain buru-buru? Kalau kamu hilang kita semua repot!" runtuk Ai.

Dengan postur tubuh yang mungil, Nia memang tergolong gadis lincah. Akan sangat merepotkan jika tiba-tiba dia menghilang.

"Kita coba itu, yuk!" ajaknya sambil menunjuk ke sebuah tenda yang dibatasi kain transparan.

"Apaa?" tanya Zafran bingung.

"Jangan kamu ngajak ke tenda ramalan tarot, ni!" ucap Ai terkejut.

"Ayoklah, kapan lagi kita coba diramal. Cuma ramalan. Mau, ya?" rayunya manja.

"Sedeng bini kau, Ky!" Zafran mulai sewot. "Kalian berdua aja, kami tunggu di luar."

"Ah, lu pada nggak seru, deh. Ini kan Cuma ramalan. Buat seru-seruan. Ayoklah! Kapan lagi?" Nia memandangi teman-temannya satu per satu.

Matanya tertuju padaku. Lama dia menatapku. Aku tetap bergeming. Kemudian Nia memandangi Rayla.

"Ray, lu nggak mau coba?" tanya Nia lirih.

Aku yakin Ray akan menolak karena setahuku Ray termasuk yang tertutup. Mana mungkin dia tertarik hal-hal semacam ini.

"Mau! Aku mau coba!" ucapnya seraya tersenyum.

Aku terperanjat. Sama sekali aku tidak menyangka Rayla mau mengikuti ajakan Nia.

"Lu semua pada cemen, deh. Ray aja mau. Kalian kenapa, sih? Takut kalau ramalan kalian nanti buruk semua? Come on. Ini cuma permainan. Jangan dibawa serius."

Beberapa saat keheningan terjaga. Selain Rayla, belum ada yang bersedia mengikuti ide Nia. Sampai akhirnya Zafran bicara.

"Gua ikut. Anggap ini iseng. Ngisi malam Minggu. Siapa tahu besok kita dah sibuk masing-masing. Apalagi lu, Van. Bukannya bulan depan elu dah koas?"

Aku mengangguk. Mungkin pendapat Zafran ada benarnya juga. Setelah koas aku akan pengabdian di daerah. Bertemu mereka akan menjadi kesempatan langka. Mungkin kali ini aku menguatkan Ailani untuk bergabung dengan Nia dan Rayla.

Aku menggenggam tangan Ai, lalu mengajaknya bergabung. "Yuk, kita gabung mereka."

"Hah? Kamu serius? Sejak kapan kamu percaya begituan?" elak Ai.

"Hei, ini cuma iseng. Udah, ayuk nggak papa ada aku. Kamu nggak usah mikir macam-macam. Oke?" Aku berusaha meyakinkan Ai yang terlihat pucat. Aku tahu gadisku itu terkenal penakut. Sebelum aku melangkah, Ai masih menahan tanganku.

"Naah, gitu dong, Van. Yuk, kita masuk!" ajak Nia menggandeng Rayla.

Tirai transparan itu disibak pelan. Nia kemudian mengedarkan pandangannya menyapu area tenda yang tak terlalu luas itu. Seseorang berpakaian ala peramal tarot pada umumnya sedang memasang cadar, sambil menghampiri Nia.

"Maaf, kami mau ... mau ikut diramal. Masih bisa?" tanya Nia gugup.

"Sudah tahu tarifnya?" tanyanya datar.

Nia mengangguk.

"Siapa yang mau diramal?" tanyanya lagi sambil mengambil kartu-kartu yang terletak di meja.

"Semuanya." Nia menjawab tegas. Dia menoleh ke belakang.

"Siapa duluan?" tanyanya lagi.

"Saya!" ucap Nia lagi.

#7

#onedayonepart

#liezerswritingproject

TarotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang