Part 02

11 0 0
                                    

Aku sedang menulis resep untuk pasien terakhirku ketika ponselku berdering. Ailani memanggil. Buru-buru aku menekan tombol hijau.

"Ai, nanti aku hubungi lagi. Masih ada pasien. Oke?" Tombol merah kutekan dan melanjutkan menulis beberapa nama obat yang harus diminum seorang bapak pascaoperasi seminggu lalu. Usai operasi aku melihat pria paruh baya ini lebih sehat.

Secarik kertas sudah berada di tangan Marina untuk dibawanya ke kasir di depan. Itu berarti, aku sudah bebas jam praktik sampai makan siang. Aku meraih ponsel dan kembali menghubungi Ai. Aku berharap masih sempat memberinya kabar sebelum makan siang nanti.

Aku mendengar pintu diketuk.

"Ya, masuk," balasku.

"Dok, saya mengingatkan ada visite di kelas I dan VIP."

Aku terperangah. Aku melirik jam tanganku. Pukul 10.45. Ah, aku lupa aku harus mengunjungi pasienku yang baru selesai menjalani operasi.

"Sekarang, ya?"

Suster Riana mengangguk.

"Oke," jawabku. Terpaksa aku menunda menghubungi Ailani. Masih bisa nanti, pikirku.

"Mari, Dok." Suster Riana menyilakan aku berjalan lebih dulu. Suster senior ini memang sangat lembut bertutur kata dan bersikap.

Aku memasuki lift menuju ruang kelas I. Seorang pasien dengan keluhan di bagian perutnya, yang menolak tindakan operasi sejak lama. Aku hanya menyarankan, akan tetapi Pak Burhan berkeras untuk menjalani pengobatan saja. Setelah setahun mengkonsumsi obat-obatan, Pak Burhan menyerah.

"Pagi, Pak. Gimana hari ini? Ada keluhan?" sapaku ramah.

"Pagi, Dokter. Masih perih di perut," jawabnya.

"Bapak sudah buang angin?"

Pak Burhan mengangguk.

"Bertahap ya, Pak. Bapak harus bersabar. Setelah lima hari baru diberikan minuman dari luar. Istirahat ya, Pak Semoga lekas sembuh."

"Terima kasih, Dok."

Setelah berbincang sebentar dan mengecek kondisi bekas operasi Pak Burhan, aku pun pamit. Aku kembali masuk lift menuju ruang VIP di Lantai 5.

"Yang di VIP Ibu Rumita ya, Sus?" tanyaku.

"Nona, Dok. Panggilannya Mita," jelas Suster Riana.

Aku menoleh padanya sekadar memastikan. "Saya pikir sudah menikah. Dari wajahnya terlihat sudah dewasa."

"Oh, ya. Dia pernah menanyakan Dokter."

"Hah? Soal apa?" tanyaku. Aku mulai berpikir tentang pasien ini. Barangkali aku pernah mengenalnya.

"Tanya apakah Dokter Nevandra Raditya sudah menikah atau belum. Maaf, Dok." Suster Riana menunduk salah tingkah.

"Kenapa kamu yang minta maaf? Mungkin dia mengenal saya."

Suster Riana mengangguk, lalu mempersilakan ku masuk ruangan VIP yang dihuni Mita. Saat daun pintu terkuak, aku melihat Mita baru selesai makan. Dia tersenyum tipis melihatku masuk dan menghampirinya.

"Pagi, Mita. Baru selesai makan? Merasa lebih baik?" tanyaku perhatian. Sorot mata kami bertumbukan beberapa detik sebelum Mita membalas sapaanku.

"Baik, Dok."

"Saya periksa perban lukanya dulu, ya. Maaf."

Setelah Mita menyingkap bagian kiri perutnya, sekilas aku melihat tanda hitam di pergelangan tangan kirinya. Aku terkesiap. Beberapa detik aku terdiam. Tanda itu ....

"Dok?" panggilnya lirih seakan dekat sekali di telingaku.

#3

#onedayonepart

#liezerswritingproject

TarotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang