Part 17

3 0 0
                                    

Cakrawala malam dengan terang bulan. Sinar itu mengingatkan aku pada malam kami berenam. Dengan formasi lengkap. Keseruan waktu itu masih terasa. Celoteh saling ejek, tak jarang terjadi perundungan di antara kami makin menambah keriuhan. Apalagi ditambah dengan ide gila Nia mencoba ramalan kartu tarot di pasar malam.

Aku datang lebih dulu di kafe Alamanda. Kafe yang konsepnya outdoor sering aku kunjungi bersama kelima teman-teman. Aku memintal kenangan setiap aku bersama mereka.

"Hei, Bro! Bengong lo?" tegur Sakya. Pria yang postur tubuhnya tak terlalu tinggi itu sudah berdiri di hadapanku. "Dah lama nunggu?"

"Busyet kamu, Saky? Pangling aku, sumpah! Tambah ganteng, necis. Keren, Bro!" pujiku sambil tertawa lebar. Tentu ini bukan pujian sebenarnya.

"Apaan, sih? Biasa aja."

Dari kejauhan tampak Zafran berlari kecil. "So-sorry, aku telat." Sambil menata pernapasannya.

"Ah, elu. Gak ada berubahnya dari zaman dahulu kala. Telat terus aja!"

"Sorry, ada urusan kerjaan dadakan. Maklumlah."

"Ngapa lu? Kejar setoran? BUkannya batal lu?" ledek Saky. Wajahnya terlihat bahagia bisa mengejek Zafran.

"Yaa, mau gimana lagi. Belum jodoh." Zafran tersenyum tipis. "Elu sendiri apa kabar? Udah elu hitung kerugian bisnis Nia?"

Kali ini giliran Zafran yang tertawa. Sepertinya pria mantan Lala ini begitu puas berhasil mengejek Sakya.

"Ah, elu. Bahagia banget lu di atas penderitaan gua sama Nia."

"Siapa suruh kalian berdua percaya sama orang sampai segitunya. Gua dah ngingetin kalian, 'kan?" ucap Zafran sambil menunjuk ke arah Sakya.

Sesaat aku hanya mengamati obrolan mereka berdua. Zafran dan Sakya. Ada bagian yang aku tidak paham.

"Stop. Kalian berdebat soal apa, sih?" ucapku kesal. "Kalian anggap aku patung?" ucapku kesal.

Mereka berdua sontak tertawa, seakan tak mengindahkan protesku barusan. Ah, menjengkelkan!

"Aku lupa ada Pak Dokter yang sedikit kudet beberapa tahun terakhir," gurau Zafran.

"Anjir kalian, ya!" umpatku kesal. "Eh, kalian kalau mau bahas berdua, mending aku cabut!"

"Van! Baperan bener jadi orang. Santailah. Ya, gua minta maaf karena gua nggak sempat cerita masalah gua sama Nia. Waktu Ran bilang elu juga sedang ada masalah, makanya gua datang, nih. Siapa tahu elu berdua punya solusi," jelas Sakya.

Kami bertiga saling pandang. Ada jeda beberapa detik tanpa kata.

"Sampai kapan kita kayak gini, nih? Makin malam ini!" cetus Zafran.

"Ran, elu kan yang paling lengkap tahu masalah gua sama Nevan. Elu yang bicara, deh," ujar Sakya.

"Oke. Mulai dari Saky dan Nia. Mereka berdua kenalan sama orang yang bernama Adinda. Singkatnya, Dinda ngajak kerja sama buka usaha kuliner. Cuma karena mereka berdua kurang paham jadi percaya aja sama si Dinda ini. Ternyata dia nikung, bangkrut dia pergi."

"Hah? Kok bisa seteledor ini, sih lo?"

"Ya, gua juga nggak ngerti kenapa gua sama Nia bisa sebego ini main percaya sama orang baru."

"Parahnya gua udah ingetin, Van. Malah dikira fitnah Dinda."

"Uh, parah lo, kya. Atau jangan, jangan ...."

"Jangan apa?"

"Kalian berdua dipelet!" candaku.

"Anjir! Seriuslah, Bro!" sungut Sakya.

"Kya, elo masih ingat ramalan tarot?" Tiba-tiba Ran mengingatkan ramalan kartu itu. Aku menautkan kedua alis. Mencoba menerawang apa maksud Ran membicarakan ramalan.

"Em, ya ingetlah. Itu juga yang gua bahas sama Nia. Apa ramalan itu emang nyata dan terjadi sekarang ini?"

Aku menghempaskan punggung ke lantai gazebo. Merebahkan tulang punggungku sambil menutup mukaku.

"Van!" panggil Ran. "Kamu kenapa?"

Aku menggeram pelan.

#18

#onedayonepart

#liezerswritingproject

TarotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang