"Ai ...."
"Ah, sudah sore. Aku harus pulang. Aku harap kamu bisa melewati ini semua, Van. Aku tahu kamu. Kamu banyak berubah sekarang."
Ai berlalu dari tempat kami duduk sejak siang tadi. Akhirnya aku sendiri lagi. Bersama angin sore yang menerbangkan ujung poni rambutku. Aku kembali mengurai makna kalimat Ai barusan. Menurutnya aku berubah. Berubah? Apa benar aku berubah?
Ponselku bergetar di atas meja. Zafran memanggil. Buru-buru aku menggeser tombol hijau untuk memulai percakapan.
"Hai, Bro! Lagi di Kafe Alamanda?" tanyanya langsung.
"I-iya. Kenapa?" tanyaku keheranan. Apa Zafran melihatku bersama Ailani di sini?
"Oke. Aku susul. Tunggu di situ."
Aku hanya mengangguk percuma. Zafran langsung mematikan sambungan teleponnya, dia tak akan tahu aku mengangguk tanda setuju. Ah, sudah lama juga aku dan Zafran tidak saling berkabar. Aku pikir ini waktu yang tepat untukku menceritakan soal mimpi-mimpiku kemarin.
Ponselku kembali bergetar. Kali ini dari rumah sakit. Sepertinya ada panggilan darurat.
"Selamat sore. Maaf, Dok. Pasien di VIP mengeluh luka bekas jahitan dan keluhan di dadanya. Dokter bisa datang?"
"Siapa dokter jaga?"
"Dokter Iman. Tetapi sudah pulang sepuluh menit yang lalu, Dok."
Aku menghela napasku. Bimbang tiba-tiba menyergapku. Satu sisi aku menunggu Zafran. Namun, sisi yang lain ini bagian dari tupoksiku sebagai seorang tenaga medis. Sisi kemanusiaanku lebih dominan. Aku pun menyanggupi untuk kembali ke rumah sakit.
Me
Bro, sorry. Ada panggilan darurat ke RS.
Semoga pesan ini terbaca Zafran sebelum dia sampai ke kafe. Aku sudah membuatnya kecewa.
#9
#onedayonepart
#liezerswritingproject
KAMU SEDANG MEMBACA
Tarot
Mystery / ThrillerSekumpulan pasangan muda-mudi yang diramal dengan menggunakan kartu tarot. Masing-masing diramal. Awalnya mereka tidak memercayai sebuah ramalan. Akan tetapi satu per satu ramalan itu terjadi. Bahkan seperti kutukan. Semakin lama kenangan itu sepert...